Chapter 3

1825 : arkian
(p) (kl) sesudah itu; kemudian dari itu

MATA Akalanka yang memiliki keturunan barat dari pihak ibu, berwarna langit malam sedang menatap Kyra dengan sorot kekecewaan.

Apa betulan salahku? Kurasa bukan, aku hanya ... aku hanya  ...

“Potret ini, bukannya kami telah melarangnya, ‘kan?” Gemeletuk kekesalan Akalanka membuat Kyra bungkam. Bahkan untuk melihat muka Akalanka saja, Kyra merasa malu.

“Baiklah.” Akalanka meletakan kembali potret tersebut untuk diselipkan pada belakang pigura, seperti sediakala. Dia mengusap wajahnya sekaligus menghembuskan napas dengan kuat. “Anggap saja aku tidak melihatnya. Kamu jaga baik-baik saja potret itu dan jangan sampai ketahuan Papa.”

Begitulah Akalanka yang Kyra kenal. Dia akan terlihat bijak meskipun memendam kemarahan. Entah sampai kapan batas toleransi yang diberikan Akalanka padanya. Kyra bahkan masih termenung ketika Akalanka sudah beranjak dari kamarnya, tanpa memarahi atau memakinya. Seperti yang diharapkan dari seorang Akalanka. Namun, kali kesempatan ini, justru Kyra berharap Akalanka mengeluarkan emosinya. Setidaknya, perasaan tumpang-tindih padanya tidak akan tambah membebani Kyra.

Huhftt  ... dia terlalu baik untuk ukuran orang yang sedang marah.” Kyra membaringkan dirinya pada kasur berukuran king size sambil memandang langit-langit atap kamarnya. Hiasan bintang-bintang yang terlihat ketika lampu kamarnya menjadi redup, kehadiran bintang-bintang tersebutlah yang menggantikan pencahayaan di kamarnya.

Sebelah tangan Kyra dijadikan sebagai bantalan, sementara sisinya yang lain seolah-olah berusaha menggapai keberadaan bintang-bintang yang tampak dekat, tetapi kenyataannya berjarak. “Kamu tahu,” Kyra menggumamkan pelan. Benaknya mengimajinasikan seseorang yang menorehkan kesan pada lubuk hatinya. “Kamu itu seperti bintang.  Lihai menyulap perasaan. Dirasa mudah ‘tuk digapai, tapi mustahil ‘tuk berdekatan.”

Tangan Kyra yang terulur, kembali ditariknya dalam bentuk kepalan yang ditempatkan pada perkiraan letak jantung berada. “Keberadaanmu akan abadi meskipun terhalang bayangan di depan mata. Sekuat apapun aku mencoba, begitu juga hasil yang kudapatkan. Sebanding.”

Kepala Kyra menoleh ke arah pigura yang kini telungkup. Senyum samar terpatri pada wajahnya yang bermuka sendu. Berusaha untuk tampil baik-baik saja, tetapi air matanya mampu menjelaskan segalanya tanpa kata.

•oOo•

SMA Unggulan Adiwangsa adalah SMA tunggal di wilayah ibu kota yang memiliki gelar “unggulan” karena memiliki siswa dengan kecerdasan di atas rata-rata dan IQ setara atau bahkan lebih dari 120. Terlebih lagi, merupakan sekolah sains bersistem asrama dengan tiga kurikulum spektakuler, berupa kurikulum Standar Nasional, Cambridge dan Paralimpiade Sains.

SMA yang terletak di Jakarta Timur ini, memang tersohor dengan sederet prestasi siswanya dan fasilitas penunjang di sekolahan yang membuat siswa dapat merasakan sensasi bersekolah layaknya berada di luar negeri. Makanya, bukan hal mengherankan jika kebanyakan anak publik figur kenamaan di Tanah Air dengan IQ—bilang saja anak genius—menepati bangku persekolahan di sini.

Berbeda dengan Alister yang memilih kurikulum Cambridge dan Akalanka yang menempati kurikulum Olimpiade Sains, pilihan Kyra dibilang cukup standar karena hanya menggunakan kurikulum nasional. Namun, meskipun terlihat layaknya kurikulum bertaraf nasional lainnya, tentu saja pembelajaran di SMA Unggulan Adiwangsa strukturnya lebih kompleks dan menjurus kepada pemerolehan generasi pencinta sains.

Berhubung liburan semester ganjil hampir usai, Kyra sudah mulai mempersiapkan kebutuhannya untuk ke asrama putri kelak. Lalu, ketukan pada pintu membuat atensinya teralihkan.

“Iya, Bu, kenapa?” tanya Kyra saat salah satu asisten rumah tangga Bachtiar, Marina. Dia menyembulkan dirinya di balik pintu dengan seragam khas.

“Nona di panggil Tuan Besar dan Tuan Muda Pertama untuk segera sarapan bersama,” kata Marina. Dia juga ikut membantu Kyra menyiapkan keperluannya. Kehadiran Marina di kediaman Bachtiar sempat membuatnya salah paham.

Usia Marina yang tidak jauh berbeda dengan Zahair dan memiliki air muka yang lebih muda dibandingkan usia yang seharusnya, mengecoh perkiraan Kyra yang menyangka kalau Marina merupakan Nyonya Bachtiar.

“Nona ada-ada saja. Mana mungkin saya jadi Nyonya rumah. Saya hanya menggantikan Ibu saya yang sudah mengabdi di rumah ini,” ungkap Marina kala Kyra menanyakan keberadaan Nyonya rumah.

First impression dengan Marina mengikis pemahaman Kyra bahwa dunia ART tidak melulu tentang wanita paruh baya yang sudah bergenerasi membaktikan diri pada suatu keluarga, melainkan tentang bagaimana cara individu bertahan hidup meskipun dihadapkan dengan permasalahan materi.

“Baiklah. Tolong bereskan sisanya seperti biasa, ya, Bu. Saya ke bawah dulu,” pamit Kyra. Sementara Marina mulai mengambil alih pekerjaan beres-beresnya.

Ukiran mendetail pada tangga spiral yang menghubungkan kamar Kyra yang berada di lantai dua dengan lantai satu, masih saja tidak berhenti membuat Kyra berdecak kagum meskipun sering melewatinya selama semester ini.

“Pagi!” Kyra memeluk singkat Zahair sebagai tradisi keluarga Bachtiar ketika berpapasan di pagi hari. Kemudian dia memberikan kecupan sekilas pada pipi Akalanka sebelum duduk di samping kursi Alister dan memberikan senyuman yang tentu saja akan diabaikan oleh Alister.

“Aku sudah selesai.” Khas sekali Alister! Padahal sarapan yang dinikmatinya masih tersisa setengah, tetapi Alister sudah hendak meninggal meja makan.

“Makananmu belum selesai, Al. Habiskan,” ujar Zahair yang dapat menengok sisa makanan Alister yang bisa dibilang tersisa banyak.

“Aku sudah kenyang,” bantah Alister yang menyeka bibirnya menggunakan serbet yang telah disediakan.

Akalanka ikut menimpali, “Ck, Al. Duduk dulu. Apa susahnya, sih, habisin sarapan sendiri. Toh, kamu juga nggak akan rugi.” Dia melirik pada Kyra yang memasang senyum canggung. Kyra terlihat merasa bersalah dengan kedua tangan saling memilin di bawah meja. “Mubajir, Al. Diluaran sana masih banyak yang butuh makanan, masa kamu tega ngebuang makanan sebanyak itu.”

Malas terkena omelan untuk kedua kalinya, Alister akhirnya memaksakan diri untuk kembali menyantap makanannya. Akalanka tersenyum senang. “Nah, Kyra, kamu juga habiskan sarapanmu, oke?” Nada ramah yang digunakan Akalanka seperti menyiratkan bendera genjatan sejata selepas kejadian malam lalu.

Kyra mengangguk. Melalui ekor matanya, dia melihat jika Alister memasang tampang tak ramah yang terarah padanya. Kyra merasa tubuhnya akan bolong saja kalau-kalau Alister terus menampilkan sorot tajam. Dia makan dalam diam. Padahal Kyra ingin sekali terlibat dalam percakapan antara Zahair dan Akalanka yang terasa hangat. Namun, kehadiran Alister di tengah-tengah mereka, membuat Kyra jadi sungkan.

“Dasar tidak tahu diri.” Sindiran Alister berupa gumaman, cukup keras hingga terdengar oleh telinga Kyra yang masih peka.

Gejolak amarah yang masih mengendap itu kemudian mencuat. Mungkin karena dampak dari periode bulanannya, atau mungkin juga karena Kyra yang sudah muak menghadapi manusia modelan Alister, dia menyimpan perkakas makan dengan keras, sehingga menimbulkan suara dentingan yang menarik perhatian orang-orang di meja makan.

“Nggak ada sopan santun.” Kali ini Alister menyuarakan sindirannya tanpa tanggung-tanggung.

“Seharusnya itu yang aku bilang!” amuk Kyra. Tubuhnya sudah ditahan oleh Akalanka supaya menggagalkan niatnya untuk membantingkan benda apapun di depan wajah Alister.

“Cuma numpang aja belagu.”

“Alister!” Peringatan dari Zahair dan Akalanka tampaknya diacuhkan oleh pria itu. Dia malah asik menuntaskan sarapannya meskipun dengan suasana bersitegang urat leher.

“Jika kamu mau tahu,” Alister menusukkan dengan kuat, garpu pada potongan daging yang telah diiris kecil-kecil, “kelakuanmu itu ... membuatku jijik.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top