Chapter 25

KETIKA Kyra melewati gerbang sekolah bersama Hana—walaupun niatnya adalah mendiamkan gadis itu selama beberapa jam—karena dampak perkataan Hana masih membekas, Kyra merasa ada yang aneh dengan gelagat orang yang secara terang-terangan menunjukkan kemisteriusan dengan menggunakan pakaian hingga penutup kepala serba hitam.


Meskipun penampilan itu ditunjang dengan peralatan layaknya seorang jurnalis lepas, Kyra tidak ingin berprasangka buruk dulu. Karena bagaimana pun juga, tidak baik untuk menuduh orang yang tidak-tidak.

Apalagi terhadap orang asing. Yah, meskipun tetap saja harus bersikap waspada tentunya. Meskipun Kyra agak was-was, dia ingin membuktikan jika dugaannya terhadap orang yang berpakaian hitam—tampak seperti mengikutinya—adalah salah.

“Eh, Ky, kita mau kemana?!” protes Hana yang tangannya ditarik Kyra menuju arah jalan yang berseberangan dengan Jalan Bambu Hitam, tujuan mereka.

“Kyra Willa!” Hana mencegah langkah Kyra. Dia mengentakkan tangannya, hingga tarikan tangan Kyra terlepas. Wajah panik dari Kyra pun tidak luput dari pengawasannya.  Ekspresi Kyra memang lebih mudah terbaca layaknya halaman buku yang terbuka.

“Kamu makin aneh sejak kita keluar dari sekolah. Emangnya kenapa, sih?” tanya Hana.

Kyra memejamkan matanya kuat-kuat. Indra pengecap masih enggan berucap. Sulit untuk dibilang. Sama seperti perihal paket yang tiap minggunya masih terkirim padanya, saat ini Kyra belum sanggup untuk berkata jujur. Bibirnya terasa kelu dalam melisankan kegelisahannya.

Hana memandang sendu Kyra yang terus-terusan bungkam. Tersirat kekecewaan dibalik sorot matanya. Beberapa pekan ini, Kyra menjadi orang asing baginya. Dia tidak berbicara lebih banyak seperti biasanya, tetapi tidak juga terlalu pendiam.

Binar mata yang selalu menampakkan energi positif, kini Hana merasakan jika energi itu telah meredup. Semuanya terasa semu dan Hana bisa menunggu tanpa bisa memaksa Kyra untuk bercerita padanya. Padahal dia sendiri sudah sering memergoki Kyra yang termenung di berbagai kesempatan.

Namun, ada kalanya Hana merasa seperti orang yang tidak berguna sebagai sahabat. Dia tahu jika Kyra tengah kebingungan ataupun memiliki kegelisahannya tersendiri, tetapi karena Hana tidak diberitahu duduk permasalahannya, sehingga dia tidak bisa membantu Kyra. Padahal, dia tidak ingin Kyra merasa sendiri melewati masa sulitnya.

“Kyra,” panggil Hana pelan.

Empu yang namanya terpanggil pun memandang Hana penuh sesal, tetapi lagi-lagi bibirnya itu tidak bisa menjelaskan apa pun pada Hana selain air mukanya yang terlihat memelas. Meminta pengertian dari Hana atas kondisinya.

“Kalau ada apa-apa, plis bilang, ya. Jangan ngerasa sendirian lagi. Aku di sini, dan kamu pun tahu, aku pasti berusaha sebisa—ah, tidak.” Hana menggeleng sebanyak dua kali. “Bahkan yang terlihat tidak biasa aku lakukan sekali pun, sekiranya jika itu bisa membantumu, aku pasti bantu,” jelas Hana dengan sungguh-sungguh.

Mata Kyra yang sempat beradu pandang dengan orang berpakaian hitam yang ternyata benar-benar mengikuti mereka hingga terminal Cililitan ini, membuat tubuh Kyra jadi tegang. Dia menatap Hana, lalu beralih kepada orang yang ternyata berjarak tidak jauh di belakang Hana secara bergantian. Kelopak mata Kyra mulai terasa perih karena menahan desakan air mata untuk keluar.

Hana yang melihat gelagat Kyra seperti hendak menangis pun, langsung mendekapnya dengan erat. Dia menepuk-nepuk punggung Kyra. Rambut sebahu yang dihiasi dengan bando berpita merah jambu, serupa dengan warna jaket yang tengah dipakai Kyra.

Seharusnya, orang yang berada dalam pelukannya terlihat lucu dengan outfit tersebut. Namun, lihatlah sekarang ini. Sosok Kyra yang sedang terguncang itu makin membuat Hana ikut merasakan sesak.

Setelah Kyra berpuas diri dengan diam-diam menangis di balik punggung Hana, dia pun menggumamkan kalimat, “Aku takut,” yang belum Hana cerna sepenuhnya makna dari perkataan itu, karena Kyra langsung menariknya menuju salah satu bus yang bisa mengantarkan mereka menuju Mebes Hankam.

Seakan-akan Kyra mendapatkan suntikan energi, langkah larinya terasa lebih kuat dan pasti. Sesekali dalam langkah larinya, Kyra menengok ke belakang. Sehingga Hana pun ikut berpaling. Dia mengikuti pandangan Kyra yang bersikap waspada terhadap laki-laki yang terlihat seperti membuntuti mereka.

Sontak saja Hana terkesiap. Dia menatap Kyra dan pria berpakaian hitam yang mengejarnya secara bergantian. “Kamu punya hutang sama pria itu, ya?” Tebakan Hana yang konyol itu dibalas decapan malas dari Kyra.

“Nggak ... lucu, Han,” sahut Kyra dengan sarkas, tanpa menoleh pada Hana dan fokus dengan langkah larinya supaya tidak jatuh tersungkur.

Napas keduanya sudah tersengal-sengal karena kecapaian berlari di saat terik matahari berada di atas kepala mereka. Keringat sebesar butiran jagung membasahi dahi hingga leher. Seluruh tubuh yang mulanya segar, kini sudah terasa lengket akibat keringat.

Kyra menurunkan frekuensi langkahnya ketika melihat Bus T01 berada tidak jauh menuju ke arah mereka. Dia membungkuk dengan kedua tangan yang berada di atas lulut. Lalu Kyra membuang napas kuat-kuat. Debaran jantungnya berpacu cepat. Manik mata itu mengedip sesekali, karena keringat yang hampir saja masuk ke mata.

“Aku ngerasa dejavu ... kayak kejadian waktu  ... di koridor sekolah itu. Kamu  ... dan dua kakakmu itu,” kata Hana dengan kalimat terputus-putus.

Hana berupaya membuat napasnya keluar secara statis, tetapi kebiasaannya dalam olahraga seminggu dua kali pun tidak terlalu manjur ketika dia merasa  telah berlari maraton.

Kyra mengangguk singkat. Badannya kembali tegak. Netranya menyisir sekitar halte bus. Tampak kalau orang yang mengejarnya, sudah tidak menunjukkan batang hidungnya. Akhirnya Kyra bisa bernapas lega. Dia mengulas senyum kecil pada Hana dan berkata lirih, “Terima kasih karena mau mengerti, Han.”

Awalnya sebelah alis Hana mengernyit tak paham, tetapi pada detik berikutnya, dia mengangguk paham dan membalas senyum Kyra.

Ketika mereka merasa aman, karena terlepas dari kejaran orang asing berpakaian serba hitam, mereka tidak akan mengira jika nantinya bahaya yang betulan terjadi itu justru akan menimpa mereka di tempat yang sama sekali tidak mereka duga akan kejadian tersebut.

Memang betul kata orang-orang, tempat teraman justru adalah tempat paling berbahaya.

•oOo•

Jika mengacu pada kemampuan intelektual, Azriel bisa saja percaya diri dengan kemahiran yang dia miliki. Namun, jika permasalahannya adalah beradu otot, Azriel yakin dia akan kalah saing. Apalagi kalau lawan tandingnya adalah pria bertubuh tambun dengan bobot yang dia perkiraan dua kali lipat darinya.

Entah apa yang sedang dipikirkan oleh dua gadis yang malah berusaha melarikan diri. Kelihatannya mereka sudah salah paham dengan keberadaan pria yang mengawasi mereka dari kejauhan. Yah, kekhawatiran mereka dapat Azriel pahami. Namun, tetap saja, mereka tidak seharusnya berpikiran yang macam-macam.

“Hei, Nak!” panggil pria tambun itu. Dia mendekati Azriel karena bus yang ditumpangi oleh dua orang gadis tersebut sudah menghilang.

“Kau kenal mereka bukan?” Dia menunjuk ke arah perginya bus yang mengarah ke utara.

Azriel mengangguk. Dia berusaha bernapas normal. Stamina pria paruh baya di depannya mesti dia acungkan jempol. Dia tidak terlihat kelelahan meskipun telah berlarian jauh.

“Bus yang mengarah ke Taman Mini itu adalah bus terakhir di waktu sekarang ini.” Dia melirik jam tangan melingkari pergelangan tangannya. “Sekitar setengah jam lebih kita harus menunggu kedatangan bus selanjutnya.”

Terdengar suara decakan dari bibir pria tua. Dia lebih dulu mengamati alat pelacak GPS real-time yang sangat akurat dalam melacak target. Rupanya benar saja, bus yang baru saja melintas sedang menuju Jalan Rawa Segaran. Merekan hendak  mengarah ke Taman Mini Indonesia, serupa dengan apa yang dikatakan laki-laki berkacamata di hadapannya.

Kemudian, tak berselang lama, terdengar suara interupsi yang berasal dari nano earpiece--mirip seperti tindik--yang diselipkan di pada lubang telinga. Dia pun mendengarkan perkataan atasannya dengan penuh perhatian.

“Sudahi saja, Ephan. Selanjutnya serahkan saja pada Tiger. Kamu kembali ke posisi semula.”

Atasannya menyerukan titah dengan menggunakan panggilan samarannya yang berarti Elephant. Ephan pun tunduk pada titah barunya. Dia mengangguk samar meski sang atasan tidak melihatnya. Lalu netra yang terselubung di bawah topi itu menatap Azriel cukup intens.

Orang yang ditatap oleh Ephan merasa risi dengan pandangan menilai yang ditunjukkan padanya. Azriel berdiri kaku, salah-salah jika dirinya bertindak bodoh seperti barusan--meski akhirnya dia berhasil mengubah prasangknya yang tidak-tidak--sebab menilai dari gelagat  Ephan hingga akhir pun, dia tidak menunjukkan ambisi membunuh ataupun hal-hal serupa yang mampu membahayakan nyawa, tetapi kali ini berbeda sekali.

Glek. Susah payah Azreil menelan saliva karena gugup dipandangi sedemikian rupa oleh Ephan sehingga dia jadi mati kutu. “A-anu, saya ... pasti akan bantu.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top