Chapter 14

1825 : berlayam
(v) (kl) mengayun-ayunkan senjata seperti orang menari

AKALANKA menyandarkan tubuhnya pada sisi sofa dengan badan yang menempel pada karpet beludru yang membentang hampir menutupi sepertiga lantai kamar tidurnya. Embusan napas Akalanka terdengar berat. Acap kali napasnya keluar, dahinya pun mengernyit.

Pandangan Akalanka berpaling ke arah balkon. Tangan kanannya teratur memijat kedua pelipis yang dirasa berdenyut. Kejadian barusan membuat pemuda berusia genap delapan belas tahun pada bulan depan, dipenuhi beban pikiran yang bisa-bisa mengakibatkan dirinya menjadi gila!

Perkaranya, bukan lagi terkait dengan betapa banyak kerugian yang akan ditanggung oleh sang Papa—akibat koleksi barang antik dengan angka selangit yang pecah—berceceran di lantai hingga harganya pun anjlok menurun, tidak berguna.

Senter permasalahan ini, sebenarnya tidak muluk-muluk amat untuk dibahas kembali, bahkan hingga dipertentangkan. Namun, hanya saja karena sumbu api Zahair sedang terpancing akibat guyonan dari anak itu, masalahnya jadi kian runyam.

“Sial! Gue bener-bener bisa stress!” Beranjak dari tempat duduknya, Akalanka berjalan ke arah balkon.

Sebelumnya, Akalanka sudah mengantongi pemantik dan sebatang tembakau yang dibungkus. Dua benda yang akan berubah menjadi barang halal baginya ketika merasakan kebuntuan dalam menyelesaikan perkara yang secara tidak langsung menjadi tanggung jawabnya pula. “Hufft ....”

Asap nikotin yang Akalanka tahu bahwa itu hanya menjadi penenang sementara dan  berdampak buruk bagi tubuhnya, hingga memicu salah satu penyebab terjadinya komplikasi penyakit. Tetap saja, pada hari ini, semua teori dan logika yang dia pahami, dikecualikan. 

Sejenak saja, Akalanka ingin mengabaikan semua pemikiran semrawut yang menggunung. Maka, setelah gumpalan asap itu masuk, lalu mengendap sebagian dan keluar melalui lubang hidung dan mulut secara bersamaan, ada sensasi kelegaan—yang dia tahu hanya bertahan sementara—kemudian Akalanka melanjutkan menghidu batangan tipis berukuran kecil yang memiliki sensasi mint itu.

Tak lama sejak dia mengulum tembakau tersebut hingga tersisa setengah dari batang utuh asalnya, tubuhnya dengan cepat merespons zat-zat asing yang mencemari organ-organ tubuh dan menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan hingga mulai terdengar suara seperti anjing yang sedang menyalak.

Akalanka lekas membuang sisa benda yang terselip di kedua jemarinya. Dia kemudian menyugar rambutnya ke belakang. Kali ini, angin bertiup cukup sejuk. Suasana mendung pada cakrawala kian mengingatkannya pada kejadian tempo lalu.

Memori pada sudut tempurung kepala Akalanka seolah mengonfirmasi jika kejadian yang telah berlalu tersebut, sudah layak untuk dijadikan pembelajaran, bukan lagi untuk diingat-ingat. Apalagi sampai ditangisi.

Namun, sebagian diri darinya masih menganggap bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah kesialan. Jiwa pada nuraninya membisikkan kalau-kalau kejadian tersebut tak ayal seperti kain yang masih basah. Seperti yang terjadi baru-baru ini, sehingga menimbulkan luka batin kembali terkoyak kala ingatan tersebut muncul lagi.

•oOo•

Euforia seminggu usai pertunjukan balet yang diapresiasi oleh banyak pihak yang sangkutan, membuat keluarga Bachtiar mencanangkan untuk mengadakan tour paralayang di salah satu kabupaten di Indonesia, selain yang berlokasi di Cililin, Bogor.

Urusan Mirza Bachtiar, Nyonya Bachtiar sekaligus ibu dari dua anak yang kala itu bertugas sebagai salah satu presenter kenamaan di stasiun televisi swasta terkenal, mendapatkan dinas mendadak sebelum liburan keluarga Bachtiar terlaksana. Karena kesibukan tersebut, selain Mirza, anggota Bachtiar yang lain merundingkan keberangkatan mereka yang hendak mendahului Mirza untuk pergi ke Kabupaten Majalengka atau menunggu dinas Mirza selesai.

“Ayo, Pa, kita ke sana dulu aja. Kata Kak Lanka tempatnya nggak jauh, kok. Mama juga bisa langsung nyusul ke sana waktu udah beres dinas, ‘kan?” Nadira yang usianya baru saja menjejaki masa pubertas itu merayu pada kedua orang tuanya supaya mempercepat keberangkatan mereka.

“Kak Lanka katanya nggak sabar buat naik paralayang, Pa!” imbuh gadis tersebut, melebih-lebihkan supaya orang tuanya tergerak untuk mengamini keberangkatan mereka yang lebih awal dibandingkan harus menunggu waktu dilain hari—yang bisa saja, baik Zahair atau Mirza tidak dapat meluangkan waktu mereka seperti yang sudah-sudah—sehingga perjalanan rekreasi mereka sering tertunda akibat alasan kesibukan dua orang dewasa itu.

Zahair yang tidak langsung percaya dengan perkataan anak bungsunya, melirik sulung yang tampaknya sama terkejutnya dengan perkataan sang adik yang malah membawa-bawa namanya. Padahal, Akalanka sendiri baru turun dari kamarnya. Jadi, mana tahu dia persoalan yang diributkan keluarganya tentang liburan.

“Apa benar begitu, Nadira? Ingat, jangan bohongi, Papa, lho,” selidik Zahair yang sebetulnya sudah mengetahui kebohongan putrinya tersebut.

Bibir mungil Nadira mengerucut karena kesal. Dia berpaling pada Akalanka yang selalu berpihak padanya. Gadis tersebut lantas memeluk tubuh Akalanka dengan tangan yang sepenuhnya tidak bisa merengkuh tubuh Akalanka secara sempurna. Wajah memelasnya, dia angkat ke atas supaya dapat bertemu dengan pemilik iris mata abu-abu tersebut.

“Kak, iya, ‘kan, Kakak juga udah nggak sabar buat lihat paralayang? Kakak juga mau berangkat sekarang, ‘kan? Iya, ‘kan?” desak Nadira yang selalu berhasil membuat keputusan Akalanka sejalan dengan keinginannya.

Zahair dan Mirza masih mengamati putri mereka yang tengah merayu sang kakak agar ada dipihaknya. Tentu saja, tanpa berpikir panjang—karena sudah terbiasa memenuhi keinginan Nadira—Akalanka tidak ingin membuat harapan adiknya jadi berujung sia-sia.

“Iya, Kakak juga nggak sabar buat pergi bareng Nad-nad ke tempat paralayang sekarang.”

Nadira bersorak senang. Dia menunjukkan senyuman lebar dan mengadukannya kepada Zahair. “Tuh, ‘kan, Pa. Aku nggak bohong, tahu. Kakak sendiri yang bilang, lho.”

“Iya, iya, Sayang. Nadira-nya Papa nggak akan bohong.” Zahair mengusap kepala Nadira seraya membalas senyuman Nadira dengan lengkungan senyuman yang menghiasi wajahnya.

“Yeay, Nad-nad sayang, Papa.” Nadira kembali berseru riang ketika Zahair menggendongnya. Dia juga sempat mencuri-curi cium pipi papanya.

Maka ketika keputusan tersebut disepakati, demi melihat binar keceriaan pada anggota Bachtiar yang termuda, mereka memilih berangkat ke lokasi tanpa mengetahui bahwa kebahagiaan singkat tersebut merupakan permulaan dari petaka yang akan menggerogoti kebahagiaan di keluarga Bachtiar.

•oOo•

“Udah tahu punya toleransi tubuh yang lembek masih aja nyebat.”

Sindiran dengan suara lantang yang berasal dari arah balkon yang berada di sayap lantai dua, berhasil menarik minat Akalanka untuk menoleh. Rupanya sosok Alister berada tidak jauh lebih kacau darinya. Akalanka yakin jika sekarang ini sudut bibir pemuda itu memiliki bercak bekas adu jotos barusan.

Lihat saja pipi kiri Alister yang tampak lebih menonjol seperti mengemut lolipop saja—lengkap dengan lebam kebiruan—yang akan membuatnya makin kesakitan jika mengeluarkan sepatah kata pun. Namun, melihat kegigihannya meledek Akalanka, dia yakin kalau Alister sedang tertawa senang melihat bahwa bukan dirinya sendiri yang kena imbas dari amukan sang Papa.

“Mending urusin dulu pipi bonyok itu. Jangan ikut campur urusan orang,” sahut Akalanka.

Laki-laki yang sudah sempat berbaikan dengannya ketika perjalanan pulang ke rumah—setelah perdebatan panjang di mobil yang mengantar mereka tanpa tujuan, hingga berakhir dengan opsi pulang—sekarang ini malah cuek-cuek saja membiarkan luka-lukanya tanpa diobati.

“Biarin aja, laki punya luka itu keren,” bantah Alister dengan gaya yang menyebalkan bagi Akalanka.

“Teori yang nggak masuk akal,” cibir Akalanka. “Aku menyarankan, lebih baik periksa badanmu itu. Bisa jadi nanti ada fraktur atau luka serius. Kan nggak ada yang tahu. Kamu juga dibanting lumayan keras. Semoga nggak terkena osteoporosis sejak dini, ya  ….”

Rasa peduli yang dibalut dengan perkataan sarkas memang cocok diberikan pada makhluk seperti Alister yang tidak mampu lagi diberikan ceramah versi baik-baik. Kemudian Akalanka meninggalkan baklon dan mengabaikan teriakan Alister yang memaki-makinya.

Alister menyeka pelan sudut bibirnya yang dirasa perih. Dia meringis, lukanya memang cukup serius. Belum lagi rasa ngilu pada sekujur tubuhnya, membikin Alister tampak seperti kakek-kakek di usia dini yang jalannya sudah pincang-pincang saja. “Dasar, tua bangka sialan. Emosi mulu,” gerutunya.

Selain perasaan gondok hati yang makin bertambah, ambisi untuk menuntaskan tujuan utama keberadaan Alister di keluarga Bachtiar kian mengebu-gebu. Dia meraih gawai yang sedari bergetar, menampilkan identitas penelepon yang mencetak kedut samar pada bibirnya.

Good timing,” gumam Alister terlampau pelan. Hingga suara di seberang telepon kembali terdengar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top