8. Kabar Dari Ira

3 jam dilepaskan dari latihan membuat Anggi bisa menghirup napas bebas walaupun disuruh membersihkan toilet. Dia menikmati hukumannya dengan bersenandung ria terkadang, tidak memedulikan pegal kaki dan tangan yang mungkin akan membuatnya mengerang-erang besok karena kesakitan.

Dirinya tengah mengelap kaca saat Aisyah menemuinya dan mengabarkan Dimas pingsan. Langsung saja, ia berlari keluar salah satu dari 5 bilik toilet dan pergi ke kamar Dimas, ingin melihat keadaannya.

Sekarang dia masih termenung dengan kanebo di tangan. Ia tidak tahu kalau secemas ini dirinya pada Dimas.

"Cemas banget sama Dimas," sindir Aisyah. "Kemarin benci, sekarang cemas." Dia ikut keluar dengan Anggi saat dia minta izin beranjak ingin melanjutkan hukuman.

Anggi memutar malas matanya.

"Ngomong-ngomong, kalian berdua benar-benar keluar tadi malam?" tanya gadis yang memasukkan dua tangannya ke kantong celana latihan itu.

Anggi menatapnya sejenak. "Bisa menjaga rahasia?" tanya Anggi.

"Rahasia apa lagi? Semua orang tahu kamu keluar dari area Desa Bahagia dengannya." Anggi menunjuk Dimas dengan jempolnya.

"Rahasia kami ngapain." Anggi menggeram. Aisyah ber-oh-ria.

"Bisa, bisa." Gadis berkerudung gaya tahun 90-an itu mengangguk.

"Ikut aku!" ajak gadis itu, menyeringai.

Anggi dan Aisyah kembali ke toilet perempuan.

.

"Kalian makan cemilan? Enak sekali."

Aisyah iri pada Anggi yang menceritakan pengalamannya dari awal sampai akhir. "Aku juga mau cemilan," katanya, memajukan mulut.

"Mau cemilannya saja?" tanya Anggi yang membereskan peralatan bersih-bersihnya.

"Apalagi. Tidak mungkin aku menginginkan Dimas-nya." Anggi tertawa mendengar teman dari Aceh-nya itu menyahut.

"Sudah. Nanti habis upacara kita bisa kok beli cemilan." Anggi menegakkan tubuh, lalu pergi ke luar toilet.

"Kalau bisa. Mungkin nanti disuruh kerja rodi membereskan sampah di luar gerbang Istana Merdeka."

"Paskibraka kurasa tidak begitu pekerjaannya pasca upacara." Anggi dan Aisyah berjalan berdampingan menuju ke gudang, hendak meletakkan semua barang-barang kebersihan itu di sana.

"Siapa tahu-"

"Anggi!"

Seseorang berlari di belakang mereka, menyeru Anggi yang langsung menoleh.

Orang itu adalah Faisal, most wanted di Desa Bahagia, dan orang yang suka menjahilinya. Dia menyibak sejenak rambutnya, membuat Anggi membuka mulut. "Jika petugas tahu rambutmu panjang, pasti kamu kena marah." Dia terkekeh setelahnya.

"Hentikan bercandamu!" suruh Faisal. "Penyita ponsel mencarimu."

Anggi mengerjap, menoleh pada Aisyah yang mengendikkan bahu. "Biar kubawa ke gudang. Ikut dia!" tawar Aisyah. Anggi mengangguk. Dia memberikan seember basah berisi kemoceng, sikat lantai, dan sikat toilet, serta kain pel dan kanebo kepada Aisyah.

"Aku duluan!" pamitnya.

"Hati-hati!"

.

Anggi menerima sodoran ponsel dari wanita penyita ponsel yang memasang wajah bingung. "Kali ini 10 menit," katanya. Anggi kaget, namun segera menormalkan wajah dan menempelkan ponselnya ke telinga.

"Ada apa .... Kakak menangis?"

Di seberang telepon, sesengukan Ira terdengar. Dia memperdengarkan tangisnya pada Anggi yang hatinya mulai berkecamuk. Ia takut sesuatu terjadi pada Ira yang membuatnya menangis tersedu-sedu.

"Kakak, ada apa?" Anggi panik.

"Mas Anta," jeda Ira. "Mas Anta ... dibunuh!"

"A-Apa?" Anggi terbelalak. Mendengar perkataan Ira barusan membuat Anggi berinisiatif ingin ke kamar karena pembicaraannya ini akan menyita banyak perhatian. Jadi dia minta izin pada wanita penyita, "Aku butuh privasi." Wanita itu mengangguk. Anggi langsung berlalu dari hadapannya dan hadapan Faisal yang langsung mengikutinya. "Aku ikut!"

"'Nggak, kamu di sini saja," tolak Anggi. "Jika ada kepentingan, aku ada di kamarku." Anggi berlari lagi, meninggalkan Faisal yang menyanggupi perkataan Anggi.

Anggi berlari berbelok-belok sebelum sampai ke kamarnya. Lagi-lagi, tidak ada Sifa. Ia langsung menutup kamar dan mengaktifkan speaker.

"Kak, bagaimana bisa?" Anggi duduk di atas ranjang. "Bagaimana bisa Mas Anta dibunuh?"

Ira menangis sesaat. "Aku 'nggak tahu. Dia sempat menelepon polisi untuk meminta bantuan, polisi datang ke kediamannya dan sudah mendapatinya tewas dengan dua tikaman di leher."

"Apa Mas Anta pernah berurusan dengan orang lain?" tanya Anggi yang tahu benar pribadi Anta. Walau jarang bertemu, Anta bisa dibilang suka cari masalah yang sekiranya bisa diselesaikan baik-baik.

"Aku tidak tahu." Ira semakin jadi menangis. "Aku masih cinta dia, Anggi!"

"Sudah, Kak, sudah." Anggi berusaha menenangkan kakaknya lewat telepon. Kakaknya tidak tenang-tenang. Dia menangis histeris, membuat Anggi setengah kesal, "Kalau Kakak cinta Mas Anta, hentikan tangis Kakak!"

"Kamu 'nggak tahu betapa aku sayang dia. Kamu 'nggak tahu bagaimana hidup Kakak jika kehilangan dia," sahut Ira. "Kakak tidak tega menghentikan tangis Kakak saat seorang yang Kakak cintai mati dibunuh orang. Kamu 'nggak tahu rasanya bagaimana. Kamu lebih fokus sama pendidikanmu daripada cinta."

Itu membuat Anggi langsung terdiam dan merasa bersalah, lagi. "Tapi Kakak, semua yang hidup pasti mati. Mas Anta pergi karena tanggungjawabnya sudah selesai pada Kakak." Anggi berusaha menenangkan kembali.

Ira tidak menjawab sesaat. "Kamu 'nggak tahu rasanya kehilangan. Makanya kamu fine-fine saja bilang, 'semua yang hidup pasti mati'." Ira mengulang sedikit perkataan Anggi.

"'Nggak begitu maksud-"

"Kakak rasa kamu 'nggak akan bisa menenangkan Kakak, jadi Kakak tutup teleponnya."

"Ka-Kakak ...."

Telepon dimatikan sepihak. Anggi menurunkan ponsel dan menatap layarnya.

Anggi merupakan seniornya jika disuruh menenangkan orang menangis, tapi entah kenapa kepada kakaknya keahliannya itu bagaikan antah di tepi gantang; tidak berguna. Anggi dihinggapi rasa bersalah, lagi dan lagi. Ada apa dengannya akhir-akhir ini? Tadi malam bersalah pada Dimas, hari ini bersalah pada Ira. Seharusnya seseorang yang merasa bersalah kepada dirinya.

Anggi meraih kenop pintu, membukanya, lalu menemukan Faisal dan Aisyah menguping.

Terciduk, mereka yang tadinya membungkuk dengan telinga menempel ke pintu segera menegakkan tubuh.

"Menguping?" Faisal dan Aisyah ter-haha-hihi hambar. Anggi menatap datar mereka berdua, lalu menyenggol Faisal saat melaluinya.

"Kamu, sih." Aisyah menyalahkan Faisal.

"Kok aku?" Faisal tidak terima.

Mereka berdua kemudian menyusul Anggi untuk minta maaf.

"Ini ponselnya." Anggi menyodorkan benda tipis itu pada wanita penyita. Wanita itu meraihnya, lalu bertanya, "Kenapa Kakakmu menangis?" Anggi hanya menjawab, "Kalau terlalu rindu dia memang begitu."

Wanita itu ber-oh-ria. Anggi izin pamit setelahnya.

Anggi kembali ke kamar, ingin mengambil gayung dan handuk untuk mandi karena hari sudah petang.

***

Tasya menenangkan Ira yang menangis. Mereka berdua ada di tempat kerja. Tangis Ira disaksikan rekan-rekannya yang turut prihatin.

Satu jam yang lalu, terdapat kabar dari kepolisian, kalau salah satu karyawan di stasiun televisi tempat Ira bekerja terbunuh bersama pacarnya. Pacar Anta ... mata Ira berapi-api. Sejenak dia melontarkan kata-kata kasar pada Lisa yang telah merebut Anta darinya. Ia bersyukur mereka berdua mati bersamaan.

Namun, Ira yang masih mencintai Anta, menangis histeris kala tahu pacarnya itu ikut terbunuh. Mengapa bukan hanya Lisa yang dibunuh? Jika saja Lisa masih hidup, maka Ira pastikan dia sengsara selama masa hidupnya.

"Sudah, sudah." Tasya menepuk-nepuk bahu Ira.

"Mas Anta," panggil Ira, seakan jika ia memanggil Anta, dia akan kembali diberi nyawa oleh Tuhan dan kembali pada Ira.

"Sudah ya. Jangan menangis." Tasya tak dapat berbuat banyak selain menenangkan, memeluk, dan menepuk-nepuk bahunya. Ia harap Ira tenang karena tiga hal yang dilakukannya itu. Dia tidak suka teman baiknya menangis.

.

Keesokan harinya, Ira izin dari segala aktivitas yang biasa dilakukannya. Syuting, jadi host, temu fans, semua ditundanya. Dia ingin menghadiri pemakaman Anta dan Lisa yang ditempatkan berbeda oleh keluarga masing-masing. Dengan pakaian hitamnya, dia memanjatkan doa di samping nisan masing-masing, berharap Tuhan menerima semua amal baik yang telah mereka perbuat.

Dalam perjalanan pulang bersama salah satu supir pribadinya, Ira yang sembab matanya menggerutu dalam hati. Anta sudah meninggal, itu berarti tidak ada lagi kesempatan baginya untuk menanyakan apa arti surat ancaman bergaya tulisnya itu. Di sisi lain, dia berpikir bagaimana mencari manajer yang setia. "Ai, Ira, di Jakarta semua wajah bukan wajah yang sebenarnya." Perkataan Anta itu terngiang-ngiang dan membuatnya ragu untuk mencari manajer baru.

Sebenarnya ia bisa mengatur semua kesibukannya, hanya saja terkadang lalai sendiri. Selama ini Anta-lah yang bertanggungjawab atas waktu kerjanya. Ira bisa membayangkan jika dia sudah tidak ada. Hidupnya akan berantakan, mungkin.


"Kita sudah sampai, Neng Ira." Ira tersadar kalau dirinya sudah sampai di rumah.

"Terima kasih," ucap wanita itu, lesu. Pak supir hanya tersenyum lewat spion depan, senyum menyemangati yang tak bisa diucapkan lewat kata-kata.

Menutup pintu mobil, Ira masuk ke dalam rumah. Ira punya 2 pembantu, semuanya pulang kampung. Jadinya rumah minimalis gaya modern itu sepi.

Ira langsung ke kamar yang sebelumnya memberitahu supir untuk menunggu sebentar. Dia ingin memasakkan supirnya makanan. Ia akan berganti baju, lalu turun ke dapur menemui supir itu, sebelum memasak dengan supir yang tak berani mendekat atau duduk.

"Aduh, Neng, saya ada urusan, baru teringat. Juga kasian Eneng teh, sudah sedih, mau buatkan saya makanan pula." Pak Supir enggan makan makanan majikannya.

"'Nggak apa-apa, Pak. Yuk, makan," ajak Ira, menyakinkan.

Akhirnya, bapak yang sedikit lagi akan berkepala lima itu mengangguk. Dia mendekati meja makan, lalu duduk di salah satu kursi. Ira duduk di depannya, mengambilkannya lauk pauk.

"Neng, saya turut berduka ya," kata Pak Supir. "Kasian Mas Anta. Dibunuh entah oleh siapa."

Ira membuang napas. "Iya, Pak." Hanya itu yang bisa diucapnya saat makan siang itu terlaksana. Pak Supir menunduk, lalu menghabiskan makanannya. Setelahnya dia ingin ke luar, mau menemui temannya yang tinggal tak jauh dari Ira. Ira sempat menawarkan masakannya untuk dibawa ke sana, tapi Pak Supir menolak dengan halus.

Ira akhirnya membiarkan Pak Supir itu pergi dengan tangan kosong. Ia membereskan meja makan, menutup makanan sisa dengan kubah baja.

.

"Kak, kronologinya bagaimana, sih?" tanya Anggi di seberang telepon. Ira duduk di sofa, menonton televisi yang bernyala dengan volume rendah yang sekiranya telinga masih bisa mendengarkan.

"Entahlah, Dik," jawab Ira. "Polisi tidak tahu kalau aku pacarnya."

"Tapi 'kan biasanya dijelaskan di televisi, Kak," sahut Anggi. Ira mendengkus. "Jika aku melihatnya, aku akan menangis lagi. Kenapa kamu suka sekali membuat orang menangis dan setelah menangis memaksanya untuk berhenti?"

"Namanya mau tahu."

Ira meniup poni rambut.

"Baik, aku menelepon Kakak hanya untuk menanyakan kronologi kematian Mas Anta. Aku akhiri ya. Masih banyak yang ingin ku-"

"Waktumu masih banyak, Anggi." Ira menegakkan badan yang dari tadi bersandar ke sofa. "Ngomong-ngomong, aku mau bertanya. Kemarin katamu anak penyuap, dia benar-benar menyuap Pak Menteri?"

"Apalagi, Kakak. Sudah kujelaskan beberapa kali padamu."

"Boleh Kakak tahu siapa dia?" tanya Ira. Anggi terdiam sejenak. "Dimas, Papua asli. Dia lemah, tingginya kurang dariku dan-"

"5 menit."

Ira melebarkan mata. Suara wanita familier itu membuat Anggi langsung mengubah topik. "Besok kuceritakan. Kakak jangan sedih terus ya. Jaga diri. Aku sayang Kakak."

"Hem, baiklah." Ira mendengkus. "Jaga diri juga."

Perbincangan mereka pun terputus. Ira meletakkan ponsel ke atas meja.

Dia bersandar menonton pemberitaan yang memberitakan pembunuhan di sebuah kediaman di Jakarta. Siapa lagi kalau bukan Anta. Ira berbohong pada Anggi kalau dia tidak tahu kronologinya. Ia tahu, tapi menceritakannya akan membuatnya kembali menangis tak terkendali sedangkan dirinya sendirian di rumah. Ira takut melakukan sesuatu yang berbahaya hanya karena menangisi Anta. Jadi lebih baik dia diam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top