7. Tidak Sanggup

"Mau apa kamu mengetahui masa laluku?" tanya Anggi. "Mau disalahgunakan?"

Dimas menoleh cepat pada gadis itu. "Apaan. Aku 'kan sudah menceritakan masa laluku. Giliranmu," sahutnya.

"Kamu 'nggak bilang aku harus menceritakan masa laluku setelah kamu menceritakan masa lalumu," runggut Anggi. "Masa laluku kurang lebih sama dengan masa lalumu, tapi 'nggak ada perceraian."

"Benarkah?" Dimas mengelus dagu. "Apakah kita berjodoh?"

"Heh! Amit-amit aku berjodoh dengan anak penyuap!" Layangan tangan terkena ke lengan.

"Ya siapa tahu takdir Tuhan." Dimas menggosok-gosok lengannya yang bisa dirasakan memerah akibat tangan Anggi.

Anggi mendengkus. Ia menatap ke arah sungai.

"Aku tidak pernah memercayai satu orang pun dalam hidupku." Anggi menghela napas. "Ibu, Ayah, Kakak, teman-teman. Semuanya pengkhianat."

"Termasuk aku?" tanya Dimas, menunjuk dirinya.

"Ya." Anggi menaikkan bahu. "Terlebih orang yang baru kukenal."

Dimas mengangguk-angguk. "Orang baru dikenal mah mana bisa cepat dipercaya," katanya.

Anggi meliriknya sejenak, lalu kembali menatap sungai.

"Ibuku meninggal setelah melahirkan aku. Keluargaku menganggapku seorang pembawa sial." Lagi, pikiran Anggi terbang ke masa lalu. "Aku disebut anak durhaka, anak ini, anak itu. Tidak ada julukan yang baik untukku. Itu membuatku menjalani hidup dengan sangat keras."

"Aku ingin membuktikan kalau aku bukan pembunuh ibuku. Namun suatu waktu, aku merasa kalau aku memang telah membunuh ibuku." Gadis bermental baja itu manyun. "Aku tak dapat memaafkan diriku saat aku menyadari begitu. Aku melakukan kekerasan, bertengkar dengan Kakak, memberontak di sekolah, lalu jadi anak pendiam yang bodo amat dengan urusan dunia."

"Aku tak tahu harus menyalahkan siapa atas semua yang telah terjadi. Aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Walaupun aku tahu Ayahlah yang telah memulainya." Anggi menekuk lutut, lalu memeluk lututnya itu dengan dirinya.

"Hem, konflik keluargamu menarik." Anggi melirik tajam. "Namun yang pasti, kita berdua sama-sama seperti ini karena keluarga sendiri." Dimas mengembuskan asap rokoknya.

"Kau benar." Anggi membiarkan rambut panjangnya tergerai di samping wajah, membuat mukanya tak terlihat oleh Dimas. Anggi memasang wajah yang selama ini tidak diperlihatkannya. Wajah murung dengan mata berlinang. Beragam kejadian buruk yang membuatnya seteguh karang bergentayangan di kepala.

Kematian Ibu, anak durhaka, bertengkar dengan Kakak, memberontak, jadi pendiam, Ayah, Ayah, Ayah. Ayahnyalah yang telah memulai semua ini. Matanya tak jadi menangis, kini mengobarkan api kemarahan. Namun setelahnya, netra itu kembali sayu, tapi tak ada air mata berlinang. Sayu dengan tatapan kosong ke rerumputan.

"Membicarakan masa lalu agak ... bagaimana ya." Dimas menggaruk tengkuk. "Mau membahas hal lain?"

Anggi menegakkan tubuh, mengaitkan rambutnya ke telinga, dan itu membuatnya menemukan sebuah topik pembicaraan. "Kamu takut botak?"

"Takut apa?"

"Botak," ulang Anggi.

"Memangnya kenapa?" tanya Dimas lagi. Anggi melipat tangan di depan dada. "Sekitar seminggu sebelum kita upacara, akan diadakan pemotongan rambut. Rambutku akan dipendekkan sebagaimana perempuan, sedangkan untukmu ... mungkin dipangkas sampai nyaris botak."

"Apa?" Dimas menyentuh rambutnya. "Aku tidak mau itu terjadi," katanya.

"Hem, kamu takut botak rupanya." Anggi menyeringai.

"'Nggak!" tukas Dimas.

"Takut botak," ulang lawan bicara.

"'NGGAK!" Dimas berteriak.

"Tadi katanya 'nggak mau rambutnya dipangkas sampai nyaris botak." Anggi menunjuk rambut Dimas.

"Itu nyaris botak, bukan sampai botak," tukas Dimas, lagi.

Tawa Anggi meledak. Dimas menggeram tak suka. Dia mengambil sandal Anggi dan memasukkannya ke dalam mulut empunya. Anggi langsung berhenti tertawa dan melepas sandal itu dari mulutnya, lalu berdecak jijik sebelum menampar lengan Dimas dengan benda tersebut.

"Eh- Aduh! Hentikan, hei!" Dimas mengaduh beberapa kali. Ringisan terdengar dari mulutnya.

"Ini akibatnya menyuapkan sandal kepadaku." Anggi tertawa. Dia mendorong Dimas dan mereka jatuh ke tanah bersama, berguling-guling di rumput dengan Anggi yang berusaha melayangkan sandal ke tubuh Dimas. Dimas sendiri berupaya menghindar karena tubuhnya sudah dirasa panas akibat sandal itu.

Akhir berguling, mereka tertawa dan terbaring di rumput. Langit cerah, bintang-bintang bersinar. Setelahnya, mereka berusul mau pulang.

Dimas sudah lelah, Anggi juga sudah lelah. Maka mereka bangkit dan memakai sandal masing-masing, lalu masuk ke mobil, meninggalkan alas kardus dan bungkus cemilan yang tak sempat dibuang.

.

Mata berbentuk kacang badamnya itu kini sudah memberat. Kepala tak dapat dikendalikan lagi, jatuh ke bahu Dimas. Saat kepalanya jatuh, Dimas agak terkejut. Namun setelahnya dia tersenyum. Ia membiarkan Anggi tertidur di bahunya sampai mereka tiba di Desa Bahagia.

***

Pagi datang, dan Anggi serta Dimas dibongkar kedoknya. Salah satu petugas jaga malam rupanya sempat melihat mereka berdua turun dari pagar beton, dan petugas itu mengenali mereka. Maka dia mengadu pada kepala TNI Angkatan Darat dan mereka berdua dihukum sangat berat--bagi Dimas.

Mereka jalan jongkok keliling lapangan 5 kali. Setelah selesai, ditambah 5 lagi dan begitu seterusnya sampai kepala TNI AD puas. Dimas beberapa protes karena hukumannya selalu ditambah. Sedangkan Anggi menjalaninya dengan hati ikhlas. Lagipula, jalan jongkok adalah latihannya sehari-hari saat dirinya bosan pada jam istirahat. Setelah jalan jongkok, mereka pull-up, lalu push-up, kemudian sit-up yang Dimas merasa berhasil membentuk otot lengan dan kakinya.

"Istirahat di tempat, gerak!" Semua orang yang tadinya berdiri siap, langsung berubah ke berdiri istirahat. "Ingat, semuanya. Selama latihan, entah malam atau pagi, dilarang keluar dari area Desa Bahagia apa pun alasannya. Jika kalian keluar, itu berarti kalian siap digugurkan. Jika kalian gugur, maka kami tidak akan menerima kalian kembali. Atau jika kalian tidak mau keluar, seharian kalian akan kami beri hukuman berat. Seperti dua teman kalian- HEI, BUSUNGKAN DADA!"

Walau kaki rasanya mau patah dan tangan kram serta pegal, Anggi dan Dimas tetap berdiri siap di belakang Komandan yang akhirnya memergoki Dimas berdiri bungkuk dengan tangan di lutut. Harus Anggi akui, hukumannya kali ini cukup berat. Dia setiap hari jalan jongkok keliling sebelum latihan, namun entah kenapa hari ini dia merasa sangat kelelahan. Dia berdiri siap sambil gemetar menahan pegalnya kaki dan tangan.

"Baik, Pak!" Dimas langsung membusungkan dada, berdiri tegak setegak yang Komandan inginkan.

Komandan memperbaiki posisi tubuhnya, menatap kumpulan pasukan yang terbagi menjadi 3 kelompok itu. "Kalian mengerti?"

"Siap, mengerti."

Suara mereka lesu. Tentu saja, karena mereka tidak boleh latihan sampai Anggi dan Dimas menyelesaikan hukumannya.

Komandan menatap sinis. "APAKAH KALIAN TIDAK TAHU CARA MENYAHUT DENGAN BAIK?"

"SIAP, MENGERTI!"

"Bagus. Silakan berlatih. Kalian, sambung latihan. Setelah berlatih, bersihkan asrama. Saya tidak peduli kalau besok baru selesainya." Semua orang langsung memberi hormat yang disambut juga dengan hormat oleh Komandan. Setelahnya Komandan balik-kanan-bubar-jalan dan orang-orang langsung ke posisi masing-masing.

"Aduh, kakiku." Dimas berjalan pincang.

"Jangan pura-pura! Cepat berbaris!" Pengawas latihan yang merupakan satu dari anggota kepolisian melotot. Dimas langsung ke barisan dengan Anggi yang terkekeh. Kekehannya itu bukan berarti Anggi tidak merasakan sakit. Ia menahannya. Lagipula ini sudah menjadi konsekuensinya.

***

"Kamu ke mana saja?" tanya Ira. Ia duduk di sebuah kursi kafe dekat lobi saat Anta mengajaknya bertemu dan dia sudah datang.

Anta berlari kecil, lalu duduk di depannya. "Ponselku rusak. Baru habis diservis," jawabnya sambil menunjukkan ponsel.

Ira meniup kesal poni rambut. "Kamu tahu apa yang telah terjadi?" tanyanya. "Aku dibicarakan karena Pak Tio menyebarkan identitasnya!"

Anta mengantongi ponselnya saat Ira berkata begitu. Dia langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap tak percaya. "Yang benar? Pak Tio cari mati!"

Ira meremuk kertas belanjaan di tangannya. "Lihat tanganku! Apa aku terlihat bercanda?" Ira kesal. Dia sudah sangat serius dan malah dipandang Anta lain.

Anta melirik tangan Ira. "Nekat sekali," katanya. "Jadi apa yang terjadi pada Pak Tio setelahnya?"

Ira melempar diri ke kursi. "Aku tidak tahu, dan tidak peduli."

Anta menggeleng. "Dasar orang tua menyusahkan!" umpatnya. Ira membuang napas.

Ira melirik ke beberapa arah, menemukan sekelompok orang berbisik tentangnya. Ia tidak mendengar karena suasana tempat dia duduk bersama Anta tengah ramai--tempat para pekerja di stasiun televisi meregangkan otot mereka--namun ia bisa merasakan kalau mereka membicarakannya.

"Apa ... kau masih jadi host untuk acaramu itu?" tanya Anta. Ira mengangguk. Anta mengelus dada. "Syukurlah. Itu berarti mereka memaafkanmu."

Ira mengembuskan napas. "Entah ikhlas atau tidak," sahutnya. "Sudahlah. Aku mau beli jajan. Ikut?"

Ira berdiri, ingin pergi. Anta juga lekas berdiri. Mereka pun bergandengan tangan keluar dari bangunan stasiun.

.

Anta kembali menghilang dan susah dihubungi. Ira geram karena dia kembali mengulangi perbuatannya. Kali ini dia tidak merasa Anta menyervis ponselnya. Ia merasa Anta sengaja tidak menjawab teleponnya. Itu membuat Ira kesal.

Sebagai cara melampiaskan kekesalan, Ira menghapus beberapa fotonya bersama Anta. Hanya beberapa. Terbukti efektif menurunkan emosi yang sedang meninggi itu.

Tengah sibuk mencari foto yang ingin dihapus, Ira berhenti saat layar menunjukkan foto surat ancaman kemarin. Semulanya Ira tak mau membacanya lagi, namun pesan itu menghipnotisnya. Ia kembali membaca, "Sebelum aku tertangkap, aku akan memerasmu, membunuhmu dan membunuh Anggi. Lihat saja. Selama 17 hari ke depan, kau akan tahu perlahan, kalau aku bukan orang yang bisa kauatur. Tunggu saja tanggal mainnya," dan berpikir.

"Kenapa Anta ingin memeras dan membunuhku? Dia sudah menjadi manajer dan orang kepercayaanku selama 2 tahun. Apakah dia bisa berkhianat kepadaku saat aku menggajinya lebih dari 2 juta per bulan?" gumam Ira yang tengah duduk di tempat yang tadi pagi ia dan Anta gunakan untuk bertemu. "Dia orang yang payah jika melakukan itu."

Namun, pembunuh tidak akan memandang betapa payah dirinya setelah berhasil melancarkan ancaman dalam suratnya. Semakin payah dia, semakin banyak korban. Ira harus memikirkan itu.

"Jadi, apa benar Anta yang menulis ini?" Kening Ira mencuram. Dahi berkerut. "Semoga bukan. Aku masih mencintainya," gumam Ira.

Di tempat yang tak sepi tak ramai itu, Ira terdiam. Satu sudut pikirannya membenarkan Anta-lah yang membuat surat itu. Namun di sudut lain, tidak membenarkan.

Dan sejenak dia berpikir, kalau kehidupannya mulai berbeda dari sebelumnya. Ira tidak ingin menebak apa yang terjadi padanya. Ia hanya bisa menarik dan memgembuskan napas--menenangkan diri.

Ia mematikan ponsel dan beranjak.

***

"Kau baik-baik saja?"

Dimas terlalu kelelahan. Hukuman atas perbuatannya tadi malam sudah mencapai klimaks.

Remaja itu pingsan saat membawa ember berisi di tangan kanannya dan pel di tangan kiri. Yang melihat langsung menghampiri, sebagian melapor para pihak berwenang.

Anggi ditugaskan terpisah dari Dimas dan saat mendengar kabar itu, dia langsung ke kamar lelaki tersebut, lekas menanyainya yang mulai siuman. Dimas hanya mengangguk pelan.

"Sisa hukumannya untukku saja," kata Anggi dengan tatap kasihan. Dia melihat Komandan yang kebetulan ada di depannya. "Dia belum terbiasa dengan hukuman keras," pinta Anggi pada dia.

Komandan menaikkan satu alisnya. "Itu adalah hukuman terakhirnya," sahutnya.

"Oh, benarkah? Baik." Anggi mengendikkan bahu. Dia melihat Dimas yang menatapnya. Dia sudah minum air dan kepalanya diberi minyak angin--dia sempat mengeluh pusing. Dia membuang napas, sangat kelelahan.

"Istirahat dulu ya." Anggi mengelus lengan Dimas. Dimas mengangguk, lalu memejamkan mata dan bergumam mau istirahat.

Anggi menegakkan tubuh setelahnya. Ia menunduk, merenung. Tadi dia baru saja mencemaskan Dimas. Anggi menoleh lagi padanya dan bergumam, "Kapan terakhir kali aku khawatir seperti ini?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top