6. Anak Tiri

Anggi seorang yang benar-benar keras menjalani kehidupannya. Tidak ada kata gagal dalam kamusnya, dia sentiasa berhasil meraih apa yang diinginkannya. Namun, terkadang dia merasa jenuh dengan hidupnya sendiri yang membuatnya selalu bergumam tanpa sebab mengenai kehidupan orang.

Seperti Sifa, dia gadis bermuka bulat yang sederhana. Ia periang, penuh ambisi, dan terkadang malas. Pikirannya walaupun sudah dipenuhi latihan paskibraka beserta struktur-struktur baris-berbarisnya, masih sempat memikirkan anak laki-laki lain di tim mereka. Kadang-kadang dia mengoceh pada Anggi, "Mereka semua ganteng-ganteng. Aku mau memilikinya satu." Anggi saat itu hanya menyahut deheman karena pikirannya itu berbanding sangat terbalik dari pikirannya.

Anggi tak pernah memikirkan apa pun selain masa depan, karena dia ingin membuktikan kepada ayahnya kalau dia tidak seperti yang ia katakan. Ia adalah Anggi Rana, lebih pintar dan lebih terpandang daripada Ira. Ira tidak bisa mengalahkannya. Suatu hari nanti ia akan mengontrol pikiran ayahnya agar dia tidak selalu membandingkannya dengan Ira.

Anggi bisa jadi seperti Ira. Hanya saja dia kurang supel, tidak ramah, dan di waktu-waktu tertentu menjadi egois. Tidak cocok baginya mengikuti jejak sang kakak yang berbanding terbalik darinya.

Selain karena sibuk memikirkan masa depan dan--mungkin bisa disebut, pembalasan dendam--Anggi memiliki satu rasa bersalah yang amat sangat kepada ibunya. Ayahnya tidak adil kepadanya dari kecil karena ibunya meninggal tepat setelah melahirkan ia.

Ayahnya itu sangat mencintai istrinya. Suatu hari saat umurnya 5 tahun, saat dia pulang dari TK dengan kertas bergambar bergambarkan 4 stick-human bertuliskan masing-masing Ayah, Kakak, Ibu, Anggi, ayahnya langsung merobek gambarnya itu. Dari mulutnya langsung terlontar, "Kamu itu sudah membunuh ibumu! Sekarang kamu gambar balik seakan kamu bukan pembunuh ibumu? Dasar anak durhaka!"

Semenjak saat itu, Anggi menjadi pribadi pendiam. Dulunya dia anak yang sangat aktif dan suka tersenyum.

Anggi fokus ke masa depan untuk membuktikan pada ayahnya kalau ia bukan pembunuh Ibu. Walaupun terkadang Anggi membenarkan apa yang ayahnya ucapkan saat ia berumur 5 tahun itu. Ia telah membunuh ibunya sendiri.

"Bengong terus."

Anggi tersadar dari lamunannya. Ia menoleh, menatap datar Dimas yang menyodorkan cemilan untuknya.

Anggi langsung meraihnya. "Aku terlalu menikmati pemandangan kota." Ia rasa alasan itu bisa dimaklumi Dimas, tapi ternyata tidak.

"Bohong," sahutnya. "Kamu pasti memikirkan hal lain."

Anggi membuka cemilan dan memakan isinya. "Oke, aku memikirkan hal lain sampai termenung." Dia tidak ingin memperpanjang urusan.

"Nah, 'kan." Dimas tersenyum penuh kemenangan. "Aku benar."

"Bacot," gumam Anggi, kembali menatap luar jendela.

"Dia memang pendiam begini ya?" tanya supir pada Dimas. "Semua teman cewekmu 'kan rata-rata besar mulut."

"Dia teman baruku, berbeda dari mereka," jawab Dimas. "Tapi perbedaan ini yang membuatnya menarik." Anggi menoleh lagi. "Gadis ini bertekad ingin mengeluarkanku dari paskibraka."

"Oh, ya? Kamu tidak akan bisa, Gadis Muda." Si supir lebih tua dari Dimas, terlihat lewat rambutnya yang sudah memutih dan beberapa bagian wajahnya yang kendor. "Suap melindungi Dimas yang lemah ini. Suap membuat Pak Menteri, Kepala TNI, dan Kapolri tunduk padanya."

"Lebih tepatnya pada Bu Agustini Pangeswaran yang-anaknya-tidak-mirip-dirinya." Secara terang-terangan Anggi mengatakan itu. "Mereka tunduk pada dia, bukan kepada Dimas. Pintar berpikirlah sejenak."

Supir melirik Anggi dari spion depan, lalu menyeringai pada Dimas.

"Dia orangnya memang begini di asrama, Dim?"

"Lebih dari ini."

"Baguslah. Kamu dapat teman cewek yang sangat berbeda dengan teman cewekmu yang lain." Pria yang--lagi-lagi--bukan kelihatan seperti orang Papua sama seperti Bu Agustini--itu menghentikan mobilnya.

"Kita di mana?" tanya Anggi setelah berhenti. Dia menoleh ke sana-sini, mencerna di mana dirinya berada.

"Di sini saja, Pak?" tanya Dimas yang sudah membuka pintu dan keluar.

"Iya."

"Mau keluar 'nggak?" Anggi hanya mendengarkan perbincangan mereka berdua sebelum mengangguk, mengiyakan pertanyaan Dimas.

"Cepatlah." Dimas menutup pintu mobil. Anggi membuka pintu di sampingnya sebelum keluar dan mengeratkan jaket.

Anggi, walaupun bersekolah di SMA negeri Jakarta Barat, dia anak yang tidak suka keluar rumah. Apa pun acara yang diadakan teman-temannya, tidak dihadirinya bila letaknya di luar sekolah. Terkadang banyak yang membencinya karena teman-temannya menganggap dirinya sombong. Namun meski begitu, dia anak yang aktif yang mengikuti lebih dari 5 ekstrakulikuler sampai terpilih jadi anggota OSIS. Teman-temannya hanya bisa memaklumi jika dia tidak hadir karena kepadatan jadwalnya itu.

Sekarang Anggi berada di sebuah tempat. Di depannya, sungai yang memantulkan cahaya bulan membentang. Di atas sungai itu, tak jauh dari Anggi, jembatan penyeberangan terlihat. Samar-samar terdengar suara knalpot dari tempat mereka. Sepertinya ada balap liar, tak jauh dari posisi mereka.

Dimas tadi sempat menghilang entah ke mana. Namun dia kembali, membawa satu piring telur dan satu kardus.

Anggi tak bertanya lebih lanjut apa yang ingin Dimas lakukan dengan semua barang itu, karena dia sudah tahu. Dimas membentangkan kardus dan menekannya. Kardus itu pun menjadi alas yang bisa melindungi bokong dari kotornya rerumputan.

Dimas mengambil korek api di dalam sakunya. Dia menyalakannya sebelum membakar piring telur di tangannya.

Setelah itu, dia memosisikan piring telur itu agar tidak menyentuh rerumputan. Rumput tengah kering karena tadi pagi tidak hujan seperti biasa. Sedikit berbahaya jika rumputnya terbakar.

Selesai, Dimas menoleh pada Anggi yang berdiri memandangi alas kardusnya.

"Tunggu apa lagi? Duduklah," suruh Dimas. Anggi mengangguk kecil, lalu melepas sandalnya dan duduk bersila di sana.

Dimas pergi ke dalam mobil, mengambil sebungkus cemilannya.

"Maaf karena kita hanya jalan-jalan sampai ke sini." Dimas duduk di alas kardus, lalu membuka cemilan dan memakannya.

"Tidak mengapa." Anggi tersenyum. "Di sini saja sudah cukup mengurangi beban pikiran jadi paskibrakaku."

Dimas tersenyum. Setelahnya mereka masing-masing memakan cemilannya dan itu menyebabkan suasana hening.

Anggi tidak ingin memulai topik karena dirinya memang tak terbiasa mengawali perbincangan. Dimas hanya fokus menghabiskan makanannya. Anggi mendengkus karena cemilannya sudah habis dari tadi dan ia rasa dia mau lagi.

"Jadi, kenapa kamu mengajakku jalan-jalan? Bukan mengajak yang lain?" tanya Anggi yang menepis jauh-jauh pikirannya ingin meminta cemilan Dimas.

"Kenapa aku mengajakmu jalan-jalan? Ah, jawabannya simpel." Dimas beralih dari cemilannya. "Aku mau mengenal dirimu."

"Tahu, 'nggak? Sebelum aku dipaksa masuk paskibraka, Pak Menteri menyodorkan daftar nama anggota paskibraka tahun ini. Namamu posisi ketiga yang lolos seleksi, berasal dari SMA negeri Jakarta Barat, namun kau lahir di luar dari kota itu. Aku tertarik denganmu setelah itu," sambung Dimas.

"Memangnya salah jika aku lahir di luar zonasi SMA-ku?" tanya Anggi.

"Bukan begitu maksudku," jawab Dimas. "Semulanya dirimu yang mau kusingkirkan dari posisi ketiga itu. Namun agak tidak adil yang DKI Jakarta jadinya hanya 6 orang sedangkan provinsi lain punya lebih dari enam. Jadi aku menyingkirkan yang peringkat pertama, yaitu Amanda Isy, dan kebetulan dia dari Papua." Dimas menepuk-nepuk tangannya. Dia sudah selesai memakan cemilannya yang hanya tinggal bungkusnya saja.

"Nah, 'kan," sahut Anggi, "kamu 'nggak jadi paskibraka karena obsesi ibumu."

Dimas melotot pada Anggi. "Aku dipaksa memilih."

Anggi meletakkan kedua tangannya tak jauh di belakangnya, lalu menjatuhkan badan beberapa derajat hingga badannya setengah menghadap langit. "Teruslah berbohong, Dimas."

Dimas menggeram. Ia memalingkan wajah.

"Kamu tuh sebenernya apa memang 'nggak bisa melawan keputusan ibumu atau memang dari dulu kamu punya jiwa penyuap?" tanya Anggi, lagi. "Maksudku, biasanya 'kan anak 'nggak mirip-mirip amat sifatnya sama ibunya, terlebih kamu 'nggak mirip dia secara fisik." Anggi memperjelas.

Dimas termenung sejenak. Dia tak menjawab selama satu menit, membuat Anggi merasa kalau pertanyaannya lagi-lagi menyinggung kemiripan Dimas dan Bu Agustini. Itu membuatnya bersalah.

"Kau bisa menjawabnya jika sudah siap." Anggi menegakkan tubuhnya, kembali menatap sungai.

Dimas menarik napas, lalu menghembuskannya. "Sebenarnya, ketidakmiripan antara aku dan ibuku itu .... Yah, Bu Agustini bukan ibu kandungku." Dimas menjawab terang-terangan. "Bapakku memiliki dua istri. Istri pertama adalah Mamaku, istri kedua adalah Bu Agustini."

"Mereka-"

"Kau yakin mau menceritakannya padaku?" Anggi menginterupsi. "Perkataanmu barusan sudah cukup menjawab pertanyaanku kenapa kau tidak mirip dengan Bu Agustini." Anggi sudah lama tidak dihinggapi perasaan bersalah. Sekali merasa bersalah saat malam ini di mana Dimas terang-terangan mengungkap jati dirinya.

"Aku yakin, karena orang sejudes dirimu pasti bisa menyimpan rahasia." Entah kapan terakhir kali Anggi diberi amanah menyimpan rahasia orang.

"Aku lanjutkan ya," kata Dimas. Anggi diam untuk waktu yang lama karena mendadak dia takut pada Dimas yang terang-terangan. Siapa tahu dia ingin memancingnya mengungkap kehidupannya.

"Silakan." Anggi tak ingin membuat Dimas lelah menunggu keputusannya. Lagipula konflik keluarganya kelihatannya menarik untuk dibahas. Maka dia mempersilakan.

"Setelah Bapak selingkuh dan menikah siri dengan Bu Agustini, Mamaku meminta talak pada Bapak. Papa mau, karena dia sudah 'nggak tertarik sama Mama. Namun Mama harus bertahan lebih lama lagi saat tahu hak asuh anak akan jatuh pada Bapak. Dia 'nggak mau jauh dariku, karena Mama yakin Bu Agustini akan menjadikanku sebagai 'mainan'-nya."

Anggi menyimak.

"Bertahun-tahun Mama berusaha bertahan untukku, sampai aku berusia 12 tahun. Aku sudah mengerti dengan konflik dalam keluargaku. Jadi aku bilang sama Bapak, 'Pak, Bapak cinta siapa, sih? Mama atau Bu Agustini?'" Dimas meniru bicara logat Papua. "Terus Bapak jawab, 'Tidak keduanya.'"

"Lalu Bapak mengatakan kalau Mama sama Bu Agustini itu sama saja. Menghabiskan harta, tidak membebani suami. Seharusnya Bu Agustini-lah yang dia anggap seperti itu karena Bu Agustini itu--jangan bilang siapa-siapa!--orangnya matre. Sedangkan Mama, dia orang yang tulus. Tapi kata Bapak, dia terlalu rendah derajat."

"Bu Agustini licik, dia membujuk Bapak agar menceraikan Mama. Bapaj terpancing, diceraikannya Mama. Aku 'nggak bisa apa-apa. Hak asuh jatuh ke tangan Bapak, Mama diusir dari rumah. Saat aku mau menjenguk Mama di rumah orang tuanya, dia sudah ...." Dimas menghentikan perkataannya. Anggi memiringkan kepala, "Sudah apa?" tanyanya, ingin tahu. Dimas menarik napas dalam-dalam. "Dia sudah bersuami dengan orang lain, duda anak 1."

"Sejak saat itu aku benci Mama. Benciku itu merambat ke Bapaj, lalu Bu Agustini. Aku benci keluargaku dan aku tidak mengira rasa benciku itu memengaruhi hidupku. Aku disekolahkan ke sekolah negeri di kota--sebelumnya homeschooling, karena Bapak mulai tidak menganggapku sebagai anaknya sendiri. Aku pun diasuh Bu Agustini yang .... Perkataanku terbuktikan. Dia menjadikanku mainannya untuk mendapatkan popularitas sesama teman ternamanya." Dimas memainkan jari tengah dan telunjuknya.

"Sebenarnya aku mampu melawan Bu Agustini, tapi anak durhaka dalam pandangan orang Papua itu 'nggak bisa dibiarkan hidup tenang sekali lagi." Dimas menghela napas. "Ya sudahlah. Biar kujalani saja hidup penuh ketidakadilan ini. Aku menyerah. Aku stres dan tambah stres setelah jadi paskibraka." Dimas mengeluarkan rokoknya dari saku. "Bagaimana denganmu, Anggi? Coba ceritakan masa lalumu padaku." Dia menyalakan rokok itu sebelum menyesap dan melepas asapnya ke udara.

Anggi menoleh cepat. Dia tidak mengira Dimas menceritakan masa lalunya agar Anggi juga menceritakan masa lalunya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top