4. Talkshow
Seharian ini batang hidung Anta tak terlihat. Biasanya ada dia di jejeran kru perekam yang tersenyum menyemangati. Hal itu membuat Ira agak gugup yang sebenarnya tak pernah dialaminya. Sudah beberapa orang menegurnya yang gugup syuting. Untunglah tak lama kemudian dia bisa membiasakan diri.
Ira istirahat sejenak. Jadwal syutingnya dihentikan untuk sementara. Semua pemain sinetron yang Ira bintangi duduk dan berbincang. Sebagian dari mereka memegang berlembar-lembar kertas yang disatukan dengan klip kertas.
Mereka menghafalkan dialog, terkadang meminum minumannya. Berbeda dengan Ira dan Tasya. Mereka memilih memakan makan siangnya daripada berkutat dengan kertas naskah mereka.
"Anta mana?" Rupanya Tasya menyadari apa yang Ira sadari. "Biasanya dia ada di sampingmu." Ira mengendikkan bahu. "Entahlah. Mungkin dia punya urusan."
Tasya ber-oh-ria.
"Eh, gimana kabar adikmu? Dia baik-baik saja di asrama?" tanya Tasya lagi. Ira berhenti memasukkan makanan ke mulut, sebelum mengangguk dan menelan makannya. "Aman."
Wanita berambut setengah pirang itu mengurut dada. "Aku bukan kakaknya, tapi malah aku yang khawatir." Dia terkekeh. "Latihan paskibraka itu sangat keras, setahuku. Anggi anak yang tangguh sampai bisa bertahan di sana hingga saat ini." Tasya menusukkan tusuk gigi ke potongan buah apelnya dan memasukkannya ke dalam mulut.
Ira tersenyum. "Dia sudah tangguh dari kecil." Dia ikutan memasukkan makanan ke dalam mulut.
"Kamu tidak akan pernah menyesal memilikinya." Tasya menyenggol Ira.
"Yah, kau benar." Ira menoleh sejenak pada temannya itu.
Setelah itu mereka fokus pada ponsel masing-masing. Ira ingin menelepon Anggi, tapi dia merasa adiknya itu tengah sibuk berlatih. Maka ia menghabiskan makanan, lalu menyimpan kotak makan ke dalam tas. Meminum sedikit es jeruk dalam botolnya, dia mengambil kertas naskah dan membacanya.
Sampai dia menyadari kalau Lisa tidak ada.
"Lisa mana ya?" tanya Ira.
Tasya mendongak dari ponsel. "Tumben kamu nanyain dia," sahutnya.
"Dia 'nggak muncul hari ini." Ira mengedarkan pandang ke semua arah. Nihil, tidak ada keberadaan Lisa.
"Seharusnya kamu senang dia 'nggak ada. Kamu bisa menghafalkan naskah tanpa ocehannya yang 'nggak jelas." Tasya fokus pada ponselnya lagi.
"Heran saja sih si rajin itu 'nggak ada hari ini," kata Ira.
"Sudahlah. Jangan dipikirkan. Fokus saja sama naskahmu. Waktu istirahat tinggal 5 menit." Setelahnya Tasya melepas ponselnya dan mengambil naskahnya. Dia bersandar ke kursi dengan posisi bersandar yang bisa mengubah bentuk tulang punggung.
"Baiklah. Saatnya fokus ke naskah." Secara mendadak Ira enggan membaca naskahnya. Namun dipaksanya, takut nanti malah salah dialog. Satu kesalahan, satu rupiah gaji dipotong. Itu prinsip seorang selebriti.
***
Sehabis syuting, Ira bersiap untuk menjadi host dalam sebuah acara talkshow. Acaranya itu memakan waktu 5 jam, dan lagi-lagi tanpa Anta.
Malam ini akan jadi malam paling menegangkan karena dia akan mewawancarai seorang koruptor yang-tak-dikenali-sebagai-koruptor. Tanpa Anta, Ira merasa tidak yakin bisa mewawancarainya. Namun ia harus karena ini menyangkut penghasilan.
"Pak Tio sudah datang?" tanya Ira pada salah satu pemandu acara.
Pemandu acara melirik jam. "Sebentar lagi mungkin. Toh tadi dia bilang ke aku kalau ada urusan sedikit. Maklumilah kalau dia terlambat." Ira menggigit bibirnya.
Ira tidak menyangka akan mewawancarai seorang koruptor tanpa Anta yang entah ke mana. 15 menit sebelum jadwal dimulai, dia membaca berulang kali beberapa pertanyaan di kertasnya. Pertanyaan yang jika dipikir lebih cermat menyiratkan pertanyaan pribadi berupa identitas asli Pak Tio.
Ira gugup. Bagaimana dia melakukan semuanya sendirian tanpa Anta? Ia pernah mewawancarai seseorang yang normal-normal saja tanpa Anta, tapi sekarang dia mewawancarai seorang koruptor tanpa Anta. Apakah dia bisa?
Ira membuang napas. "Sudah selesai? Aku mau menyiapkan diri."
Si pendandan melihat hasil riasannya. "Sudah. Kalau ada yang kurang, panggil aku ya," katanya.
Ira mengangguk. Bangkit, dia pergi ke belakang layar.
.
"Selamat malam! Kembali lagi bersama saya, Iradita Rani yang akan menemani sore santai kalian di acara Bincang Bersama Ira."
Lampu menyorotnya yang duduk di atas kursi tinggi. Senyum mengembang, rambut ikalnya dikepang. Wanita berwajah lonjong itu sudah memancarkan aura khas host-nya. Dari barisan kru perekam, seseorang berpakaian kerah berlengan pendek mengangkat papan tulis kecilnya, bertuliskan "Basa-basi sampai aku selesai menulis yang lain, lalu memperkenalkan tamu-tamu yang akan diwawancarai." Dia menurunkan papannya dan menghapus tulisan di sana.
"Seperti biasa, kita akan mengundang beberapa tamu yang akhir-akhir ini menghebohkan jagat maya. Ibu-ibu, tamu ini akan membuat kalian beralih dari Arya Saloka karena kharismanya yang ...." Ira melirik tiga foto tamu yang dua laki-laki dan satu perempuan. Satu tamu--tamu pertama, Pak Tio--memiliki wajah yang siap-mendapatkan-istri-kedua. "sangat kuat." Ira kembali menatap kamera dan tersenyum aneh. Dia tak bisa membayangkan Pak Tio mendengar perkataannya. "Tamu kita ini lebih menarik dari kemarin," sambung Ira, berusaha mengulur waktu sampai papan tulis orang tadi terangkat, bertuliskan, "Pak Tio selama 20 menit."
"Kita sambut tamu pertama, Pak Hanstio Salosa." Tepuk tangan terdengar dari para penonton. Musik dimainkan oleh band pemain musik yang berada tak jauh di belakang Ira. Seseorang masuk dengan jas hitam dan baju berkerahnya.
"Pak Tio, ambil aku jadi istrimu!" teriak salah seorang penonton yang mengundang gelak tawa semua orang. Ira yang sudah berdiri bergidik tanpa sadar mendengarnya. Bagaimana tidak bergidik, yang berteriak itu merupakan salah satu puluhan orang yang tak tahu Pak Tio seorang koruptor.
Pak Tio tertawa, lalu berjalan mendekati kursi sofa yang telah disediakan. Dia berjabat tangan sejenak dengan Ira. Ira sempat salah tingkah setelahnya.
Ira pun duduk. "Selamat datang, Pak Hanstio." Ira memerhatikan lagi nama tamunya yang satu itu, takut salah sebut.
"Tio saja," sahut Pak Tio.
Ira mengangguk paham. "Pak Tio," ulangnya.I
Ira mengenal dengan baik teknik berkenalan dengan seseorang yang bisa membuat akrab. Teknik ini sudah dikuasainya sejak pertama kali menjadi host di acara orang, yaitu menyebut salah secara sengaja panggilan tamu.
"Jadi, gimana sih awal mula Bapak kepikiran memberi uang pada pengamen jalanan sebanyak 500 ribu?" Acara berkenalan sudah selesai, sekarang saatnya ke tujuan perbincangan. "Biasanya 'kan paling banyak sepuluh ribu, tuh." Ira melempar pertanyaan pertama. Pak Tio menatap ke atas sejenak, sembari berdehem panjang.
"Mulai dari mana ya?" Pak Tio tersenyum. Senyumnya menawan, harus Ira akui. Wajahnya yang sudah keriput tidak mengurangi ketampanannya. "Pengamennya itu kalau ditilik lebih teliti, bisa jadi musisi," kata Pak Tio. "Dia menyanyi bagus sekali. Semoga saja produser musik tanah air ketemu dia, biar dia bisa jadi artis." Pak Tio memajukan tubuhnya. "Untuk alasan kenapa aku memberinya uang banyak, karena ukulelenya mengingatkan saya saat saya masih kecil." Pak Tio menatap ke atas. "Saya suka main ukulele pas saya dikekang di rumah," sambungnya yang membuat Ira terdiam seketika. "Jadi saya memberi dia uang banyak karena saya ingat masa kecil saya."
Entah Pak Tio sengaja atau tidak mengatakan itu, dia membuat Ira berpikir kalau Pak Tio benar-benar seseorang yang dibebaskan bersyarat dari penjara. "Dikekang di rumah? Kok bisa, Pak?" tanya Ira, ikut memajukan tubuhnya.
"Mama sama Bapak saya itu orangnya protektif, terlebih saya anak tunggal, jadi ... ya begitulah." Ira mengangguk-angguk. Pak Tio terkekeh.
"Setelah mereka meninggal, baru saya bisa keluar dari rumah." Aura acara mendadak berubah tidak enak. Pak Tio terus menyambung perkataannya sambil menatap Ira. "Saya coba ikut audisi jadi artis untuk cari penghasilan, tidak diterima. Ya sudah saya jadi pengusaha saja di Papua." Pak Tio menjawab semua pertanyaan rahasia yang baru saja hendak disiratkannya ke pertanyaan rekomendasi netizen. Pak Tio lalu memutus tatapannya dari Ira. Ira menarik kerah bajunya, menghilangkan rasa tidak enak pada dirinya sebelum melontarkan pertanyaan keduanya.
"Dulu usaha apa di Papua, Pak?"
"Um, jadi penggali tambang. Entah kenapa bos saya saat itu malah mau saya jadi bosnya. Saya jadi bos tambang setelahnya."
Ira berpikir lagi. Secara mendadak bapak tampan ini menjadi bos perusahaan. Itu membuatnya menemukan pertanyaan baru yang akan disiratkan ke pertanyaan berikut.
"Kok bisa jadi bos, Pak? Ada kasus sama bos lamanya ya?" Ira harap Pak Tio membaca pertanyaan tersiratnya.
"Iya. Korupsi gaji pegawai." Pak Tio menatap Ira lagi. "Mbak, kalau pertanyaan menyangkut tentang saya yang jadi bos perusahaan tambang, lebih baik ditanyakan pribadi saja ya." Pak Tio mengetahui pikirannya!
Ira langsung merasa tidak enak. Ia melirik pemandu acara yang memberi syarat pada operator acara. Salah satu lampu di langit-langit yang berguna sebagai tanda acara dijeda atau disambung berubah jadi warna hijau di mana itu artinya acara ditunda sejenak. Ira langsung buru-buru mengucapkan kata pengakhir acara karena iklan komersial akan tayang. "Jangan ke mana-mana dan tetap di Bincang Bersama Ira!"
Musik disetel, lalu suasana hening, kemudian gaduh.
Para pendandan langsung mengerubungi Ira, mendandaninya yang berkeringat. Pemandu acara juga ikut menghampiri Ira.
"Maksud dia apa, sih?" tanyanya, melirik Pak Tio yang sibuk memainkan ponselnya.
"'Nggak apa-apa," jawab Ira, menjaga diri agar tidak keceplosan. "Kita bicarakan nanti."
"Untuk apa nanti? Sekarang saja." Darah Ira terkesiap dan semua orang di sekitarnya menoleh pada Pak Tio. Ira menggeleng kecil agar Pak Tio tidak memberitahu mereka akan Ira yang menanyakan pertanyaan yang seharusnya tidak ditanyakan kepadanya. Pak Tio tersenyum, menyakinkan kalau dia tidak ingin memberitahu mereka tentang itu. Namun rupanya dia memberitahu sesuatu yang membuat ia secara terpaksa dikeluarkan dari acara. "Aku tahu hanya kamu yang tahu siapa aku. Kenapa kamu 'nggak bilang sama yang lain kalau aku seorang koruptor?"
.
"Anta mana, sih?" Ira gemetar. Acara sudah selesai dan pengungkapan jati diri Pak Tio tersebar di seluruh penjuru tempat kerjanya. "Pasti pas lagi ada masalah dia sibuk dihubungi," gerutu Ira. Dia menempelkan ponsel ke telinga dan tidak ada sambungan.
"Ada yang panik rupanya." Ira langsung gelagapan menyembunyikan ponsel. Pak Tio muncul tiba-tiba dari sampingnya.
"Apa mau Bapak sekarang?" tanya Ira. "Semua orang membicarakanku yang tidak memberitahu pemandu acara kalau Bapak adalah koruptor. Sekarang apa yang Bapak mau?" Ira menatap tajam dari sudut mata. Pak Tio bersandar ke tembok. "Menurutmu?"
Ira berdecak. Gara-gara dia aku merasakan kalau popularitasku akan menurun.
"Bapak tidak berniat menurunkan popularitasmu." Ira terbelalak. "Salahmu sih mau tahu kehidupan orang." Pak Tio menatap ke arah lain saat Ira menoleh. "Kamu yang mulai duluan."
"Hei, aku bisa saja me-reveal identitas Bapak saat acara dimulai. Jika saja bayarannya tidak tinggi, aku pasti akan melakukannya." Ira mendorong bahu Pak Tio.
"Oh, suka uang ya?" Pak Tio menyeringai. Ira terdiam lagi. Bapak tampan yang satu ini pintar memancing seseorang untuk jujur.
"Ti-Tidak terlalu." Ira mengaitkan rambut yang menutupi wajahnya. "Sudahlah. Lebih baik Bapak pergi sebelum Bapak berbuat onar lagi pada orang lain." Ira pergi dari samping Pak Tio. Punggungnya hilang di belokan lorong yang tidak terlalu ramai itu. Bibir Pak Tio tertarik ke atas dengan mata berkilat.
"Anta, kamu yakin itu dia?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top