3. Si Tekad-Bulat dan Si Terancam

Angkuh benar-benar nyata terlihat dari wajah Bu Agustini. Dia tambun dan sepertinya seorang terhormat, juga pintar hingga Pak Menteri berhasil digodanya.

Remaja laki-laki yang seumuran dengan Anggi, mendekatinya dan mengangguk sekali sebagai bentuk hormat pada Pak Menteri dan dua orang penting di sampingnya. Pak Menteri langsung menjabat tangannya. Bu Agustini menepuk-nepuk kipasnya ke lengan si pemuda. "Aku titip dia pada kalian." Nada bicaranya lebih dari orang biasa.

"Mohon bimbingannya." Nada bicara si pemuda mirip nada bicara orang Korea.

Pak Menteri dan dua rekannya mengangguk. Si pemuda meraih koper dan satu tas berukuran besar lain, kemudian masuk dengan 3 orang itu menyingkir.

"Aku harus pergi. Banyak pekerjaan yang ingin diselesaikan." Bu Agustini mengembangkan kipasnya. "Terima kasih, Pak Menteri." Dia berkedip di belakang kipas yang menutupi setengah wajahnya itu. Pak Menteri tersipu, lalu mengangguk.

"Dimas, turuti apa yang pemimpinmu ini mau ya,* teriak Agustini.

"Siap, Ma!" Dimas balik berteriak. Anggi memincingkan mata. Si penyuap itu memiliki nama Dimas.

Seiring mobil pergi, Dimas diajak berbincang dengan Pak Menteri sejenak. Setelah itu, Pak Menteri memperkenalkannya pada Anggi dan teman-temannya. Teman-teman perempuan Anggi sudah seperti cacing kepanasan.

"Hai, semua. Aku Dimas." Dimas memberikan senyum terbaik sebagai anak penyuap.

"Hai, Dimas." Anggi membalas senyumnya. "Selamat datang di Desa Bahagia, Penyuap."

Teman-teman Anggi meliriknya. Anggi bermental besar mengungkap jati diri seseorang di tempat umum.

Pak Menteri terkekeh hambar sebelum menarik Dimas untuk mengantar ke kamarnya. Setelah dia berlalu, kepala TNI dan Kapolri menyuruh mereka berkumpul di lapangan. Mereka akan memulai latihan.

Latihan korupsi sejak dini, gerutu Anggi. Katanya 2 jam istirahat, sekarang baru 30 menit.

.

Anak baru itu mendapatkan PR yang sangat banyak mengenai baris-berbaris. Dia bahkan berbalik saat disuruh balik-kiri--perintah itu ada, tapi tak boleh dilakukan sesuai hukum baris-berbaris pada umumnya. Tinggi Dimas bahkan masih pendek daripada tinggi Anggi--kurang dari standar. Anggi beberapa kali menyindirnya saat bertemu, berakhir disenggol teman perempuannya yang tersenyum tak enak pada Dimas.

Hingga datang malam hari saat mereka diperbolehkan beristirahat. Anggi sudah siap untuk makan malam bersama saat melihat Dimas pergi ke belakang asrama. Belakang asrama adalah area yang paling dia dan teman-temannya hindari agar tidak dimarahi petugas yang menjaga mereka. Anggi menoleh ke belakang, tidak ada siapa pun. Anggi tersenyum karena dia memang ingin sendirian mengikuti pemuda itu.

Maka dia melangkahkan tungkai, berusaha menjaga keheningan. Hewan malam seakan diancam untuk terus bernyanyi agar langkahnya tersamarkan.

Dimas berbelok yang membuat Anggi menempel ke tembok. Dia menggeser tubuhnya sekali-kali, lalu mengintip apa yang pemuda itu lakukan.

Mengintip, Anggi tidak menemukan apa pun. Anggi keluar dari persembunyian. Dia bingung ke mana Dimas pergi.

Sampai akhirnya dia mencium bau rokok di belakangnya. Angin berhembus menerpa rambutnya. Anggi berbalik, lalu menjauh karena tidak menyukai asap tembakau yang dibakar.

"Halo, um ... Penguntit," sapa Dimas. Dia menyeringai. "Aksimu boleh juga. Sayangnya langkah kakimu lebih berisik dari langkah kakiku." Dia menaikkan kedua alisnya dua kali.

"Apa yang kaulakukan, Penyuap?" Anggi tidak suka dirinya balik diuntit oleh seseorang. "Merokok pula."

"Santai. Latihan hari ini agak keras, dan tempat ini membosankan." Selagi dia berkata begitu, Dimas mengedarkan pandangan ke plafon-plafon rumah. "Aku lebih suka rumah mewah, atau hotel bintang 5 di Bali. Jika saja Mama tidak terobsesi ingin mendaftarkanku jadi paskibraka, aku pasti berada di salah satu pulau pribadinya."

Mendengar kata mama, Anggi baru sadar kalau sang Mama tidak mirip dengan anaknya. Dimas sudah dipastikan orang Papua asli dengan lekukan wajah khas wajah orang sana. Sedangkan sang Mama berkulit sedikit terang dan wajahnya agak ke-Jawa-Jawa-an.

"Dia Mamamu? Kau bahkan tidak terlihat mirip dengannya." Anggi terkekeh. Dimas melotot padanya. "Jangan bicara macam-macam tentang Mama!" Tawa Anggi meledak karena dia berhasil sedikit menjatuhkan mental--mungkin--anak itu.

"Heh, Penyuap." Anggi maju, mendorong tanpa perantara pemuda itu. "di sini itu bukan tempatmu. Lebih baik kamu pulang dan nikmati pulau pribadi Mamamu."

"Aku tahu itu." Dimas menahan tubuh Anggi. "Aku hanya menuruti keinginan Mamaku yang mau aku jadi paskibraka. Maklumilah." Gigi Anggi bergemetak. Dia menjauh selangkah dari Dimas dan melipat tangan. "Aku akan buat kamu terusir dari sini."

"Coba saja. Jika kamu nekat, mungkin kamu yang terusir seperti temanmu kemarin." Dimas terkekeh. Anggi mengernyit remeh. "Itu tidak akan terjadi." Dia langsung berbalik.

Dimas menyahut dengan nada rendah. "Ya, itu tidak akan terjadi walau aku pergi dari sini." Dia menyesap rokok sebelum melempar batangnya ke bawah dan menginjaknya, lalu melangkahkan kaki menyusul Anggi.

.

"Hem, ada yang saling suka, nih." Anggi duduk di meja tempat Sifa dan teman-teman lainnya duduk. Sifa menyenggol Aisyah di samping kirinya, lalu menyenggol Maria di samping kanan.

"Apa maksudmu?" Anggi langsung melahap makanan setelah duduk sempurna di atas kursi. Sifa menunjuk ke arah Dimas yang mengobrol--atau menggoda?--dengan penjaga kantin asrama. Setelahnya dia pergi dengan loyang berisi di tangannya, lalu duduk di samping seseorang yang menawarkan mejanya untuk diisi satu orang lagi.

Anggi sudah tahu apa yang mereka tunjuk. "Masalah?" sahutnya. Sifa, Aisyah, Maria, dan 2 lainnya yang mengapit tubuh Anggi langsung ber-oh-ria, memancing orang-orang menoleh pada mereka.

"Kalian benar-benar saling suka?" tanya Aisyah. "Kamu menyukai penyuap itu?"

"Tidak," tukas Anggi. "Maksudku, masalah jika aku dekat dengannya? Aku ingin membuat mentalnya jatuh dan jika mentalnya jatuh, dia akan pergi dari sini."

"Lalu, jika dia pergi, siapa yang akan menggantikannya?" tanya Maria. "Jangan ngaco, deh. Dia sudah menjadi anggota tetap kita. Dia tidak boleh pergi karena Pak Menteri tidak hanya mengharapkan uang ibunya, tapi potensi anaknya," bisik Maria.

"Heh, Manda pergi karena anak itu. Anak itu juga harus pergi seperti Manda," protes Anggi. "Manda yang sudah menjadi anggota tetap malah dikeluarkan dan digantikan olehnya. Bukan berarti Pak Menteri tidak dapat melakukannya sekali lagi untuk mengganti Dimas."

"Mulut itu jangan mudah bicara saja." Sifa bangkit dari duduknya, mencondongkan tubuh untuk memukul-mukulkan sendoknya ke bibir Anggi. "17 Agustus sudah dekat."

"Makanya itu." Anggi menyeringai. "Akan kubuat dia keluar sebelum 17 Agustus."

Sifa, Aisyah, dan Maria, serta dua lainnya saling pandang. "Semoga beruntung. Dimas sepertinya tidak akan bisa keluar walau kau bertaruh nyawa," kata Aisyah.

Anggi tersenyum lebar. "Aku pasti akan beruntung. Tuhan menyayangi orang baik."

Tiga sekawan itu mengendikkan bahu. Mereka berenam pun kembali melahap makan.

.

Alarm terompet membuat jantung Anggi nyaris copot dari tempatnya. Alarm terompet dari toa itu merupakan alarm yang sentiasa dibunyikan setiap jam 4 pagi.

Suasana langsung gaduh di luar dengan Sifa yang merengek tak mau bangun. Anggi tidak memedulikannya. Dia mengambil handuk dan gayung berisikan sikat dan pasta gigi, lalu membuka pintu dan berjalan santai ke kamar mandi.

Sambil menunggu giliran, Anggi memperhatikan Dimas yang berusaha menahan kantuk. Bibirnya tak henti bergerak. Anggi tebak dia bergumam sebal karena dibangunkan saat tidurnya belum pulas. Anggi menyeringai remeh.

Anggi selesai mandi dan sudah mengenakan pakaian latihannya. Dia ke kamar untuk mengantar gayung dan handuknya sebelum berdiri di lapangan untuk mengikuti instruksi selanjutnya.

Setelah semua orang berkumpul, presensi dimulai. Dari A sampai Z, semua nama disebutkan dan tidak ada yang tidak hadir.

Kemudian latihan ala tentara dilakukan. Pemanasan, push-up, pull-up, sit-up, dan lain sebagainya. Tubuh berkeringat dan istirahat 15 menit, sebelum latihan baris-berbarisnya dimulai.

Dimas duduk, lemas di tangga keramik rumah. Anggi terkekeh. Dia mendekati Dimas yang menghapus keringatnya.

"Penyuap ini tidak sekuat yang kukira." Dimas mendongak padanya. Saat itu, suasana masih temaram karena matahari belum menampakkan dirinya dengan sempurna. "Dia hanya kuat di uang."

"Diam!" Napas Dimas ngos-ngosan. Dia menjadi tak bisa menyahut banyak perkataan Anggi itu.

"Ini katanya mau jadi paskibraka." Tak peduli, Anggi tetap menyambung. "Dasar lemah!"

"Hei, kau." Seorang petugas memergoki Anggi. "gunakan waktumu untuk istirahat, bukan berbincang dengannya. Kita akan latihan keras setelah ini."

Anggi menoleh dan menyatukan kedua telapak tangannya--mohon ampun. Si petugas mendengkus dan kembali berbincang dengan temannya. Dimas terkekeh dan mengernyit. "Kena," ucapnya.

"Hei, ini baru permulaan." Anggi tersenyum. "Akan kupastikan kau pergi dari sini sebelum 17 Agustus." Dia pergi dari hadapan Dimas yang wajahnya memerah memendam amarah.

Ia sudah bilang dirinya tidak berniat jadi paskibraka, dia ada di sana karena obsesi ibunya.

Namun kendati demikian, gadis itu menarik perhatian Dimas. Dimas ingin mengenal dia lebih lanjut karena kata-katanya yang menohok itu. Siapa dia yang bertekad mengeluarkannya dari paskibraka.

***

Ponsel diletakkan kasar oleh Ira. Dia kesal karena panggilannya tertolak sampai dia merasakan ponsel adiknya dimatikan total. Dia ingin bicara sesuatu tentang surat yang tadi pagi ditemukannya. Namun ia sadar dia berada di tempat yang salah. Dia berada di kamar mandi salon ternama yang terlalu banyak pelanggannya. Ira sendiri memilih menghabiskan waktu mengantri dengan duduk di toilet.

Surat tadi pagi adalah surat ancaman. Tulisannya mirip dengan tulisan Anta. Ira sudah hafal bagaimana gaya tulisnya Anta. Itu membuatnya seharian ini tidak berani bertemu atau mengajaknya mendampingi seperti biasa. Ia takut kalau memang Anta-lah yang membuat surat ancaman itu.

Pemerasan dan rencana pembunuhan ada di surat itu. Pemerasan ditargetkan kepadanya, sedangkan pembunuhan ditargetkan padanya dan juga adiknya.

Ia membuka kembali layar dan memperhatikan surat yang telah difotonya itu. Dia tak sanggup membaca isinya. Entah kenapa firasatnya buruk hanya gara-gara gaya tulisannya.

Ira keluar dari bilik kamar mandi setelah merasa sudah gilirannya melakukan perawatan wajah.

Saat di perjalanan ke ruang utama, Ira ditabrak seseorang. Ira langsung kesal. "Jalan pakai mata!"

"Kamu tuh yang jalan pakai mata," sahut si penabrak. Ira menoleh padanya dan dia menoleh juga pada Ira. Mereka saling tatap satu sama lain sebelum menyadari kalau mereka sama-sama satu profesi.

"Iradita." Si penabrak menatap dari ujung kepala sampai ujung kaki Ira dengan pandangan merendahkan. "Ngapain kamu ke sini?"

"Perawatan, dong," jawab Ira, tidak suka. "Malas, ah. Aku pergi." Ira mengibaskan tangan dan berlalu kembali.

"Tahu, 'nggak?" Lisa menghentikan Ira. "Aku sudah punya pacar," katanya.

Ira diam sesaat. Mantan sahabatnya itu bisa dibilang seseorang yang dengki, dan dia akan meniru siapa pun yang dia mau tanpa memikirkan baik-buruknya untuk orang lain.

Lisa termasuk seseorang yang menyorot kehidupannya selain paparazzi di luaran sana. Jika dia beli tas gandeng, maka dia juga beli tas gandeng yang harganya selangit. Dia merasa tersaingi padahal Ira tidak berniat menyainginya.

"Bagus, kita berdua punya pacar," komentar Ira yang tidak menoleh barang sedetik. "Semoga pacarmu betah," sindirnya sebelum pergi lagi. Lisa memasamkan wajah. Dia mengepalkan tangan sekuat-kuatnya, memasang wajah layaknya singa yang ingin menerkam mangsanya.

"Tidak apa-apa, Lisa. Ira bukan apa-apamu." Lisa menenangkan diri. "Nanti beritahu dia siapa pacarmu, maka dia akan jatuh olehmu." Lisa tersenyum lebar.

Ira duduk di atas kursinya dan berbaring sesuai instruksi petugas salon. Rambutnya akan dicuci sebelum wajahnya diberi masker. Kukunya akan dihias setelah itu dan wajahnya akan diberi perawatan lain.

Ira tak pernah tahu mengapa kehidupan selebriti sangatlah rumit. Apalagi tambah rumit kalau punya saingan. Ira tidak berharap ada saingan sebenarnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top