2. Tersangka | 16. Laporan Palsu
Ira merasa baikan setelah pulang dari rumah Kelin. Ia hanya akan beristirahat di rumah karena hari ini adalah jadwal cutinya. Dia sudah selesai syuting semua episode sinetron dan talkshow-nya sudah punya cadangan untuk diputar. Ia ingin tenang, fokus mendoakan pacar dan adiknya, dan merehatkan diri dari segala urusan memuakkan. Lagi-lagi, temu fans ditunda.
Di waktu cutinya itu dia membersihkan rumah bersama pembantunya. Saat masuk ke kamar Anggi, Ira terdiam sejenak. Ia ingat kalau kamar di rumah persegi panjang itu adalah kamar di mana si adik biasa tidur dengan buku berserakan di samping badannya. Beberapa fotonya dan foto Ira tergantung di sebuah tali, dijepit penjepit baju.
Dengan berat hati Ira masuk ke sana. Ia membersihkan lemari yang mulai berdebu, menggosok-gosok kemoceng di buku-buku pelajarannya. Setelahnya ia menyapu dan duduk merehatkan badan di atas kasur. Ruangan putih-kelabu itu memiliki perabotan yang simpel. Banyak ruang di kamar ini dibandingkan dengan kamar Ira.
Ira turun dari kasur karena pembantunya ada di depan pintu tanpa ia sadari. "Bi, nanti kamar ini dipel, kotorannya dibersihkan dulu ya."
"I-Iya, Non." Si pembantu tergagap. "Ngomong-ngomong, Non, ada tamu di bawah." Ira mengernyit heran. Ia pun keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk ke lantai satu.
"Pak Tio." Ira merekahkan senyum mendapati Pak Tio yang berkunjung ke rumahnya. Pria itu bersama Dimas yang membuat Ira berhenti setelah turun dari tangga.
"Maaf ke sini tidak memberitahu terlebih dahulu," pinta Pak Tio, mengedarkan pandangan. Sementara Pak Tio bertingkah begitu, Dimas menatap Ira dengan sorot tak suka, membuat Ira menautkan alis dan menggeram.
"Duduk, duduk." Ira mempersilakan Pak Tio dan Dimas untuk duduk di sofa tamunya. Mereka pun duduk sedangkan Ira ke dapur yang tempatnya menyatu dengan ruang tamu dan ruang televisi. "Jangan repot-repot, Ira. Kami hanya sebentar."
"'Nggak apa-apa, kok," sahut Ira dari dapur.
"Baik, terserah," sahut Pak Tio, berbisik. Ia dan Dimas pun menunggu Ira duduk di single sofa di samping sofa tamu. Sembari menyodorkan cangkir-cangkir teh, Ira bertanya, "Ada apa ke sini, Pak?"
"Dimas rindu Anggi." Dimas memuncratkan tehnya. Ira kaget, Dimas menatap nyalang ayahnya. "Mana ada aku bilang begitu."
"Pura-pura tidak ingat," sahut Pak Tio.
"'Ndak!" tukas Dimas. Pak Tio tertawa sejenak dan Ira yang ikut tertawa, hambar.
"Kamu suka sama Anggi ya?" tanya Ira.
Dimas menggeram tak suka. "Pak, jika kita ke sini hanya untuk mengejekku yang suka sama Anggi, lebih baik aku pulang duluan." Dimas membersihkan meja dari sisa teh muncratannya dengan tisu yang disediakan. Ia akan bangkit sebelum Pak Tio meraih tangan Dimas dan mendudukkannya kembali. Dimas menggeram lagi, lalu melipat tangan.
"Tujuan kami kemari hanya ingin tahu kenapa kamu merasa pembunuh Anta dan Anggi ada di sampingmu." Ira berhenti menyesap kopinya sesaat. Ia mengingat-ingat kapan dia mengatakan itu sebelum ber-oh-ria dan menyahut, "Aku benar-benar merasakannya, Pak Tio. Tapi untunglah setelah kemarin malam menginap di rumah teman, aku merasa baikan. Aku tidak lagi merasa begitu."
Pak Tio mengangguk-angguk. "Aku sempat mengira karena perkataanmu di telepon kemarin yang berartikan seseorang yang kaukenal membunuh Anta dan Anggi."
"Sejenak aku juga berpikir demikian. Ternyata hanya feeling." Ira menghela napas lega. "Terima kasih atas sarannya ngomong-ngomong, Pak."
Pak Tio mengangguk-angguk, sebelum nada dering ponsel Ira terdengar dengan teriakan pembantu yang menuruni tangga. "Ada telepon, dari Wawan."
Ira bangkit dan menerima sodoran pembantu itu. Ia mengangkat panggilan dan menempelkan ponsel ke telinga. Baru saja hendak menyapa, telinga Ira berdengung karena teriakan marah Wawan di seberang.
"LO YANG BENAR JADI TEMAN, IRA!"
Ira mengernyit. "Maksudmu?"
Wawan pun menceritakan kejadiannya. Ira terkejut, dan dia lekas bersiap. Ia ingin pergi ke kantor polisi dengan Pak Tio serta Dimas yang ikut.
.
"Bisa-bisanya kamu menuduh kami."
Ira nekat masuk ke ruang interogasi kantor polisi di mana ada Wawan dan Kelin di sana. Mereka masih memakai seragam kerja mereka. Dua oeang itu memasang wajah masam.
"A-Aku 'nggak buat laporan ini." Ira melototi surat laporan beratasnamakan dirinya, berisi tentang laporan kalau Wawan dan Kelin sama-sama terjerat kasus pembunuh Anta dan Anggi. "Suwer!" Ira menatap Wawan dan Kelin yang tidak percaya.
"Lalu, ini milik siapa, dong?" tanya salah satu penyidik yang jumlahnya dua. "Nama dan alamatnya pas, tempat kerjanya juga pas, tanda tangan yang diganti cap jempol juga punya kamu." Ira mengerutkan dahi. "Sungguh, Pak, aku tidak membuat ini."
"Kenapa orang-orang yang namanya Ira nyebelin banget, sih?" tanya Kelin pada udara, sarkasme. Ira menatap tajam.
"Jadi ini laporan palsu?" Penyidik satunya membawa suasana kembali seperti tadi. "Siapa yang buat ya? Dasar tangan-tangan usil!" Dia meraih sodoron Ira akan surat itu. "Anehnya semua identitasmu di KTP tertulis di sini." Ia menggaruk-garuk kepala.
Pasti pembunuh, batin Ira, yang kemudian dilisankan Pak Tio hanya saja dengan nada rendah. Dimas menatap dua teman kerja Ira yang mengomel dari tadi. Ciri-ciri si tomboi membuat Dimas menyenggol ayahnya, menyuruhnya memperhatikan wanita itu yang ciri-cirinya sama dengan ciri-ciri pembunuh yang mereka tebak.
"Apakah dia pembunuhnya?" tanya Dimas, pelan, takut terdengar. Pak Tio menatap ke arah tatap ankanya. "Tidak seperti yang kubayangkan," jawabnya.
Dimas menoleh cepat. "Tapi dia tomboi."
"Dia bukan pelakunya," sahut Pak Tio, lalu menyuruh Dimas berhenti mengoceh. Dimas mengendikkan bahu. Apa pun yang ada di pikirannya ayahnya saat ini tentang pembunuh, mungkin tida akan diberitahunya pada Dimas. Dimas akan sabar mnunggu kapan kiranya ayahnya itu memberitahunya.
Maka masalah itu pun diselesaikan baik-baik dengan Ira yang minta maaf pada Kelin dan Wawan. Orang yang benci Ira pun bertambah. Pak Tio hanya bisa menyemangati Ira yang manyun dan mendadak malas kerja minggu depan. Minggu depan, Ira teringat akan Pak Tio yang akan masuk ke dalam penjara.
"Itu artinya aku tidak bisa lagi minta bantuan Bapak." Ira tersenyum kecut.
"Bisa saja kalau kau mau menjengukku." Wajah tua Pak Tio memberi senyum penyemangat.
"Makasih untuk semuanya, Pak," kata Ira. "Aku tak akan bisa menyelesaikan ini semua tanpa Anda."
"Sama-sama."
Dimas menatap curiga Ira yang kembali mengatakan perkataan yang janggal. Memangnya kasus ini sudah selesai?
***
"Apa kamu memikirkan apa yang kupikirkan, Dimas?"
Si ayah bertanya pada si anak. Dimas mengangguk. "Iya, Pak."
Pak Tio menyesap rokoknya. "Ira mulai mencurigakan," katanya. Dimas mengangguk, setuju. "Aku juga berpikir demikian."
Pak Tio hanya membuang napas. Ia kira mulanya kasus Anta dan Anggi tidak serumit sekarang. Sekarang hanya akan ada dua kemungkinan yang terjadi dalam waktu dekat karena ketidaktepatan tebakannya itu. Ira terbunuh atau Dimas di-'bunuh'. Isi surat itu tidak lagi mengarah pada Ira semata.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top