2. Setelah Manda Pergi

Semalaman Anggi tak dapat tidur. Sedikit-sedikit diliriknya Manda yang terbaring membelakanginya. Sedikit-sedikit dipandangnya langit-langit kamar. Sedikit-sedikit bangkit ke kamar mandi untuk cuci muka.

Perasaannya campur aduk walau bukan dia yang dikeluarkan si penyuap. Marah, kesal, dan sedih. Semuanya menyatu menjadi kasihan.

Kasihan kepada Manda, benar-benar kasihan yang sesungguhnya. Kasihan karena Manda yang tinggi, cantik, dan baik hati itu harus tersingkir saat latihan sudah berjalan 13 hari.

Kasihan kepada anak penyuap, kasihan sarkasme. Kasihan padanya karena dia orang yang sangat tidak mampu sehingga menyuap orang penting negara agar menjadi paskibraka.

Tidak adil.

Anggi merasakan ketidakadilan. Itu membuatnya terkenang masa lalu saat ayahnya lebih sayang pada Ira, selalu memberikan Ira ini-itu, selalu menyanjung Ira dan membanding-bandingkannya dengan Anggi, seakan Anggi tidak bisa menjadi persis seperti Ira.

Hal itu membuat dirinya keras menjalani kehidupan. Dia belajar setekun-tekunnya sampai dinyatakan sebagai siswi terbaik di sebuah SMA negeri Jakarta.

Sedangkan sang Kakak, dia hanya memiliki preastasi non-akademik. Berbeda dengannya yang menguasai akademik dan non-akademik. Terkadang Anggi berpikir apakah ayahnya akan berubah karena dia lebih pintar dan kuat dari Ira.

Dan pemikirannya itu sudah dipatahkan bertahun-tahun silam.

Anggi melirik Manda lagi, lalu bangkit. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 pagi. Anggi menghela napas, lalu berdiri dan keluar, sambil mengenggam gayung dengan bahu ditenggeri handuk.

***

Latihan sudah berjalan selama 4 jam, berhenti sesaat agar peserta Muslim melaksanakan ibadah tahajud dan subuhnya. Selama itu, Anggi memanfaatkan waktu untuk latihan fisik. Berlari, push-up, pull-up ditemani Manda. Bagi Anggi, dia akan lebih tenang jika melakukan olahraga berat.

Manda tidak memakai baju latihannya. Kopernya tergeletak di lantai, bersandar di tiang Desa Bahagia. Dia sedang menunggu jemputan, dan selagi dia menunggu, dia ingin melihat teman-temannya latihan. Ia harus memuaskan mata karena kesempatan sekali seumur hidup ini tidak akan hinggap lagi ke hidupnya.

"Jangan keras pada dirimu, Anggi." Manda memperingatkan saat Anggi memaksa tungkai tangannya mengangkat tubuhnya saat pull-up. "terlebih untukku."

"Tentu saja." Anggi menurunkan tubuh, lalu melepas pegangan pada besi panjang yang menyambungkan bagian atas dua tiang. "Kamu 'nggak akan mau aku keras pada penyuap itu."

Manda menatap bersalah Anggi. Sebenarnya dia takut sesuatu terjadi karena Anggi nekat mencari urusan dengan si penyuap hanya gara-gara dirinya.

"Kamu tidak perlu khawatir." Anggi menepuk-nepuk bahu Manda. "Semuanya akan adil pada waktunya."

Manda mengangguk-angguk.

"Dan menunggu keadilan menegakkan dirinya sendiri sangatlah lama." Anggi melompat dan kembali melakukan pull-up. "Jadi biarkan aku mempercepat. Jangan risau." Dia kembali mengangkat badan, menurunkannya, lalu mengangkat lagi. Manda mengangguk. Senyum terukir kecil setelah wajahnya dibiarkan suram beberapa jam.

"Makasih ya," ucapnya. "Aku akan tetap senang walaupun disingkirkan si penyuap. Karena masih ada dirimu di tim, yang akan memberinya pelajaran."

Anggi melepas pegangannya lagi. "Kau bisa mengandalkanku." Anggi mengedip. Manda tersenyum semakin lebar.

Memang ya, indahnya senyum sahabat seperjuangan tidak ada yang dapat mengalahkan. Senyum itu semakin membuat Anggi bersemangat untuk mengeluarkan di penyuap. Ia tidak akan biarkan senyum itu terlukis pada wajah manis pemilik nasib kurang beruntung. Manda akan tersenyum karena mengetahui anak penyuap berhasil ditaklukkannya. Anggi kembali melakukannya pull-up.

.

Latihan dihentikan sejenak untuk mengiringi kepergian siswi terbaik dari Papua itu. Dia menarik kopernya dengan lesu, lalu masuk ke taksi yang mana ada seseorang selain supir—pamannya.

Ia dan sang paman sama-sama memasang wajah lesu dan terpaksa tersenyum saat Pak Menteri berbincang dengan mereka dari luar mobil. Setelah berbincang, Manda melambaikan tangan. Lambaiannya itu dibalas semua teman-temannya, kecuali Anggi.

Anggi menatap yakin Manda. Manda menatap berharap padanya dan taksi itu pun pergi. Anggi tidak berbalik secepat teman-temannya. Dipandanginya terus arah di mana taksi berpenumpang Manda berlalu. Sampai dia dipanggil.

Dipanggil, dia akhirnya pergi. Dia masuk ke lapangan, disuruh duduk sebentar karena Pak Menteri ingin menyampaikan sesuatu.

"Bapak turut bersedih atas kepergian Manda. Latihannya sangat memuaskan dan potensinya benar-benar sudah terlihat. Namun, dengan terpaksa Bapak cabut statusnya sebagai paskibraka perwakilan dari Papua. Bapak tidak bisa menjelaskan mengapa. Lagipula penggantinya juga berasal dari Papua."

Orang-orang gaduh, berbisik-bisik. Pak Menteri memasang wajah bersalah yang entah itu benar-benar bersalah atau pura-pura bersalah atas perbuatannya. Siapa yang tidak senang menerima uang yang walaupun itu uang suap?

"Baik, kembali latihan!"

Latihan pun disambung, sampai jam 6 sore.

***

"Anggi, kenapa keluargamu ini begitu khawatir padamu? Lihat teman-temanmu! Tidak ada satu pun keluarganya yang khawatir pada mereka."

Wanita penyita ponsel kesal karena dari tadi ponsel Anggi berbunyi. Anggi duduk di depannya, menggerutu dalam hati. Kakaknya tidak pernah tahu cara tidak menganggu orang lain. "Maafkan aku, Bu. Keluargaku memang begitu."

Si wanita mendengkus. "Tidak mengapa, tidak mengapa." Dia membuka kantong plastik. "Silakan diangkat. 5 menit." Anggi meraih ponselnya dan mengangkat panggilan.

"Bu, aku-"

"Ini aku." Anggi mendengkus.

"Ah, Anggi! Aku punya berita hebat untukmu!" seru Ira yang tampak sangat senang di seberang. "Aku tidak jadi ke luar kota saat 17 Agustus. Aku tetap di Jakarta dan .... Coba tebak, aku akan mewawancarai siapa?"

Anggi hanya diam.

"Tidak ingin menebak?"

"Langsung saja," jawab Anggi, malas.

"Aku mewawancarai seorang koruptor! Dia viral akhir-akhir ini. Entahlah, aku tidak tahu dia viral karena apa. Namun hanya aku dan manajerku yang tahu kalau dia koruptor. Orang lain tidak tahu! Hebat, 'kan?"

Anggi terbelalak. Kenapa koruptor secara mendadak akan diwawancarai Ira? Ia tahu kakaknya seorang host yang selalu menanyai orang-orang viral yang diundang ke talkshow-nya. Tapi bagaimana bisa dia akan mewawancarai seorang koruptor?

"Di-Dia tidak di penjara?" Anggi berbisik, takut si wanita di depannya mendengar.

"Dia diberi kebebasan bersyarat. Sangat tidak adil. Karena itulah kami mengundangnya," kata Ira. "Jika kami mengundangnya dan selanjutnya dia ditangkap, maka kami akan terkenal. Yah, satu makian sama dengan sepuluh ribu rupiah." Anggi dapat merasakan sang kakak berkedip nakal.

"2 menit." Si wanita memperingatkan.

"Jadi, Kakak akan melihatku di Istana Merdeka, 'kan?" tanya Anggi, terpaksa bertanya seperti itu padahal dia tidak ingin kakaknya pergi ke sana.

"Yup! Ah, aku sangat senang!" Kakaknya berteriak girang. "Sudah ya. Hanya itu kabarku. Jaga kesehatanmu."

Biasanya dialah yang mengucapkan itu, sekarang entah kenapa malah Ira.

"Baik, aku juga sudah dipelototin penyita." Anggi menatap si wanita yang melotot karena waktunya hampir habis.

"Kakak menyayangimu!"

"Aku juga sayang Kakak."

Dan telepon mati di kedua belah pihak. Anggi menyodorkan ponselnya pada si wanita dan bangkit untuk ke kamarnya.

Namun sebelum itu, sebuah pengumuman terdengar dari toa asrama yang tersebar ke seluruh penjuru. "Besok kita akan menyambut pemuda pengganti Amanda Isy yang digugurkan pagi tadi. Mohon siapkan baju terbaik yang telah kalian bawa dari rumah. Latihan kita tunda selama 2 jam."

Bagi orang lain, kedatangan penyuap itu merupakan berkah karena mereka tidak perlu latihan selama 2 jam. Namun bagi Anggi, dia lebih baik berlatih selama 2 jam daripada menyambut si berengsek yang hanya bisa menyuap Pak Menteri untuk menjadi paskibraka.

"Semua orang diharapkan hadir di lapangan." Toa kembali berbunyi, seakan membaca pikiran Anggi. Anggi mendengkus. Walau perkataan barusan hanyalah perintah, namun Anggi bisa merasakan nada ancaman yang tersirat. Anggi memutar malas bola matanya.

***

Ira senang bukan kepalang. Dia sedang bersama manajernya. Mereka duduk di sofa rumah, menyusun beberapa jadwal menjadi host di beberapa acara. Ada acara syuting, temu fans, dan talkshow. Dia selebriti muda yang tengah naik daun.

Wanita bermuka lonjong itu meraih kertas di mana tulisan manajernya tercetak. Bibirnya yang diberi lipstik merah muda mengukir senyum yang cantik.

"Wajahmu cantik banget pas kamu senyum," puji sang manajer, sekaligus merupakan pacarnya, Anta.

Ira menatap pria kecil yang rambutnya diikat ke atas kepala itu. "Bisa saja gombalnya." Anta tertawa. Dia merapikan kertas-kertas di atas meja dan menaruhnya ke dalam tas.

"Beneran. 'Nggak sekedar gombal," sahutnya. "Coba deh lihat sendiri di cermin. Nanti kamu tahu kalau itu enggak hanya sebuah gombalan." Ira terkekeh. Dia menyerahkan kertas di tangannya pada Anta dan bersandar ke sofa.

"Jadwalku padat banget." Ira membuang napas. Hari ini adalah hari terakhir dia cuti dari pekerjaannya. Besok dia akan kembali beraktivitas sebagaimana selebriti.

"Tenang, 'kan ada aku." Anta menggeser duduk ke samping Ira dan menarik tubuhnya. Ira menyandarkan kepala ke bahu Anta yang mengelus-elus rambut ikalnya.

"Ngomong-ngomong tentang Pak Tio, dia benar-benar koruptor ya?" tanya Ira. "Tampilannya bisa dibilang jauh dari kesan koruptor."

"Ai, Ira, di Jakarta semua wajah bukan wajah yang sebenarnya," jawab Anta. "Yang ternyata dia kaya, rupanya pura-pura kaya. Yang ternyata dia miskin, ternyata pura-pura miskin.

"Sama dengan Pak Tio itu." Anta menghela napas. "Aku mengenal wajahnya. Aku sudah tahu kalau dia koruptor yang dibebaskan sejenak.

"Pemberitaannya tenggelam karena kasus prostitusi selebriti sebelah," sambung Anta. "Makanya tidak ada yang tahu kalau dia koruptor."

Ira ber-oh-ria. "Syukurlah kau memberitahuku." Ira mendongak, menatap sang pacar.

Anta mengacak-acak rambut Ira. "Sudah, pergilah mandi. Setelah ini, ikut aku jalan-jalan."

Ira langsung menegakkan tubuh dan pergi ke lantai atas. Anta menggeleng-geleng, lalu memerhatikan kertas yang mencuat dari dalam tasnya.

Perlu Ira tidak ketahui, Anta sudah mengenal si koruptor. Sudah dari lama bahkan sebelum bertemu Ira.

Pak Tio adalah secuil masa lalu yang mempertahankan hidupnya di kota Jakarta. Karenanya, dia korupsi. Karena ia, Anta menjadi seperti sekarang.

.

Anta dan Ira menghabiskan waktu malam dengan jalan-jalan. Mereka punya motor, namun memilih taksi sebagai transportasi gonta-ganti ke jalan ini-itu. Mereka pergi ke restoran, lalu ke warung pinggir jalan. Mereka membeli beberapa gulali dan es krim beraneka rupa. Mereka melepaskan penat malam itu.

Tiba saatnya mereka pulang. Ira tertidur di bahu Anta, di dalam taksi menuju rumahnya. Anta menyandarkan kepalanya ke kepala Ira. Setelah sampai, si supir menyadari kalau mereka berdua tertidur. Dengan berat hati ia membangunkan mereka. Anta bangun yang pertama, lalu membangunkan Ira.

Dalam keadaan setengah sadar, mereka berdua masuk ke rumah. Sempoyongan bak orang mabuk, mereka menjatuhkan diri ke atas sofa. Ira langsung tidur karena matanya begitu berat untuk dibuka. Sedangkan Anta pamit untuk pulang. Ira hanya melambaikan tangan dan lampu ruang tamu dimatikan.

Hingga sampailah sang pagi. Ira bangkit dari berbaring dan berencana hendak mandi. Namun sebuah kertas berlipat terletak di atas meja. Ira meraih, lalu membacanya dengan kening beberapa kali naik dan turun tanpa alasan.

***

2 Agustus.

Gadis kecil tinggi berambut ikal berikat itu berlari-lari menyusul temannya. Biasanya setiap pagi bajunya adalah baju latihan. Di kepalanya ada topi yang bagian samping dan belakangnya disambungkan dengan kain selebar baki. Kali ini dia tak memakai topi. Dia memakan setelan santai mirip baju ibu-ibu rumah tangga.

"Ini pakaian terbaikmu?" tanya Sifa, teman kesekian Anggi. Anggi berhenti sejenak untuk mengatur napas, sebelum mengiyakan dan menyahut, "Keberatan?"

Sifa langsung menganggap Anggi tidak menyukai perkataannya. "A-Aku tidak keberatan." Dia menempelkan punggung tangan kanan ke pipi kiri. "Takut yang lain," bisiknya.

"Untuk apa aku mendengarkan orang lain?" kata Anggi. "Mereka bukan siapa-siapaku."

"Ya terserahmu, sih." Sifa berkacak pinggang. "Semoga saja tidak ada komentar dari yang lain." Dia memainkan jari telunjuk dan tengahnya. Anggi membuang napas.

Mereka berdua kembali berjalan.

Matahari sudah merangkak naik saat semua orang berkumpul dengan pakaian terbaik yang Anggi tebak bukan pakaian terbaik mereka. Anggi yakin semua teman-temannya sesama paskibraka sebal disuruh menyambut penyuap yang telah menggugurkan teman seperjuangan mereka. Masing-masing dari mereka memasang wajah terpaksa, beberapa terang-terangan tidak suka disuruh berkumpul. Pak Menteri beserta kepala TNI dan Kapolri berdiri di depan mereka, berbincang seakan tidak mengacuhkan kesebalan pemuda-pemudi pilihan bangsa itu.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil mewah berhenti. Pak Menteri, Kepala TNI, dan Kapolri tersenyum lebar. Anggi dan teman-temannya menatap sinis mobil itu. Mula-mula hanya supir berjas yang keluar. Sampai di supir membuka pintu kedua dari baris kanan, kemudian kiri, lalu seseorang keluar dari sana dengan si supir mengambilkan koper di bagasi.

"Selamat datang, Bu ...." Pak Menteri lupa namanya.

"Agustini Pangeswaran." Wanita berpakaian jas, baju kerah, dan rok, serta high heels berwarna merah itu menyebutkan namanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top