13. Setelah Anggi Pergi
Dengan terpaksa, teman-teman Anggi melanjutkan upacara setelah mendengar kabar kalau pengibar bendera meninggal. Posisi Anggi digantikan Wadia. Bendera yang sudah berlumuran darah diganti dengan bendera merah-putih lain.
Semua anggota paskibraka itu tak kuasa membendung tangis karena teman mereka meninggal ditembak. Setelah mereka kembali ke tempat di mana mereka semula berada, mereka berdiri dengan air mata membanjiri pipi. Pak Presiden terpaksa memberi pidato singkat saat barisan diistirahatkan dan tanpa menunggu lama, upacara pun bubar.
Langit tengah menangis saat Pak Presiden masuk ke mobil untuk melihat si pengibar bendera yang dikabarkan meninggal. Para paskibraka lekas masuk ke bus dan bus itu melaju ke rumah sakit.
Mereka semua sampai di sana nyaris bersamaan. Suara sepatu-sepatu paskibraka dan gemerincing lonceng kecil di bahu para paskibraka pengiring pembawa bendera memenuhi lorong.
Dalam hati, mereka berharap kabar kematian teman mereka itu tidak benar. Namun setelah mereka datang ke kamar mayat yang dipandu seorang Paspampres, di mana orang yang sudah meninggal diletakkan sementara di sana sampai keluarga menjemput, seluruh anggota paskibraka itu menangis histeris.
Sedang mereka menangis, Pak Presiden menatap seorang wanita dan lelaki berseragam paskibraka. Sedikit pakaian keduanya kotor akan warna merah. Mereka terbaring, tak sadarkan diri di atas kursi besi panjang. Anggota Paspampres bersama dokter mengatakan kalau mereka berdua pingsan mengetahui Anggi meninggal.
Pak Presiden menanyakan apa yang telah terjadi pada gadis itu. Dokter menjawab, "Peluru bersarang di kepalanya, berada di tengah-tengah otak. Dia juga kehilangan banyak darah yang akhirnya membuatnya meninggal, bahkan mungkin sebelum sampai ke sini."
Pak Presiden tertegun. "Lalu, mereka berdua ini siapa?" Dia menunjuk Ira dan Dimas.
"Si wanita kakaknya korban, si lelaki temannya korban. Dia juga seorang paskibraka," jawab anggota Paspampres, sopan.
Pak Presiden membuang napas. "Kita kuburkan dia setelah kakaknya sadar," katanya pada Dokter.
"Siap, Pak. Kami juga berencana begitu."
.
Ira sesengukan kala teman-teman laki-laki Anggi menutup liang lahat dengan tanah. Di samping kanan dan kiri Ira, Sifa, Aisyah, dan lainnya menangis dan berusaha menenangkan kakak Anggi itu. Dimas tak mampu mengangkat sekop saking sedihnya padahal dia mau membantu menutup lubang kubur itu. Tak beberapa lama kemudian, lubang kubur tertutup sempurna. Bagian atasnya menggunung dan nisan bertuliskan nama Anggi terukir. Foto Anggi yang sedang tersenyum dengan pakaian paskibrakanya disandarkan ke sana.
Penguburan itu disaksikan langsung oleh Pak Presiden yang menabur bunga setelah acara mendoakan si meninggal selesai. Ia menyemangati Ira, mengatakan kalau Anggi anak yang sangat tangguh dan negara tak menyesal memilihnya. Dia bahkan meninggal sambil memegang sang merah-putih, dan untuk menghormati kematiannya bersama bendera pusaka itu, bendera merah-putih cadangan dikibarkan setengah tiang. Pakaian-pakaian paskibraka yang tak sempat diganti kotor akan tanah basah. Yang laki-laki menenangkan Dimas, dia berdiri menjauh, membelakangi Ira dan nisan adiknya itu.
Tidak ada yang membuat Dimas begitu sedih selain rasa bersalahnya karena membentak Anggi. Ia masih marah pada gadis itu karena menyebarkan identitasnya ke luar, tapi sebenarnya dia tidak takut identitasnya bocor karena dirinya dari dulu--bahkan keluarganya--sudah dianggap suka menyuap. Dirinya tak terkendali terlebih semua anggota keluarga mulai membencinya. Terlebih teman-teman sekolahnya di Jayapura yang dibohonginya. Mereka akhirnya tahu Dimas tidak masuk jalur seleksi menjadi paskibraka, melainkan jalur suap.
Dimas berencana akan minta maaf setelah upacara. Nyatanya Anggi mendadak pergi. Ira yang berencana akan berfoto bersama dengan Anggi kini merasakan sakit hati. Dia berusaha tegar, tapi dia tak mau memaksakan diri sendiri. "Anggi, Ayah sama Bunda sudah pergi mendahului kita dan kenapa malah aku yang terakhir menyusul kalian?" Ira meraung-raung sejenak, sebelum sesenggukan kembali dipeluk teman-teman Anggi.
Beberapa detik setelahnya, mereka semua keluar dari area perkuburan. Ira dan Dimas tak sengaja bersenggolan. Entah kenapa, seketika mata mereka seperti mengeluarkan semburat listrik yang beradu sejenak. Mereka akhirnya berpisah karena Dimas harus ke Desa Bahagia dan Ira ke Istana Merdeka, ikut menyelidiki siapa pembunuh Anggi. Seorang bersenapan di atas bangunan Istana Merdeka. Ira hampir lupa akan dia dan memutuskan untuk ke sana saja.
.
Beberapa anggota Paspampres serta kepolisian mengerubungi lokasi di mana Ira melihat si pembunuh. Ira tak bisa memaparkan wajahnya karena wajahnya saat itu ditutupi kain hitam. Yang menjadi bukti sekarang hanyalah sepatu kets putih sebelah kanan.
Melihat sepatu itu, Ira mengernyit. Sepatu itu nyaris sama dengan sepatu yang ditemukan di kediaman Anta. Apakah sepatu kets kanan itu merupakan pasangan dari sepatu kets putih yang masih diamankan polisi atas pembunuhan Anta dan Lisa? Ira harus mencari tahu. Ia akan meminta bantuan Pak Tio lagi karena sebagian perkataan pria itu benar hari ini.
***
"Apa kubilang?"
Pak Tio terkekeh, dugaannya benar. "Pembunuh beraksi tepat pada waktunya dan dia memang pembunuhnya Anta."
Ira menggebrak meja. "Pak, ini tidak lucu! Adikku mati terbunuh dan Anda kurang ajar telah tertawa," ucap Ira, berapi-api.
"Ya. Bapak kenapa, sih?" Dimas menimpali. "Orang mati ditertawakan. Aneh." Pak Tio adalah ayah Dimas. Uang yang digunakan Bu Agustini untuk menyuap Pak Menteri adalah uangnya.
"Bapak menertawakan pembunuh, bukan Anggi." Pak Tio menyalakan rokoknya. Selagi dia menyalakan, Dimas dan Ira saling pandang dengan napas mendengkus sebal. Pak Tio mengudarakan asap rokok sebelum menyambung, "Sepatu sneaker itu akan mengantar kita pada pembunuhnya."
"Tapi, bagaimana?" tanya Dimas. "Di sepatu itu tidak ada sidik jari. Bapak yakin bisa menemukannya?"
"Yakin. Sangat yakin. Kita hanya perlu bukti." Pak Tio menatap anak dari istri lamanya itu. Dimas dan Ira saling pandang lagi. "Baik, kami akan mengikuti instruksimu untuk mencari pembunuh."
Pak Tio menyeringai.
.
Berdasarkan penjelasan dari penjaga Istana Merdeka dan orang-orang yang kebetulan melihat pelaku melarikan diri, pelaku merupakan seseorang dengan tinggi tak seberapa yang memakai sepatu berhak tinggi. Ia memakai sarung tangan karet dengan hoodie lengan pendek dan kain menutupi wajahnya. Dari bodinya dia seorang perempuan.
Dia menyusup kala melesetkan peluru ke sebuah arah yang membuat penjaga istana lalai akan tugasnya. Ia masuk ke Istana Merdeka, naik ke atas. Kala suara kaki-kaki paskibraka bergema di lapangan, dia menyiapkan amunisi dan membidik tepat saat Ira menyadari keberadaannya.
"Terkait dengan pembunuhan minggu lalu atas nama saudara A yang dimaksud saudari Ira, kemungkinan ada kesamaan antara sepatu kets putih pihak kanan yang tertinggal di tempat pelaku menembak korban dengan sepatu kets putih pihak kiri yang tertinggal di rumah A. Kami akan menyelidikinya sesegera mungkin. Juga, kami akan menyelidiki surat ini. Mohon melapor segera jika saudari Ira merasakan kejanggalan atau isi surat ini mulai terjadi."
Penyidik kepolisian menyimpan surat yang diserahkan Ira. "Anda boleh keluar," katanya. Ira pamit, sopan, lalu keluar dari ruangan penyidik yang AC-nya tak berfungsi itu. Ira menemui Pak Tio dan Dimas yang meminta jawaban akan sedikit interogasi singkat dengan penyidik tadi.
"Dia bilang akan menyelidiki sepatu sneaker itu sesuai keinginan kita, juga menyelidiki kepribadian pelaku lewat isi surat," jawab Ira. "Jika ada apa-apa, mereka ingin aku melapor."
Ayah dan anak itu mengangguk-angguk.
.
Setelah mendapat sangat banyak ucapan bela sungkawa dari teman-temannya, Ira pulang ke rumah. Air matanya kering karena dua orang tersayangnya mati dibunuh. Entah apa yang Tuhan permainkan untuknya sehingga merenggut satu-persatu orang-orang tercintanya.
Ira sampai di rumah, dan tak memasak. Ia mencegah salah satu membantunya yang sudah kembali ke kota untuk memasakkannya makanan. Dia akan memesan makanan lewat online ,untuknya dan pembantunya itu.
Tak menunggu waktu lama, makanan sampai. Ira dan pembantu memakannya dengan lahap. Si pembantu turut mengutarakan duka citanya akan kematian Anggi.
Ira hanya diam.
Setelah makan, Ira tidak dapat membantu pembantunya membersihkan perabotan makanan. Ia naik ke atas, ingin beristirahat yang entah bisa atau tidak. Beristirahat saat sedih bukanlah suatu hal yang baik.
Ira masuk ke kamar dan duduk di single sofa yang mengarah ke luar jendela. Ia meraih ponselnya, melihat wallpaper bergambar dia dan sang adik. Dia tersenyum, sedangkan Anggi murung. Sudah kebiasaannya difoto tanpa tersenyum dan jika tersenyum pun karena iming-iming diberi tugas Penjasorkes 10 buah.
Ira mengutak-atik ponsel sejenak. Ia mengubah wallpaper ponselnya itu. Ia menggantinya dengan wallpaper polos berwarna hitam. Setelahnya wanita itu menghubungi Tasya, minta diizinkan pada atasan. Tasya mulanya enggan sampai Ira menutup teleponnya tanpa pamit.
Pikiran Ira kacau. Ia tak pernah menyangka akan kehilangan semua yang dicintainya sekejap mata. Dia memaki diri sendiri yang tidak menggunakan dengan sebaik mungkin waktu bersama untuk yang terakhir kalinya. Dia terus memaki, sampai tak sadar tertidur di atas single sofa itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top