12. Pak Tio Tidak Berbohong
"Aku rasa ini tidak membuahkan hasil, Pak Tio."
Pak Tio berhasil membuat beberapa anggota siber kenalannya--kenalan sebagai bukan-Pak-Tio--untuk mencari pemilik 5 sidik jari dengan alasan seseorang ingin membunuhnya dan sidik jari itu mengetahui siapa dia. Namun hasil yang dilihat tidak sesuai kenyataan. 5 sidik jari itu; 3 milik Anta dan 2 milik Lisa.
"Kenalanku itu tidak pernah memaparkan hasil bohongan." Ira dan Pak Tio kini berada di kediaman Ira. "Aku selalu menghabiskan banyak uang untuk mengupahnya agar membantuku."
"Apa perangkat scan di laptopku rusak ya?" Ira mendengkus dan melempar diri ke sandaran sofa.
"Tidak mungkin," jawab Pak Tio. "Jika rusak, sudah dari kemarin laptopmu tidak bisa meng-scan surat itu."
Ira kembali mendengkus.
"Namun kau tahu, Ira?" Pak Tio baru saja selesai membuat kopi, tak mau membebankan Ira yang dari tadi malam lelah memikirkan siapa pembunuh Anta. "Aku merasa kalau pembunuh Anta ini memang akan membunuh Anggi." Ia menyodorkan kopi susu buatannya pada Ira. Ira melirik tanpa nafsu sedangkan Pak Tio duduk di depannya. "Membunuh Anggi, tapi tidak membunuhmu," jelas Pak Tio.
"Hah?" Ira mendongakkan kepala. "Di surat itu sudah jelas tertulis kalau pembunuh Mas Anta akan membunuhku dan Anggi."
"Entahlah. Feeling." Pak Tio berhasil menghabiskan setengah isi cangkir dan meletakkan ke atas meja. "Feeling." Ia menatap Ira yang kembali bersandar ke sofa.
"Menyebalkan. Kenapa hidupku tak pernah tenang entah di desa atau di Jakarta?" runggut Ira. "Aku selalu mendapat masalah yang membuat otakku tak pernah berhenti berpikir."
Pak Tio yang mendengar, hanya diam. Dia bukan ahlinya menurunkan tensi seseorang yang merutuki hidupnya yang penuh cobaan.
"Sekarang kita ngapain?" tanya Ira yang kembali menyeruput kopi susunya. Merutuki hidup tidak akan membuat semuanya jadi lebih baik. Kali ini dia mengandalkan Pak Tio untuk memandu dirinya menyelesaikan masalah surat ancaman.
Pak Tio menyesal kopinya sejenak, lalu menjawab, "Menunggu."
Jawaban yang tak memuaskan Ira. "Kenapa menunggu? Pembunuh bisa membunuhku atau Anggi kapan saja dan sebelum itu terjadi, aku harus menangkapnya."
"Justru karena itulah, Ira." Pak Tio berhasil menghabiskan kopinya. "Aku merasa kita harus menunggu pembunuh beraksi. Karena feeling-ku mengatakan dia sedang menimbang keputusan apakah akan membunuh kalian berdua--atau hanya Anggi--atau memerasmu saja."
Lagi-lagi feeling, runggut Ira dalam hati.
"Dan juga." Pak Tio menatap wanita berwajah lonjong itu penuh arti. "pembunuh tidak akan beraksi sebelum waktunya."
.
Semenjak malam di mana pendemo datang ke Desa Bahagia dan Dimas marah kepadanya, Anggi tak karuan tidur. Bahkan sampai hari ini di mana dia sedang dalam perjalanan ke Istana Merdeka, dia manggut-manggut menahan kantuk. Sepertinya habis sampai dan mengucap sumpah yang dibimbing Pak Presiden dia harus menatap matahari. Matanya akan terbakar dan kantuk akan menghilang. Ia pasti bisa fokus pada jabatan pembawa benderanya karena hal itu.
Kemarin sebelum latihan bersama dengan anggota TNI-Polri, Anggi mendapat telepon dari kakaknya. Namun hanya sebentar, dia mengabarkan kalau akan menyaksikan Anggi di Istana Merdeka, langsung. Anggi senang, hanya saja memilih bertanya apakah kakaknya memberitahu orang lain akan Dimas. Namun kakaknya tidak menjawab. Dia langsung mematikan telepon yang membuat Anggi seketika tak senang kakaknya hadir untuk menyaksikannya.
Batinnya, bagaimana kalau Kak Ira benar-benar memberitahu tentang Dimas pada orang lain? Hanya ia yang memberitahu Dimas ke orang luar. Itu membuat Anggi ditimpa rasa bersalah.
Saat turun dari bus, ia melihat Dimas yang jadi pendiam. Dia seakan menghilangkan diri dari gerombolan anggota paskibraka laki-laki. Ia berjalan lesu mengiringi teman-temannya.
Mereka masuk ke Istana Merdeka dan saat Pak Presiden tiba, mereka hormat kepadanya. Pak Presiden naik ke atas panggung, mengambil lipatan berkover keras dan membacakan isinya. Tepat di pengucapan sumpah, semua paskibraka mengepalkan tangan ke dada kiri. Mereka melafalkan apa yang Pak Presiden katakan. Di ruangan yang tiangnya terdapat garis emas, gorden di antara tiang-tiang dan karpet merah di bawah, suara mereka bergema.
Setelah itu, Pak Presiden mengucapkan beberapa kalimat penyemangat yang tersirat perasaan bangga. Semua orang tersenyum kecuali Anggi. Mereka pun akhirnya keluar dari ruangan itu dan berbaris sesuai struktur.
Pasukan pengiring dan pengibar bendera, terdiri dari tiga pasukan di mana Anggi berada pada pasukan kedua yang jumlahnya 16 orang; 4 baris. Ia berada pada baris pertama dengan teman-teman laki-laki di samping kanan-kirinya. Mereka berpakaian ala prajurit TNI angkatan Darat, seragam berwarna merah dengan senapan di tangan.
Dimas berada di baris ketiga, pasukan pertama, di depan pasukan di mana Anggi berada. Diam-diam Anggi meliriknya dari belakang. Tingginya bisa dibilang bertambah. Anggi baru saja hendak menebak tingginya saat acara akan dimulai.
Jantung Anggi mulai menendang-nendang. Ia mulai gugup. Terlebih pemandu barisan di sebelah baris pertama pasukan depannya yang merupakan anggota TNI mulai menyerukan perintah. Langsung saja barisan yang berdiri-istirahat itu menyiapkan diri, sebelum perintah kedua bergema dan barisan mulai berjalan maju.
Selagi Anggi mengembangkan senyum dan mengikuti arahan komandan barisan, ia memikirkan Dimas. Perkataannya kembali terbayang. "Mengungkit masa lalu tidak akan membuatku berhenti menyalahkanmu." Sampai barisan belok kiri.
3 pasukan barisan memutar dan menghadap tepat ke hadapan Istana Merdeka. Jalan di tempat dihentikan. Komandan pasukan melapor para presiden. Pak Presiden menyahut, "Laksanakan," dengan suara bass-nya yang kental akan orang Jawa.
Setelah komandan pasukan kembali ke posisinya, barulah Anggi maju untuk mengambil bendera. Mata menatap ke depan, kaki naik jeda 1 detik ke satu-persatu tangga istana. Sampai Anggi sampai di dua tangga terakhir, Pak Presiden mengangkat bendera dan menyodorkan padanya.
Anggi bisa merasakan tangannya bergetar hebat. Untunglah getaran itu bisa disamarkan, terlebih saat Anggi mengelus bendera itu.
Ia menyelipkan tangan dengan hati-hati di bawah sang merah-putih. Setelah dirasa bendera itu beralih tangan, Pak Presiden menurunkan tangannya. Anggi samar-samar memperbaiki posisi tangannya sebelum turun tanpa menoleh atau berbalik ke belakangnya. Ia sempat limbung, tapi langsung disempurnakan saking campur aduknya perasaan.
Ia kembali ke barisan.
Komandan kembali menyerukan perintah dan mereka jalan di tempat. Barisan diputar sebelum maju ke depan. Mereka belok kiri, lalu belok kanan. Setelahnya belok kiri dan mereka akan sampai di tujuan.
Namun sebelum mereka belok kiri ingin ke tiang bendera Istana Merdeka, seseorang melompat dari pagar beton yang tingginya 1 setengah meter. Seorang perempuan dengan rambut ikalnya, muka lonjongnya cemas, menghalangi tiga pasukan yang memasang raut bingung kenapa dia ingin menghentikan barisan.
"Hentikan, semuanya! Hentikan! Seseorang akan menembak salah satu dari kalian jika kalian terus bergerak, terutama kau, Anggi!"
Presiden dan tamu perwakilan lembaga-lembaga terkenal Indonesia mengernyit dengan Paspampres mulai turun tangan. Mereka menghampiri si wanita dengan cepat agar pasukan bisa lewat. Anggi yang dipanggil berusaha melihat siapakah yang telah memanggilnya itu.
Namun sebelum dia tahu, Anggi mendadak merasakan nyeri tajam di kepala. Tubuh terhuyung ke kiri, menabrak salah satu teman lelakinya dan ia jatuh ke tanah.
Nyeri itu sekejap mata hilang digantikan dengan pandangan yang sebentar-sebentar jelas, sebentar-sebentar padam. Anggi setengah sadar saat sesuatu mengalir turun dari kepala bagian kanannya. Ia baru saja akan menyeka kala tangannya tak dapat bergerak.
Pendengarannya jelas-hilang. Semua orang berlari padanya, memanggil namanya, dan itu bergema.
Sampai akhirnya pandangan Anggi menghitam padahal matanya masih terbuka. Yang terakhir yang ia ingat hanyalah sang merah-putih yang menyentuh rumput kotor di bawahnya.
.
Pak Tio mengabarkan kalau dirinya akan dimasukkan penjara minggu depan. Ira tidak menanggapi banyak sampai Pak Tio ingin pulang ke kediamannya.
"Jika kamu punya acara besok, lebih baik ditunda. Kamu sudah berjanji akan menyaksikan langsung adikmu mengibarkan bendera. Saksikan seakan besok hari terakhirnya diberi kehidupan," kata Pak Tio sebelum menutup pintu rumah.
Ira hanya mengiakan dan pergi ke kamarnya untuk tidur. Saat bangun pagi harinya, ia teringat akan perkataan Pak Tio itu. Itu membuat firasatnya menguat kalau Pak Tio benar Anggi akan dibunuh.
Maka dia bergegas, tak sempat mandi, langsung ke Istana Merdeka. Ia sempat terjebak macet dan itu membuatnya keluar dari mobil. Dia berlari-lari ke trotoar dan sampai ke Istana Merdeka.
Upacara sedang dimulai saat Ira berhasil mencapai barisan depan. Ia melihat adiknya membawa sang merah-putih. Hatinya menghangat dan bangga pada adiknya itu, tapi bangga dan hati menghangat itu hanya sebentar saat Ira mengedarkan pandangan ke atas Istana Merdeka. Seseorang samar-samar terlihat membidik Anggi dengan senapannya.
Langsung saja, Ira melompati pagar dan berusaha menghentikan baris-berbaris. Baris-berbaris tak kunjung berhenti sampai suara ledakan terdengar. Paspampres yang ingin membawanya keluar dari area lapangan langsung berlari melindungi presiden. Baris-berbaris langsung kacau, terlebih si pembawa bendera terbaring dengan darah mengucur pelan dari kepalanya.
Ira terkesiap. Air mata sontak mengalir di pipinya. Ia berlari, tersandung, terjatuh, lalu merangkak. Ia mendekati si pembawa bendera yang sebelumnya ditepuk-tepuk pipinya oleh seorang lelaki.
"Nggi! Anggi! Bangun, Anggi!" Ira merangkul kepala Anggi dan menepuk-nepuk pipinya. Tak peduli darah menghiasi tangannya, ia berusaha membangunkan anak itu.
"Apa yang kalian lakukan, hah! Cepat cari bantuan!" perintah lelaki tadi yang membuat yang lain berlari kencang mencari bantuan. Mereka dengan cepat menemukan bantuan. Empat petugas ambulans membawakan sebuah papan di mana papan itulah yang membawa Anggi ke dalam mobil ambulans. Ira dan si lelaki turut masuk ke sana.
Selagi ambulans berjalan, dokter yang sudah siaga berusaha menyelamatkan Anggi. Ira hanya memegang erat-erat tangan Anggi yang dingin. Si lelaki itu tak tahu harus melakukan apa.
Sampai akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Anggi langsung dibawa ke sebuah ruang di mana di sana ia akan berusaha diselamatkan. Hingga pada akhirnya kenyataan pahit membuat mereka memasang wajah sendu. Gadis muda itu tertembak, tembakan mengarah ke otak dan meninggalkan rongga besar di sana, dan dia kehilangan banyak darah. Anggi sudah tak bisa diselamatkan.
Maka saat dokter memberitahu Ira dan teman lelaki Anggi yang merupakan Dimas, mereka berdua langsung pingsan. Mereka sama-sama belum siap kehilangan Anggi. Juga, perasaan bersalah di masing-masing hati yang membuat mereka menyesal hingga akhirnya tak sadarkan diri.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top