11. Salah Paham

2 hari sebelum 17 Agustus.

Ira sudah menghadapi hari-harinya tanpa Anta dengan baik. Jadwal bisa diaturnya sendiri pada akhirnya. Ia bisa berbaur dengan sempurna akan kehidupan barunya. Itu membuat karirnya kembali melejit.

Ira tengah berjalan ke ruangan di mana acara talkshow-nya disiarkan. Dia sudah berkenalan dengan para tamu. Namun tanpa disangka dia menemui Pak Tio dalam perjalanannya itu.

Seperti biasa, berbaju kerah, berjas yang warnanya senada dengan celana--hitam.

"Kita ketemu lagi." Pak Tio menyapa.

"Apa mau Bapak?" Ira langsung berbicara ke inti. Dia tidak punya waktu banyak melihat wajah penuh tindak korupsi itu lagi.

"Mau ketemu saja, sih. Berdua. Boleh?" jawab Pak Tio.

Ira mendengkus. Ia lanjut berjalan, melewati Pak Tio yang masih berdiri pada posisinya. "Kamu dapat surat bergaya tulis Anta itu, 'kan?"

Ira langsung berhenti.

"Aku mau membahas surat itu denganmu. Aku punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu perihal surat itu."

Ira membuang napas. Ia ingin tahu, tapi dia tak mau membahasnya bersama Pak Tio. Namun jika dia melewatkan kesempatan mengetahui jawaban Pak Tio, siapa lagi orang yang tahu makna dari surat itu. Ira menarik napas, lalu menyahut tanpa berbalik. "Kapan kita bisa membahasnya?"

Pak Tio tersenyum, membalik badan. "Setelah pekerjaan jadi host-mu kelar."

Ira mendengkus. Dia mengangguk, lalu menyambung pergi ke ruangan talkshow-nya.

.

"Aku dapat surat, entah dari siapa, tapi tulisannya mirip tulisan Mas Anta." Ira memulai percakapannya dengan Anggi yang beberapa hari terakhir tidak terjalin. Saat Ira menelepon Anggi, Anggi tidak mengangkat. Saat Anggi menelepon, Ira malah sibuk. Akhirnya ia mendapatkan waktu berbincang dengan adiknya lagi. Perasaan kesalnya pada Anggi yang menyuruhnya ikhlas akan kepergian Anta sudah hilang dibawa angin. "Aku mendapatkannya bahkan sebelum dia meninggal. Surat itu mengancam kita!"

"Kenapa baru bilang sekarang?" Anggi terdengar kaget di seberang telepon.

"Aku ... baru ingat." Ira terkekeh. "Maaf."

Dengkusan terdengar. "'Nggak apa-apa, Kak. Ngomong-ngomong, apa isinya?"

Ira menatap layar laptop di mana gambar surat yang sudah dipindah dari ponsel terlihat. "Sebelum aku tertangkap, aku akan memerasmu, membunuhmu dan membunuh Anggi. Lihat saja. Selama 17 hari ke depan, kau akan tahu perlahan, kalau aku bukan orang yang bisa kauatur. Tunggu saja tanggal mainnya." Ira membacakan.

"Kakak ... dapat suratnya kapan?" tanya Anggi setelah mendengarkan sesaat.

"Kalau tidak salah tanggal 31 Juli atau 1 Agustus--atau 2 Agustus? Aku 'nggak terlalu ingat."

"Yakin kalau itu tulisannya Anta? Teman-teman Kakak yang lain?"

"Teman-temanku yang lain huruf a bentuknya seperti o, sedangkan a di sini mirip huruf d. Juga, banyak coretan--khas dengan gaya tulis Anta yang banyak kesalahan kata tapi tak suka menghapusnya dengan penghapus pulpen. Di sini, huruf g dan q terkadang terbalik--Anta 'kan sedikit disleksia. Jadi aku yakin itu tulisannya Anta." Ira menatap bulatan-bulatan hitam di gambar yang ditandainya menggunakan panah mouse. "Aku sedikit hafal dengan gaya tulisnya karena kalau ada apa-apa untukku, dia menuliskannya ke buku dan memberikannya kepadaku untuk dibaca."

"Tapi kalau itu Anta, 'nggak mungkin Anta bangkit dari kubur dan membunuh kita." Anggi sedikit terkekeh. "'Nggak masuk akal. Pasti salah target."

"Rasanya lain kalau salah target." Ira mendengkus. "Tahu tidak? Setelah kematian Mas  Anta, aku merasa surat itu ditulis paksa. Anta sempat menghilang sebelum dibunuh. Jadi mungkin, jauh hari sebelum dia dibunuh, dia diancam oleh si pembunuh untuk menulis surat ini untuk kita. Nah, si pembunuh ini yang akan membunuh kita berdua. Pembunuhnya Mas Anta!"

"Rumit, Kak." Anggi terus-terang. "Singkatnya, Mas Anta dipaksa buat surat itu, terus yang memaksa itu yang membunuh Mas Anta, setelahnya dia ingin membunuh kita?"

"Ya, itu singkatnya."

"Ah." Ira bisa merasakan Anggi menyeringai. "Aku 'nggak takut dan 'nggak percaya."

Ira terkesiap. "Bagaimana kalau benar? Ma-Maksudku, aku juga 'nggak percaya sebelumnya dan ini lagi menyelidiki siapa pembunuh Mas Anta."

"Nah, Kakak saja 'nggak percaya, apalagi aku. Sudahlah, Kak. Tenang saja. Tidak akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada kita." Anggi menenangkan.

"Oke, aku yakin kalau tidak akan ada yang terjadi pada kita berdua. Terima kasih sudah menenangkan, Dik." Ira tersenyum.

"Sama-sama. Kututup ya. Sudah 5 menit." Anggi pamit. Ira memperbolehkan, setelahnya telepon dimatikan sepihak.

Ira melunturkan senyumnya. Ia meletakkan ponsel ke atas meja kaca bulat tempat laptop dan sebuah asbak terletak. "Kau yakin surat ini ditulis paksa?" tanyanya pada Pak Tio yang sudah berdiri di depannya dari tadi. Pria itu menyesap rokok sambil memandangi ramainya jalan di bawah.

"Sangat yakin." Pak Tio berbalik. Dia mengambil asbak, mengetukkan rokoknya agar abunya jatuh, lalu meletakkan asbaknya kembali. "Anta tidak akan tega mengkhianatimu."

"Beberapa hari yang lalu dia mengkhianatiku." Ira mendengkus. Ia teringat Lisa yang mati bersama Anta dengan jari manis terpasang masing-masing cincin berinisial nama mereka.

Pak Tio menarik ucapannya. "Oke, dia mengkhianatimu, setelah surat itu sampai dan dia sama sekali tidak memerasmu atau membunuhmu. Malah dia yang terbunuh. Jadi surat itu ditulisnya di bawah kontrol pembunuh." Pak Tio menyimpulkan. Ia kembali ke posisi semulanya.

Ira menghempaskan diri ke bangku yang diduduki. "Jika saja ini tidak mengancam adikku, aku tidak akan mengusutnya lebih lanjut. Lagipula ndeso sekali memberi orang surat pakai kertas. 'Kan ada e-mail--tapi kalau lewat e-mail bisa dilacak tim siber, sih."

"Nah, itu tahu." Pak Tio mengembuskan asap rokok ke udara. "Makanya pakai surat."

Ira memperhatikan surat sekali lagi. "Kira-kira, apakah ada sidik jari di surat ini ya?" Pertanyaannya itu membuat Pak Tio menoleh. "Sudah kau selidiki?" Ira menggeleng. "Minta tim siber yang mencarinya hanya akan memperburuk keadaan."

"Siapa bilang tim siber yang akan mencarinya?" Tanpa Ira sadari, Pak Tio ada di sampingnya dan memutar laptop ke arahnya. Ia langsung mengutak-atik dan meng-scan sidik jari di gambar itu. "Aku tahu bagaimana caranya." Pak Tio menyeringai dengan rokok tergigit. Ira menegakkan tubuh.

"Kita mendapatkannya." Gambar surat tadi menghilang, digantikan 5 sidik jari yang berhasil dipindai oleh perangkat lunak komputer.

"Pak, bagaimana Anda-"

"SMK Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan," potong Pak Tio. "Aku 'nggak sudi jadi koruptor kalau otakku bodoh." Dia memutar laptop kembali pada Ira.

"Sekarang mau kita apakan sidik-sidik jari ini?" tanya Ira yang memotret gambar itu dengan ponselnya.

"Kita minta bantuan tim siber." Pak Tio mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya. "dengan identitas palsu."

Ira memperhatikan kartu nama pada sesuatu yang dikeluarkan Pak Tio itu. Nama Pak Tio dengan profesi berbeda. Bapak Tampan itu tidak pernah kehilangan akal

***

Setelah Anggi menutup telepon, suara gaduh dari depan asrama terdengar. Dari jauh terlihat sedikit cahaya jingga dan tercium bau ban yang dibakar. Anggi langsung ke sana dengan wanita penyita yang mengekorinya.

"Keluarkan anak penyuap! Keluarkan anak penyuap!"

Anggi berdiri dengan yang lain, tak jauh dari gerbang asrama. Dua tentara berpengaman lengkap berusaha menghentikan kegaduhan orang-orang di depan gerbang. Beberapa menendang pintu gerbang, beberapa melempar batu pada tentara berpengaman yang kini bertambah itu.

Anggi menoleh ke sana-sini, mencari keberadaan Dimas. Anak penyuap yang dilontarkan orang-orang itu membuat Dimas tak terlihat di mana-mana. Anggi pun ke kamar Dimas, lalu membukanya.

Dimas tidak ada, dia pergi ke belakang asrama.

Akhirnya ia menemukannya yang seperti biasa menyesap rokoknya. Samar-samar terdengar suara orang-orang tadi menjauh. Anggi mendekati Dimas sampai dia berhenti karena perkataannya.

"Kamu pelakunya," katanya. Anggi mengernyit tak paham. "Pelaku apa?"

"Jangan pura-pura 'nggak tahu!" Dimas melantangkan suaranya. "Semua orang di sini tahu aku anak penyuap. Semuanya! Dan hanya satu yang menyebarkannya ke luar, yaitu kamu." Dimas bangkit, mematikan rokoknya dengan cara diinjak. "Kamu memberitahu tentangku pada kakakmu."

Antara terima dan tidak terima, Anggi menyahut, "I-Itu benar, tapi aku 'nggak bilang lebih selain nama dan asal-"

"Aku belum selesai bicara," potong Dimas. "Kakakmu itu, mungkin diam-diam mencari tahu tentangku dan menyebarkannya pada penduduk ramai agar mereka demo di depan sana." Dimas mengucapkannya, berapi-api; tangan bergerak-gerak. "Bahkan sebelum mereka demo, aku sudah dapat kabar dari Bu Agustini kalau kerabat-kerabatku, ketua sukuku, semua temanku itu marah sama aku, tahu kamu?"

Seketika, sifat keras Anggi runtuh.

"Kamu 'nggak pernah berpikir panjang sebelum mengatakan identitasku pada orang lain." Napas Dimas sudah mulai tak beraturan. "Lihat apa yang terjadi. LIHAT!" bentaknya. "Kamu mulai merusak ketenanganku."

Anggi tak mau disalahkan terus. "Tapi ini salahmu yang telah mengeluarkan Manda." Ia mengungkit masa lalu. "Jika saja kamu 'nggak masuk, aku 'nggak ada ketemu kamu, aku 'nggak akan bilang kalau kamu anak penyuap pada kakakku."

Dimas diam. Bisa dirasakan asap rokok yang tersisa di kerongkongan keluar berembus kasar dari hidungnya. "Mengungkit masa lalu tidak akan membuatku berhenti menyalahkanmu." Dimas berbalik, tak mau meladeni lebih lama lagi Anggi yang keras kepala.

"Dimas," seru Anggi. "DIMAS!" Anggi berteriak kala lelaki itu tidak menoleh dan belok ke kiri.

Anggi mengusap kasar wajahnya. Dirinya terbagi menjadi dua; menyalahkan diri, menyalahkan Dimas. Anggi menyalahkan Dimas yang telah menyuap Pak Menteri sehingga ia mengenal dia yang kemudian diberitahukan ke Ira. Di sisi lain Anggi menyalahkan diri sendiri yang tidak menjaga privasi orang.

Hal itu membuat inisiatif Anggi untuk menelepon kakaknya muncul.

Ia langsung ke tempat wanita penyita ponsel dan tak mendapati dia di sana. Langsung saja disambarnya kertas plastik, mencari-cari ponsel dan menemukannya.

Ia langsung mencari kontak sang kakak dan meneleponnya, namun tak diangkat. Ditelepon lagi, tak diangkat. Anggi membanting ponsel ke atas meja sampai dirasa kacanya retak.

Anggi termenung sejenak. Ke mana sifat kerasnya? Kenapa digantikan rasa bersalah lagi? Anggi adalah anak yang kuat dan dia pantang merasa bersalah pada orang lain. Justru oranglah yang selalu merasa bersalah padanya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top