1. Penyuap

"Hai, Ang-"


"To the point karena aku hanya diberi waktu menelepon Kakak 5 menit."

Hujan baru saja berhenti setelah berjam-jam mengguyur ibukota. Di sebuah rumah minimalis yang terletak di sebuah perumahan, seseorang berdiri dekat jendela, menempelkan ponsel ke telinga.

Yang ditelepon, memotong judes perkataan kakaknya. Sang kakak bernama Ira hanya tersenyum dan berkata, "Kakak merindukanmu."

Di seberang terdengar sahutan."Yah, Kakak bisa melihatku nanti di Istana Merdeka, atau televisi."

Ira mendengkus. "Itu masih lama," katanya. Wanita dengan mata (badan)nya itu bergulir menatap langit di mana awan bergeser, mempersilakan bulan untuk bersinar. Tidak ada sahutan sesaat sebelum si penelepon kembali buka suara.


"Hanya ini yang mau kausampaikan? Waktumu tinggal 2 menit."

"Ah, ya." Ira menghela napas. "Kakak ada urusan ke luar kota, pagi 17 Agustus. Kakak mungkin tidak bisa menyaksikan baris-berbarismu. Bisa saja lewat live-streaming, tapi jalan ke sana tidak ada jaringan."

"Tidak bisakah ditunda dulu urusannya?" Penelepon mulai malas berbicara.

"Bayarannya tinggi, Anggi. Jika kau mau kita berdua bertahan di kota ini, maka aku harus selalu mengambil kesempatan besar," jawab Ira, antusias.

"Huh, lebih mementingkan uang daripada adiknya sendiri."

Senyum Ira perlahan luntur. Perkataan adiknya itu membuat hatinya bergejolak dan ingin menyahut pedas ucapannya.

Namun, waktu menelepon Anggi sudah habis. "Jika aku luang, maka aku akan menelepon Kakak. Berharap Kakak meneleponku itu percuma karena Kakak selalu sibuk." Panggilan pun mati sepihak dengan Ira yang mendengkus.

Hubungannya dengan Anggi bisa dibilang kurang baik. Ibu mereka meninggal dan sang ayah lebih menyayangi Ira daripada Anggi yang juga merupakan anak kandungnya.

Meski begitu, mereka tetap menjalin hubungan dan saling membantu. Baik-buruknya tali persaudaraan tidak mereka hiraukan karena mereka berdua harus bertahan di kota besar Jakarta. Walau bisa dibilang mereka sudah berhasil bertahan dan menjadi bagian dari kota itu.

.

Anggi menyerahkan ponselnya ke wanita yang ia sebut Penyita Ponsel. Wanita itu meraih dan membuka kertas plastik di mana di sanalah ponsel-ponsel para pemuda dan pemudi pilihan bangsa tersimpan.

Mereka dipilih menjadi paskibraka, mewakili provinsi masing-masing dalam upacara kemerdekaan republik Indonesia pada 17 Agustus mendatang. Mereka masih dalam fase latihan. Latihan sudah berjalan sejak 17 Juli, dibimbing dan didampingi Kemenpora, kepala TNI Angkatan Darat, Laut, dan Udara, serta Polri dan Pasukan Pengaman Presiden.

Anggi melakukan yang terbaik agar latihannya sempurna. Dia tidak peduli dengan kakaknya. "Biar saja dia mengurus dirinya; aku mengurus diriku." Hatinya sekeras batu dan itu memengaruhi kecakapannya menjadi salah satu anggota paskibraka.

Anggi ke kamarnya, akan beristirahat sejenak. Dia sudah latihan dari jam 4 pagi sampai jam 6 sore, hanya berhenti 30 menit sekali dan itu pun hanya 15 menit.

Di kamarnya, terdapat dua ranjang. Dia punya satu teman kamar bernama Manda. Dia hitam manis, berasal dari Papua. Dia mendapat nomor 1 sebagai siswi Indonesia dengan nilai latihan sempurna. Anggi berada di posisi ketiga. Anggi beruntung ditempatkan sekamar dengannya sehingga dia bisa mengorek kepribadian si Nomor 1 dari Timur itu, sehingga dia mendapatkan nilai sempurna.

Anggi sudah masuk ke kamar saat melihat Manda merapikan kopernya.

"Hai, Manda!" sapa Anggi. Manda mendongakkan kepala. Dia menoleh dan mendapati Anggi mendekatinya.

Anggi melirik kopernya. Dia terbelalak melihat isinya. Semua pakaiannya dilipat rapi di sana. Itu membuatnya tak bisa menahan tanya, "Kau mau ke mana?"

Manda menutup koper dan mendengkus. Dia meraih satu pasang baju latihan di kasur dan meletakkannya ke dalam lemari. "Pulang."

"Pu-Pulang?" Anggi memastikan. Ia sempat terkekeh menganggap Manda bercanda--karena Manda seorang yang suka mengatakan guyonan. "'Kan belum upacara."

"Aku tahu." Manda mendengkus. "Seseorang menggantikanku."

Anggi kaget. "Bagaimana bisa? Siapa yang menggantikanku?"

Manda menutup lemari. Dia menunduk, terisak kemudian. Anggi langsung meraih badannya dan memeluknya.

"Aku digantikan penyuap." Lirih Manda. "Latihanku selama ini sia-sia."

Mata Anggi panas. "Penyuap? Siapa?"

Manda mengurai pelukan dan mengusap air matanya. "Aku tidak tahu. Pokoknya aku harus meninggalkan tempat ini besok pagi. Aku akan digantikan olehnya." Manda lesu. "Sia-sia perjuanganku selama ini," runggutnya.


"Adukan, dong. Kok diam saja?" Anggi meraih botol minum di atas nakas dan memberi Manda botol itu.

Manda meraih dan membuka tutupnya. Dia duduk dan meminum isinya, kemudian menghela napas. "Aku tidak punya wewenang." Manda sedikit takut saat mengatakannya. "Mungkin petugas-petugas sini tidak akan mendengarkanku. Aku takut malah aku yang disalahkan karena menuduh yang bukan-bukan--padahal benar." Kepalanya menekur.


"Sejak kapan temanku ini menjadi penakut?" sahut Anggi. "Jika kau tidak mau, biar aku-"

"Dia menyuap Pak Menteri."

Langkah Anggi langsung membeku. Dia menatap tak percaya. Manda terisak kembali, rambut keritingnya menutupi wajah si hitam manis itu.

Anggi tidak tahu senekat itu si penyuap. Anggi penasaran siapa si penyuap yang berhasil menyuap Pak Menteri. Bukankah Pak Menteri orang penting di negara ini, yang sudah bersumpah sebelum dilantik oleh kitabnya masing-masing untuk tidak menerima suap?

Anggi mendekati Manda dan memeluknya lagi. Sekarang ia juga merasa tidak dapat apa-apa. Mengadukan menteri, apakah dia bisa? Terpaksa mereka berdua menerima kenyataan ini. Pasti beberapa orang yang mungkin tahu ini akan mengalami hal yang sama.

"Yang sabar ya. Aku akan urus anak itu setelah dia ada di sini." Anggi menatap dirinya di cermin.

"Tidak perlu repot-repot, tapi ... terima kasih." Manda balas memeluknya. Sejak saat itu Anggi berjanji akan mengeluarkan si penyuap dari tim.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top