1. Bukti | 14. Sedikit Teka-Teki

Ira, Dimas, dan Pak Tio menerima kabar dari kepolisian kalau mereka menemukan dua sepatu kets putih yang berada berlainan tempat rupanya sepasang sepatu kets. Sepatu kets itu merupakan petunjuk siapa pembunuh Anta dan Anggi secara bersamaan.

Dari surat, setelah ditilik lebih lanjut agaknya ditulis paksa. Tulisannya memang rapi, tapi beberapa kata dicoret karena salah tulis atau tulisannya bengkok-bengkok. Mendengar dua hal itu, langsung saja tiga orang itu ke kantor polisi.

"Ini ditulis paksa? Bukan tulisannya Anta?" tanya Pak Tio pada penyidik.

Penyidik mengangguk. "Anda bisa lihat sendiri bulatan-bulatan ini." Dia memutar laptopnya dan memperlihatkan beberapa bundaran di layar. Pak Tio memakai kacamatanya, lalu mengangguk-angguk habis melihat.

"Sepatu kets itu ... bagaimana kalian tahu?" Giliran Dimas bertanya.

"Beberapa rekan kami mengunjungi beberapa toko sepatu di kota ini dan menemukan dua yang mengaku menjualkan sepatu kets itu. Mereka menjelaskan ciri-ciri pembeli. Pemilik toko 1 menjelaskan dia seorang perempuan, rambutnya dikepang dua. Sedangkan pemilik toko 2 menjelaskan dia seorang laki-laki, memakai hoodie tak berlengan yang biasa dipakai untuk olahraga."

"Kami menyimpulkan pembunuh sepertinya ada dua dan mereka bekerjasama." Penyidik mengetik sejenak di laptopnya. "Saudari Ira, Anggi adalah adikmu. Apakah dia pernah terlibat urusan serius dengan orang lain?"

"Tidak ada, kurasa. Sebulan sebelum kejadian dia sudah pergi dariku, menginap di asrama paskibraka," jawab Ira.

"Lalu." Penyidik kagum karena yang diinterogasinya adalah kakak dari seorang siswi pilihan negara. "apakah saudara A yang kamu kenal punya urusan serius dengan orang lain?"

Ira menatap ke bawah. "Untuk serius kurasa tidak pernah. Dia punya banyak urusan dengan orang lain."

Penyidik mengangguk-angguk.

"Untuk urusan Anggi, mungkin anak itu tahu." Ira menunjuk Dimas. "Mereka satu asrama."

Penyidik langsung beralih pada Dimas. "Kamu tahu Anggi akhir-akhir ini berurusan dengan siapa?"

Dimas mengingat-ingat sejenak. Yang ia ingat hanya urusannya akan tersebarnya identitasnya sebagai anak penyuap di luar Desa Bahagia. Dimas mengangguk setelah membuang napas menimbang keputusan. "Ya, tidak terlalu serius--denganku."

Pak Tio terbelalak dan segera menoleh.

"Maksudmu?" Itu bukan pertanyaan Pak Tio, melainkan penyidik.

"Dua malam sebelum Anggi dibunuh, aku dan dia bertengkar karena sesorang di luar Desa Bahagia menyebarkan identitasku, sehingga memicu demo di depan asrama." Diam-diam Dimas melirik Ira. "Anggi hanya menyebarkan identitasku pada wanita itu. Aku merasa kalau dialah pemicu demo kecil-kecilan itu." Ira langsung tak terima disalahkan. Ia baru saja akan bangkit sebelum penyidik menghentikannya dan bertanya, "Memangnya kamu siapa?"

Dimas melirik ayahnya. Ayahnya mengendikkan bahu, terserah. Lelaki itu menjawab, "Paskibraka yang masuk lewat jalur suap."

Penyidik tersedak ludahnya sendiri. "Apa? Wah, sepertinya kau harus diberi hukum-"

"Nanti saja setelah kita mengetahui siapa pembunuh Anggi," potong Ira. Penyidik menatap Ira dan Dimas bergantian dengan tatap curiga, kemudian mengendikkan bahu dan mendadak menyuruh mereka keluar karena ia ingin mengusut kasus itu lebih lanjut sendirian setelah tahu identitas Dimas.

Mereka segera keluar dan tatapan sengit Ira mengadah paa Dimas. "Berani-beraninya kamu memfitnahku," ucapnya, penuh penekanan, tidak ingin memancing keributan.

"Mungkin itulah nyatanya," sahut Dimas. "Kamu memang menyebarkan identitasku pada para pendemo itu."

Ira sudah mengepalkan tangan saat Pak Tio menghalangi mereka untuk adu jotos. "Kita pikirkan Anggi, Dimas. Jangan kelahi dulu, Ira."

Ira mendengkus. "Dia cari masalah." Dimas hanya diam. Dia tak mau meladeni terlebih ayahnya menghalangi. Maka dia berjalan mendahului mereka berdua untuk ke luar.

"Identitas kami yang tersebar tidak mengapa," kata Pak Tio. "Tapi Dimas pantang menemukan pengkhianat lain di hidupnya selain ibunya. Ibunya akan jadi pengkhianat pertama dan terakhir yang ia miliki."

Ira membuang npas. "Aku agak tidak terkendali setelah kepergian Mas Anta dan Anggi."

Pak Tio menepuk kedua bahu Ira. "Ikhaskan mereka." Ira mengangguk, menghirup napas, lalu dibuang.

.

Ira sudah kembali kerja. Ia berada di salah satu bilik mesin ATM Bank yang letaknya bersebelahan dengan stasiun televisi. Ia memasukkam kartu ATM-nya ke dalam mesin dan memasukkan kata sandi. Ia ingin menarik uang karena uang bulanannya akan habis.

Ira mencetak resi terlebih dahulu sebelum mengambil. Ia mengambil kertas yang mencuat dari bawah layar ATM. Dia membaca jumlahnya dan terkejut karena nominal terakhir saat dia mengecek dan hari ini berbeda jauh. Langsung saja dia batal menarik tunai. Ia keluar dari bilik dan pergi ke tempat kerja.

Ira langsung menelepon Pak Tio, mengabarkan kalau dia sudah diperas diam-diam. Namun Pak Tio tidak menyahut sampai tiga panggilan. Itu membuat Ira putus asa, apalagi tabungannya bertahun-tahun hilang entah ke mana.

Ira mengingat-ingat kapan terakhir kali ia meletakkan tasnya. Seseorang mungkin telah mengikutinya akhir-akhir ini. Dia adalah pencuri kartu ATM-nya.

Maka Ira bergegas ke ruangan dandan di mana di sana ia menarik Tasya. Tak peduli Tasya temannya, ia bertanya seakan tidak menganggapnya seorang teman. "Kau mencuri dompetku ya?" Tasya mengernyit heran dengan wajah seketika merah padam, melebihi merahnya bibir. "Kamu apaan, sih? Ngaco, deh." Tasya pergi dari hadapan Ira dengan Ira tak kunjung beranjak. Bukan Tasya, batinnya. Maka dia mengingat-ingat siapa yang berada satu ruangan dengannya tadi siang saat bersiap syuting talkshow. Setelah ingat, ia mencari mereka semua satu-persatu.

Ira yang terang-terangan bukanlah Ira yang dikenal. Setelah dia menanyakan pertanyaan menohok yang entah apa artinya, teman-teman Ira mulai berburuk sangka padanya. Mereka mengira Ira mencurigai mereka yang tidak menghilangkan uangnya. Tersirat keinginan tak mau berteman dengan Ira lagi. Setelah Anggi pergi, Ira berubah menjadi tak disukai.

Hingga sampailah Ira pada pemandu acara bernama Wawan. Itu adalah orang terakhir yang menemaninya saat berdandan tadi siang di ruang dandan. Wawan tengah berbincang dengan satu temannya sebelum mempersilakan temannya itu pergi kala tahu Ira ingin bicara berdua saja dengannya. Ira duduk di depan Wawan. Penampilan keduanya sungguh kontras karena Wawan memakai pakaian gelap, sedangkan Ira cerah.

"Katakan apa yang mau kamu katakan." Pria mata empat itu menyesap kopinya. "Aku akan mendengarkan."

"Kamu mencuri dompetku ya?" Pertanyaan yang telah terlempar pada yang lain itu akhirnya terlempar pada Wawan.

"Dompet? Tidak. Lagipula untuk apa." jawab Wawan, meletakkan gelas plastik kopinya ke atas meja.

"Uang di ATM-ku tingal seperempat isi dari terakhir kuperiksa. Aku tidak menarik uang sebelum hari ini. Aku yakin salah satu dari kalian mencuri dompetku dan kartu ATM-ku saat aku ke toilet sebentar," sahut Ira.

"Yang benar?" tanya Wawan, tidak percaya. "Ra, kami 'nggak akan tega melakukannya. Kamu sudah kehilangan Anta dan Anggi, masa' kami mau mencuri uangmu. Masing-masing dari kami saja sudah hidup berkecukupan."

"Ya siapa tahu kalian mau uang dariku," cibir Ira, kesal.

"Nggak, kok." Pria berseragam itu bangkit dan menghampiri Ira. "Kami 'nggak akan bohong sama kamu." Dia memijit pelan bahu Ira yang mendengkus. Aksi lama pacar lamanya itu tidak membuatnya baikan.

Namun perkataan Wawan benar. Teman-temannya tidak akan tega mengambil kartu ATM-nya. Jika mereka tega, mereka tidak tahu apa kata sandinya. Ira membuang napas karena hal itu tidak terpikirkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top