1 | 15. Diperas

"Pak Tio, perlahan-lahan isi pesan itu terjadi, tapi aku takut melaporkannya."

Pak Tio duduk di kursi empuknya, dengan kaki terangkat ke meja mahoni besar berukiran rumit. Dia diam saja, membiarkan si muka lonjong itu melanjutkan perkataannya. Dimas duduk di depannya, menyalakan perekam.

"Apa perlu kulaporkan, Pak? Ini 'kan menyangkut isi pesan itu?"

"Menurutku sih jangan," jawab Pak Tio. "Toh kamu baik-baik saja, 'kan? Tidak terluka?"

Ira mengiakan.

"Ya sudah, santai saja," sambung Pak Tio.

"Tapi, Pak, aku merasa aku harus melaporkannya." Perkataannya itu membuat Pak Tio muak. "Lalu kamu 'nelepon saya untuk apa? Untuk mendengarkan perkataanmu saja?"

"E-Enggak." Pak Tio mendengkus. "Menurut Bapak, bagaimana?"

Pak Tio yang kekesalannya sudah memuncak dan sangat ingin dilampiaskan dengan kata-kata, memilih menarik dan menghembuskan napas berkali-kali. Ia sedang menelepon seorang kakak yang takut dirinya dibunuh. Itu pun entah dibunuh atau tidak. Pak Tio sudah tahu siapa pelakunya dan malas memberitahu yang lain, termasuk Dimas.

"Kamu punya teman di kantor? Coba menginap di rumahnya barang sehari. Mungkin perasaan takut matimu itu bisa hilang." Pak Tio terkekeh, menganggap lucu guyonannya.

"Pak, itu 'nggak lucu," komentar Dimas. Pak Tio mengacungkan jari telunjuk di depan mulut. Dimas kembali membisu dan memutar matanya pada layar ponsel, memerhatikan detik demi detik yang berubah jadi menit.

Ira diam, itu artinya dia tidak menyukai candaannya. "Jangan dilaporkan ke polisi. Urusan ini akan rumit dan perempuan itu akan segera membunuhmu bahkan sebelum kamu tahu siapa dia." Pak Tio menyeringai.

Ira terkesiap. "Pembunuhnya perempuan?" tanyanya kaget.

"Salah ucap." Pak Tio menyeringai semakin lebar. Ira menyahut dengan sumpah serapahnya. "Sudah, Pak Tio, hanya itu kabarku. Aku akan meneleponku jika ada sesuatu yang terjadi lagi padaku."

"Teleponku akan selalu menyala untukmu." Dimas bersiap mematikan perekam. Tak lama kemudian, panggilan diputus. Dimas mematikan perekam dan memberikannya pada ayahya. Pak Tio memutarnya kembali dan mendengarkan selama 5 menit.

Selama 5 menit itu, Pak Tio dan Dimas menemukan perkataan yang janggal. Seperti, "Aku merasa pembunuhnya ada di sampingku," atau, "Aku ingin melaporkannya," seakan dia sudah tahu siapa pelakunya. Bahkan saat Dimas menyeletuk kalau Ira sedikit terang-terangan siapa pelakunya, Pak Tio membenarkan karena pikirannya sama.

"Dia merasa seseorang di sampingnya--kita bisa artikan mungkin teman dekatnya--adalah pembunuhnya. Ira bukan seorang pendiam dan dia pasti kenal semua orang di stasiun. Maka artinya pelaku juga berada di stasiun dan kemungkinan besar pekerja di sana." Pak Tio mulai memaparkan teorinya. "Dia ingin melaporkannya seakan tahu siapa si pelaku, tapi dia juga takut. Dimas, aku merasa kalau Ira mungkin akan terbunuh seperti Anta." Dimas menatap penuh arti Pak Tio. "Atau Ira yang membunuh pembunuh itu."

Dimas terkesiap. "Maksud Bapak?"

Pak Tio terus mendengarkan rekaman dan menghentikan di sebuah waktu. Dia kembali ke 5 detik sebelum pemutaran rekaman itu, lalu setelah lewat, kembali lagi ke 5 detik sebelum. Begitu terus sampai Dimas muak karena tak tahan yang didengar berkali-kali hanyalah aku.

"Maksudnya apa, Pak?" tanya Dimas, terkesan membentak. Ayahnya itu berhenti mengulang-ulang rekaman. Dia memutar mata pada Dimas, lalu menyeringai. "Tidak mungkin kamu tidak mengerti dengan rekaman yang aku ulang-ulang itu."

Beberapa detik setelahnya, Dimas bengong berusaha mencerna. Sampai akhirnya dia kembali terkesiap dan terbelalak menatap alat perekam. Pak Tio hanya menyeringai karena akhirnya anaknya itu satu pemikiran dengannya.

"Bapak .... Bapak menuduh kakak Anggi ini ... rekannya pembunuh?"

.

Tidak banyak yang Pak Tio paparkan kenapa dia menuduh Ira sebagai rekan pembunuh. Dia bahkan sempat menyangka Ira yang menyuruh pembunuh membunuh Mas Anta dan Anggi, tapi ia rasa dia tak akan setega itu. Dia hanya curiga Ira ini memiliki teman yang telah membunuh dua orang tersayang wanita itu.

Pak Tio tahu gender pembunuh. Pak Tio pernah ke stasiun televisi tempat Ira bekerja dan berhasil mendapat banyak kenalan. Laki-laki pendandan berduri lunak--alias banci memang banyak, namun Pak Tio yakin mereka belum bisa berlari dengan sepatu berhak, alih-alih berjalan. Jadi dia beranggapan pembunuh adalah perempuan.

Pembunuh adalah seorang yang sangat mengenal bangunan Istana Merdeka. Biasanya para reporter dan pewawancara dibebaskan masuk ke dalam Istana Merdeka saat ada acara penting. Stasiun televisi tempat Ira bekerja memuat banyak sekali pekerja di bidang berbeda-beda. Pak Tio rasa Ira punya teman seorang pewawancara. Pewawancara biasanya perempuan, jadi dia pembunuh Anta dan Anggi.

Perihal toko sepatu penjual sepatu kets, Pak Tio beranggapan kalau pembunuh itu seorang yang tomboi. Dia memiliki penampilan rambut laki-laki. Dia bisa jadi perempuan dan juga laki-laki.

Namun, jika dua pembeli berbeda di toko yang berbeda pula itu bisa memanjangkan rambut secepat kilat? Ada dua jawaban, yaitu 1) pembunuh perempuan mulanya berambut panjang yang dikepang dua sebelum memotongnya ke salon, dan 2) pembunuh perempuan punya model rambut laki-laki, maka dia memakai wig sehingga dia terlihat seperti seorang yang berbeda.

"Jadi dia teman Ira, pernah ke Istana Merdeka, tomboi--atau sempat potong rambut, dan seorang pembunuh yang mungkin seorang pendendam." Pak Tio menjelaskan teoriunya dengan berapi-api, tapi tak membuat Dinas semangat mendengarkan. Dia manggut-manggut menahan kantuk. Pak Tio memukul meja sehingga anak kandungnya itu kaget dan bangun.

"Dengarkan aku!" perintahnya, mutlak. Dimas menguap sejenak, lalu mengangguk. Pak Tio melanjutkan teori keduanya.

Si pembunuh merupakan seorang pendendam kepada Ira. Untuk melampiaskan dendamnya yang sekiranya tak akan mempan bagi Ira, maka dia membunuh lancar Ira. Kebetulan, Anta di rumah bersama calon istrinya, Lisa. Dia menangkap Lisa dan menyekapnya, laku memaksa Anta untuk menulis surat ancaman di mana surat itu adakah surat darinya untuk Ira dengan gaya tulis Anta.

Setelahnya ia membunuh mereka. Habis membunuh, dia sengaja meninggalkan sepatu kets bagian kiri untuk diseldiiki, karena jika Ira temannya, maka Ira tahu siapa yang suka mengoleksi sepatu kets itu.

Maka dilanjutkan ke pembunuhan kedua, pada Anggi. Si pembunuh masih dendam pada Ira, maka Anggi-lah imbasnya. Dia menyusup ke Istana Merdeka dan naik ke atas banguan itu. Dia memegang senapan dan membidik Anggi. Setelah membunuhnya, dia meninggalkan sepatu kets kanan, mengingatkan Ira kalau 'dia'-lah pembunuh dua orang kesayangannya.

"Apa Ira benar-benar tahu siapa yang suka pada sepatu kets itu?" tanya Dimas setelah Pak Tio duduk, bosan memain-mainkan tangannya di udara. Pak Tio mengendikkan bahu. "Mungkin kita akan tahu segera."

Dimas mendengkus. "Aku mengantuk. Aku mau ke kamar. Selamat malam."

Pak Tio tdak menjawab dan sibuk bertempur dengan pikirannya. Saat Dimas pergi, ia sempat menoleh. Pikirnya, ayahnya itu tahu semuanya. Apakah dia yakin bisa menangkal si lembunuh bahkan sebelum dirinya dipenjara. Tinggal 5 hari masa kebebasan bersyarat Pak Tio. Dimas tak ambil pusing, dia langsung melesat ke kamar.

Pak Tio terkekeh kecil di ruangan yang dipenuhi rak buku tebal itu. Berhubungan dengan ruang tamu, seakan ingin semua tamu tahu di ruangan penuh ukiran rumit itulah sang koruptor yang dibebaskan bersyarat bekerja mencuci uang. Pak Tio memutar-mutar kursi putarnya dengan senyum tak berhenti mengembang. "Oh, Sayang, kamu terlalu gegabah dalam bertindak." Ia menertawakan dalam hati kecerobohan si pembunuh. "Akan kupastikan kamu mendapat apa yang sepatutnya didapat." Pria itu pun menyeringai.

***

Sesuai saran Kak Tio, maka Ira menginap di salah satu rumah temannya. Sebelumnya entah kenapa semua teman baiknya menolak. Sampai dia menyapa rival kerja yang entah kapan tobat merendahkan orang.

"Tidur di rumah gue? Boleh banget!" Kelin berseru senang. Akhirnya Ira mendapat tempat inap sementara sampai dirinya merasa baikan. "Kenapa 'nggak 'nginap ke yang lain?" tanya Kelin setelah Ira berterima kasih.

"'Nggak tahu, tuh. Coba lihat sendiri." Ira melirik malas semua teman kerjanya yang berjalan melewatinya dengan tatapan sinis. Wanita berambut nyaris botak itu mengangguk-angguk, paham.

"Jam berapa ke rumah?" Walau tampilan dari ujung kepala sampai ujung kaki nyaris seperti laki-laki jika saja tonjolan di dada tidak terbentuk, Kelin memiliki suara gadis feminim yang terdengar ceria.

"Habis pulang kerja. 'Nggak ada kerjaan 'kan jam segitu?" Kelin sudah tahu jam kerja Ira, maka dia menggeleng sebagai jawaban. "Aku 'nggak ada kerjaan jam segitu."

Akhirnya setelah Ira selesai akan acaranya, dia langsung ke rumah Kelin. Sebelumnya ke rumagnya dulu mengambil beberapa baju dan perlengkapan mandi. Ia tidak mau membebani orang lain.

Setelah sampai di rumah Kelin yang kecil, Ira mengutarakan niatnya yang ingin menginap di tempat orang. Rumah itu hanya besar tanahnya itu, yang hanya dipenuhi rumput dan tanaman putri malu, Kelin mendengarkan. Dia terus mendengarkan dan tak terkesiap akan kejadian pembunuhan beruntut yang dialami Ira.

"Aku turut berduka," ujarnya dengan wajah sedih. Ira hanya membuang napas. "Aku merasa pembunuhnya ... selalu berada bersamaku."

"Jangan khawatir. Kamu tidak akan dibunuh. Ada aku di sini." Kelin mengembangkan senyum selebar yang dia bisa. Senyum itu membuat Ira lebih baik. Jadi dia berterima kasih karena telah membuatnya tenang.

"Kubuatkan teh ya. Setelah itu kita nonton televisi bareng," ajak Kelin yang beranjak ke dapur. Ia berkali-kali melompati lantai karena barang-barang yang berantakan. Ira mengiakan. Ia merilekskan diri di atas sofa sampai Kelin datang dengan dua cangkir tehnya dan sebungkus biskuit kelapa.

Mereka pun menonton televisi bersama-sama hingga tertidur di sofa ruang tamu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top