Hidden
Namanya kabur oleh waktu.
Ia dingin, kaku, diam, dan gelap. Presensinya seolah-olah berteriak pada dunia bahwa ia adalah salah satu dari definisi hening yang mencekik.
Kesendirian adalah kehidupannya. Keheningan adalah udaranya. Kegelapan adalah kawannya.
Ia selalu berdiam diri dalam ruangan, tak beranjak barang sejengkal pun dari tempat ia mendudukkan diri.
Iris layunya selalu menerawang kanopi malam, mencoba menyibak penampakan bintang satu persatu demi menemukan awan yang bergumul sembunyi di balik bulan.
Paras rupawannya memiliki gradasi sedemikian rupa sehingga menjadikan kulitnya putih pucat tak terjamah.
Auranya dingin, tak memberikan lisensi bahkan kepada serangga untuk sekedar mendekatinya dalam jarak kurang lebih dua meter.
Suaranya terpendam di antara besarnya mimpi untuk bertemu yang dirindu.
Mungkin saja, ia lupa bahasa manusia. Telinganya pun tak terbiasa mendengar manusia berbicara.
Eksistensinya tak diketahui banyak orang dan kalangan, hanya beberapa iblis jahat dan satu malaikat bersayap putih cemerlang dari bahan sutra.
Menuliskan segalanya dalam sebuah buku, mewakilkan perasaannya melalui kata-kata.
Jemarinya berhenti menggoreskan tinta di atas selembar kertas kala rungunya mendengar tapak kaki kuda yang semakin mendekat diiringi dengan seruan perintah yang menggema melalui udara dingin kastil yang ia tinggali selama dua puluh tahun terakhir.
Perlahan tapi pasti, langkahnya dituntun untuk mendekati jendela bertirai tebal yang hampir tidak pernah ia singkap. Ibu jari dan telunjuknya menjumput kecil kain tirai, irisnya taku-takut memaku pandang pada barisan prajurit berkuda yang mendekati wilayahnya.
Ayah…
Batinnya berteriak. Abdomennya bergejolak.
Orang yang disebutnya Ayah itu, adalah orang yang sama yang telah membuangnya. Orang itu mengasingkannya, menganggapnya tak ada, melukai hatinya.
Tapi keinginan untuk mendapatkan kasih sayang dari sang Ayah terlalu besar untuk bisa memutar balik perasaannya menjadi benci.
Gadis bangsawan yang dibuang itu, masih mencintai Ayahnya dengan sepenuh hati dan hidupnya.
Miris, ia tak mendapatkan balasan yang setimpal. Ia terlalu lelah untuk menangis, alhasil ia menyamarkan dan mengungkapkan tangisannya dalam diam. Ia juga terlalu lelah untuk marah, kembali menjadi diam adalah usaha yang ia lakukan.
Kakinya mengambil langkah mundur sebelum membuka pintu ruangan dengan kasar dan berlari sekencangnya demi menggapai presensi Ayahandanya.
“Ayah!”
Pada akhirnya, belah bibir itu hanya mampu untuk memanggil yang dirindu. Seluruh sel otaknya di ambil alih oleh sosok tua yang masih menunjukkan aura gagahnya tersebut sebelum akhirnya tangan lemah miliknya ditarik dari belakang. Tubuh ringkihnya dipaksa mundur sebelum mencapai klimaks gerbang kastil.
Ia adalah malaikatnya. Malaikat bersayap sutra. Tetapi untuk sekarang, gadis itu terlampau emosi untuk mengatakan pria bersurai pirang dan bermata sedalam jelaga tersebut sebagai malaikat pelindungnya.
Gadis itu hanya ingin menemui Ayahnya, ingin memeluk tubuh itu dan menyandarkan tubuh ringkihnya pada dada sang Ayah. Menangis sesegukan dan merasakan tangan besar hangat yang mengusap kepalanya serta menyusuri bagian punggungnya.
Jika saja kata ‘andai’ dapat bersanding dengan kenyataan yang pasti.
“Tidakkah kau mengerti apa resiko yang baru saja akan kau ambil, She?”
Tubuhnya dihimpit di lorong sempit yang menghubungkan dengan gudang lama. Sherina merasakan air mata yang menumpuk di pelupuk mata, siap untuk meluncur tatkala tangannya memukul dada pria di hadapannya.
“Menyingkirlah, Jou! Aku ingin bertemu Ayah!”
Kalimatnya dibalas dengan sebuah tarikan pada lemahnya tubuh dingin Sherina. Dekapan hangat yang ia terima terlalu berharga untuk dilewatkan. Menurut Sherina, Jourell sangat mirip dengan Ayahnya, Marquess of Queensberry.
Pelukan itu sama dengan pelukan yang terakhir ia ingat diberikan oleh Ayahnya ketika usianya menginjak tujuh tahun.
Usapan halus pada surai dan punggung, hatinya mendadak menjadi hangat. Jemari kecilnya meraih punggung kekar Jourell, menyembunyikan tangis dalam dekapan sang lawan.
“Ayah…”
Jourell tertegun. Bibirnya tertekuk ke bawah, merasakan penderitaan Sherina yang begitu dalam. Turut meresapi luka-luka yang diterima Sherina selama hidupnya.
“Tenangkan dirimu dulu, hm?”
Tak ada balasan. Sherina masih menangis menyebut nama Ayahnya, begitu pilu. Dengan sedikit berat hati, Jourell melepaskan pelukan dan menuntun gadis pucat tersebut menuju ke ruangannya.
Ia menunjukkan senyum kecil tulus. “Tunggulah disini terlebih dahulu. Aku akan kembali bersama Ayahmu.”
Pintu ditutup.
“Untuk sementara, kita akan menggunakan kastil ini dengan tujuan berbincang mengenai hal lainnya yang menyangkut rencana.”
“Baik, My Lord.”
Kala pantatnya hendak menyatu dengan bantalan empuk sofa ruang utama, presensi seorang pria yang menatapnya dengan penuh murka dan cacian membuat kedua belah bibirnya tertarik ke atas. Bukan senyum yang menyenangkan, jelasnya.
“Jadi, apa yang akan kau minta dariku lagi, Jou?” Jourell mati-matian memendam keinginannya untuk bercerocos tentang keadaan putri satu-satunya yang kelewat kritis akan kasih sayang Ayahnya.
Tapi untung saja Jourell bukan tipe orang yang suka menjatuhkan sesamanya secara terang-terangan. Ia lebih suka cara yang lebih unik dan efektif namun dibumbui sedikit kelicikan; mengancam.
Jourell balas menyunggingkan senyum tulus yang dibuat-buat, suaranya tegas saat bertanya, “Anda akan menggunakan kastil tua ini sebagai tempat rapat untuk merencanakan strategi mengelabuhi Duke of Devonshire, My Lord?”
Marquess of Queensberry menilik ke sepasang obsidian milik Jourell yang menyiratkan kemurkaan dan dendam yang absolut.
“Kau ingin aku menemui gadis terbuang itu?” Jourell masih menatapnya. Tak mengatakan sekalimat pun, memberi waktu pada majikannya untuk mengatakan apa yang ia mau. Marquess of Queensberry tertawa sarkas sembari berdiri dan menghampiri Jourell. Pandangannya masih dipaku pada obsidian berbahaya sepuluh senti dihadapannya.
Jemari pria bangsawan itu tergerak untuk menepuk-nepuk pundak Jourell. “Anak yang pintar. Kau menjaga putriku dengan baik rupanya, hm?”
Berbagai umpatan telah Jourell lontarkan pada Marquess of Queensberry dalam hatinya, tetapi seolah tak mengetahui apa-apa, mimiknya dipaksa seapik mungkin untuk menyembunyikan kekesalan.
Marquess of Queensberry menjawab pertanyaan Jourell dengan nada arogan. “Ya, aku akan menggunakan kastil tua ini sebagai tempat terakhir perbincangan krusialku dengan rekan-rekan kerjaku. Ada masalah?”
Jourell menggeleng. “Saya hanya merasa, anda tak seharusnya menodai kastil suci ini dengan rencana-rencana licik, My Lord.”
Mereka terdiam cukup lama.
Marquess of Queensberry dengan terpaksa harus menelan seluruh kalimatnya yang akan ia cetuskan teruntuk pemuda yang telah menjadi kepercayaannya menyembunyikan Sherina selama dua puluh tahu lamanya ketika langkah kaki yang dipacu dengan cepat menuruni tangga utama menginterupsi percakapan mereka.
“Ayah!” Seruan itu tidak lain adalah milik Sherina, gadis berusia matang yang kehilangan kasih sayang.
Suara tangisan yang pilu menggema diseluruh ruangan. Sherina berlari mendekat menuju sang Ayah.
Marquess of Queensberry terkejut dengan kehadiran putrinya. Ia menggeleng pelan dan menahan bahu Sherina yang bergerak untuk memeluknya penuh sarkasme. Matanya tajam, menembus ke dalam hati Sherina dan menciptakan luka baru yang masih begitu segar.
“Ayah…”
Sejemang kemudian, tubuh ringkih gadis tersebut membentur sofa besar, Marquess of Queensberry memalingkan wajah dan menggerutu kesal.
“Apa sebenarnya yang kau coba untuk lakukan?”
Sherina berdiri pelan dengan sedikit bantuan Jourell. Jourell hendak maju selangkah dan menyiapkan kepalan tangannya untuk meninju sang lawan saat lakunya dicegah oleh jemari dingin milik Sherina.
“Aku yang seharusnya bertanya! Kenapa kau membuangku? Kenapa kau tak menyayangiku? Kenapa kau membiarkanku tumbuh sendiri di kastil ini? Apa sebenarnya yang kau coba untuk lakukan?” Serangan kalimat bertubi-tubi dari bibir kering putrinya membuat Marquess of Queensberry tersenyum angkuh. Batinnya bersorak gembira karena telah membuat putrinya menangis.
“Menyingkirkanmu, tentu saja. Kau adalah pembawa sial, gadis manis.”
Sherina menggeleng tak habis pikir. Sudah sepantasnya ia menjadi wanita. Seharusnya pula ia sudah bersanding dengan suaminya dan mendapatkan banyak cinta. Tapi kenyataan tak pernah berbicara kebahagiaan jika itu tentang dirinya.
Iblis-iblis jahat disekitarnya terlalu banyak, ia tak ingin Ayah yang disayanginya menjadi salah satu dari mereka.
“Jika suatu saat aku harus pergi meninggalkanmu, relakanlah aku. Jika aku tak pernah kembali, carilah aku. Kau adalah bagian penting dalam kehidupanku. Bisa bayangkan jika benda penting milikmu hilang dengan sia-sia? Fakta yang mengerikan, bukan? Maka jagalah dirimu baik-baik. Jangan biarkan para iblis mempengaruhi akal sehatmu. Berpikir tak musti melibatkan logika, gunakan pula hatimu. Membuat keputusan dengan hati dan akal yang waras takkan menimbulkan resiko berbahaya. Termasuk keputusan untuk memenjarakanmu dalam kehidupanku selamanya. Kau harus berjanji untuk mencariku—
Ayah.”
Paragraf itu diakhiri dengan sosok Sherina yang berlari menuju ruangannya dan menutup pintu dengan cukup keras.
Marquess of Queensberry tercengang. Kaleidoskop dimana Sherina kecil berulang tahun ke tujuh dan mendekap tubuhnya dengan hangat berenang-renang dalam pikirannya.
Kalimat-kalimat itu—ialah pencetusnya. Bibirnya yang memberikan pesan-pesan itu kepada sang putri yang tak disangkanya akan mengingat setiap detail dengan sangat baik.
Pria itu merasa hawa di dalam kastil ini semakin mencekam, batinnya tertampar berkali-kali.
Mencoba menepis perasaan aneh yang menggelayuti jiwanya, ia kembali memberikan atensi pada Jourell yang masih setia berdiri dengan sorot murka yang tak menyusut sedikitpun dari detik awal ia memunculkan diri di hadapannya.
“Kau terlalu angkuh, pemuda. Hingga kau lupa menundukkan pandanganmu dan berbicara dengan formal serta sopan dengan majikanmu.”
Jourell memainkan lidah dalam mulutnya, mimik meremehkan terpatri jelas dalam raut wajahnya. Tubuhnya bergerak mendekat, mengurung pandangan pada majikannya.
“Licik. Antagonis. Arogan. Pengkhianat. Anda adalah definisi dari iblis, My Lord.”—sembari menekankan kata-kata ‘My Lord’.
Yang dihina hanya terdiam, sekali lagi batinnya diinjak dan ditampar dengan sangat keras, lebih menyakitkan dari kehilangan bergudang-gudang harta.
“Hei, Jou, kau akan—“
“—kuberi hukuman. Saya sudah cukup tahu bahwa pada akhirnya hanya kalimat itu yang akan kau ucapkan, My Lord.”
“Saya tak sedikitpun berkeberatan kalaupun saya dihukum, hanya saja…”
Senyum licik terpampang jelas di paras tegasnya. “Jangan melupakan fakta bahwa saya mengetahui segalanya.”
Marquess of Queensberry menggeram.
Jourell adalah pemuda yang ia kerjakan untuk mencegah putrinya muncul di hadapan khalayak dan mengungkit-ungkit namanya, bukan dengan tujuan untuk menjaga putrinya. Dengan terpaksa, Marquess of Queensberry harus menceritakan semuanya kepada Jourell, termasuk alasan mengapa ia dengan tega membuang putrinya selama bertahun-tahun.
Saat itu, John—belum dikenal sebagai Marquess of Queensberry. Ia adalah lelaki yang lahir tanpa gelar bangsawan. Masa remajanya dihabiskan dengan bercumbu mesra bersama gadis-gadis bangsawan yang baru memulai karir di atas lantai dansa. Dan dengan situasi yang samalah ia bertemu dengan Ibu kandung Sherina.
Mereka hanya mementingkan nafsu yang menggebu-nggebu saat itu. Tak berpikir menggunakan logika dan hati, sehingga menimbulkan buah dari dosa yang telah mereka lakukan—Sherina Marshall. John tak pernah memiliki keberanian untuk menikahi Lady Charlotte. Ia bisa mendapatkan hukuman penggal karena telah menodai putri semata wayang Duke of Devonshire. Mereka berdua menyembunyikan Sherina dalam kastil ini, menghabiskan waktu tujuh tahun untuk memberikan banyak cinta dan kasih sayang kepada putri mereka sebelum hari itu tiba.
Saat dimana ia diharuskan untuk menjadi pemegang gelar Marquess of Queensberry dikarenakan paman tirinya yang tak berkeluarga menderita penyakit mematikan yang menelan jiwa dan raganya dalam waktu dua bulan setelah ia diresmikan mengidap penyakit tersebut.
John saat itu buta oleh hati, ia berpikir menggunakan logika sepenuhnya. Pikiran-pikiran yang mengajaknya berdiskusi dengan kejam dalam lamunannya itu memerintahkan John untuk membunuh Lady Charlotte, dan hal tersebut terjadi.
Tanpa memedulikan masa depan putrinya, John dengan sangat tega meninggalkan putrinya dalam kastil tersebut selama bertahun-tahun, dengan penjagaan yang ketat dengan satu tujuan—agar putrinya itu tak pernah memunculkan diri di muka umum dan membiarkan harga dirinya terjatuh sebagai seorang bangsawan karena telah memiliki anak illegal.
Dan pada saat itulah, ia merasakan perubahan yang intens pada dirinya sendiri. Ada sesuatu yang lain, berhasil menguasai separuh dari jiwanya. Tapi John masih tetap tak acuh.
Ia tak pernah menikah setelah itu—karena keegoisannya dan obsesi berlebihannya terhadap kekuasaan dan harta yang berlimpah.
Marquess of Queensberry harusnya ingat bahwa Jourell mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya. Stigma miliknya.
“Karena saya menangkap gurat wajah anda yang tampak ketakutan dan cemas, maka saya akan memberi anda dua pilihan, dengan senang hati.” Ia memutus kalimatnya sejenak demi mengambil nafas untuk sedetik kemudian melanjutkan dengan nada sarkas yang mengancam, “Jatuhnya harga dirimu, atau menemui putrimu?”
Marquess of Queensberry merasa itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan mendekati ancaman. Memangnya siapa yang mau harga dirinya terinjak-injak?
Tak ada jalan lain.
Sherina mendengar suara pintu yang berderit, serta disusul langkah-langkah kaki. Ia tak beranjak, tak ingin peduli. Bayang-bayang masa kecilnya dan sang Ayah masih menjadi momok mengerikan yang menyiksa batinnya.
“She, Ayahmu datang.”
Gadis itu sudah tak mau peduli. Ranjang adalah sahabat terbaiknya untuk saat ini. Ia menulikan rungunya kala suara sang Ayah menggema dalam ruang batinnya.
“She, Ayah disini.”
Tubuhnya tetap meringkuk dingin. Air matanya tak berhenti mengalir.
Jujur saja ia sangat ingin memaki Ayahnya, ia ingin memukul dan menampar wajah Ayahnya. Ia ingi mengomel dan berteriak, mengusirnya dari kastil. Tetapi disaat yang bersamaan, ia juga ingin memeluk tubuh pria itu. Ia ingin mengecup dahinya penuh kasih sayang, memberikannya tatapan dan kata-kata penuh cinta.
Dirinya sudah tak mampu lagi bersembunyi saat merasakan tangan besar yang ia impi-impikan itu menyentuh lengannya dan mengusap dengan kelembutan. “She, putriku. Aku pikir setelah bertahun-tahun kau akan merindukanku?”
Ledakan tangisan dari Sherina membuat hati keras John dirundung perasaan bersalah yang absolut. Tubuh lemah gadis itu beranjak dari tidurnya dan bangkit untuk memberikan sebuah dekapan hangat yang malah menampar akal sehatnya sekali lagi.
Awalnya ia hanya melakukan ini karena ancaman Jourell. Ia hanya akan berpura-pura. Tapi perasaan yang bercokol dalam hatinya kini mengambil alih seluruh logikanya.
Begitu menyakitkan.
Membayangkan selama ini Sherina hidup dalam kesendirian berhasil membuat John berkaca-kaca.
Gadis itu masih menangis dalam pelukan sang Ayah. Dan hal itu tak berdampak baik bagi perasaan John. Jemarinya tergerak untuk mengusap lembut surai legam Sherina, belah bibirnya tak berhenti menenangkan gadis mungil yang ia sayangi dan jaga sepenuh hati dulu.
Putriku… hanya ingin kasih sayang.
“M-maafkan Ayah, nak…”
Kalimat itu terlontar begitu saja. Bahkan logikanya tak bisa menjelaskan mengapa ia dengan mudahnya meminta maaf kepada Sherina.
“Kau merindukan Ayah, bukan?” –yang hanya dibalas sesegukan pilu oleh putrinya. Tangisannya begitu menyayat hati.
Ingatkan Marquess of Queensberry untuk menampar wajahnya sendiri karena saat ini air mata yang ia tak tahu sejak kapan hadir telah meluncur bebas tanpa bisa ia cegah.
Bayangan putri kecilnya yang menginjak usia dua tahun dan berlarian kesana kemari dengan senyum lebar pada wajahnya sama sekali tak membantu dirinya untuk meredakan tangis. Semua kenangan itu terasa masih segar, seperti baru terjadi kemarin.
Kini bukan hanya Sherina yang menangis, John—sang Ayah juga menjawab tangisnya.
Dengan sangat perlahan, keduanya melepas diri. John mengusap air mata di kedua pipi pucat Sherina sembari tersenyum dan menggeleng kecil. “Jangan menangis, nak. Ayah minta maaf.”
“Jangan meninggalkanku lagi, Ayah…” Tangannya bergenggaman dengan jari jemari dingin nan kaku milik Sherina. Sejemang kemudian tangannya meremat milik Sherina dengan tulus dan mengarahkannya menuju bibir.
“Maafkan Ayah, nak. Ayah berjanji akan sering mengunjungimu mulai sekarang.”
“Kenapa Ayah tak membawaku bersama?”
Ia terdiam. “Dunia luar terlalu berbahaya, She. Percayalah pada Ayah. Alangkah baiknya jika kau tetap disini bersama Jourell. Ia akan menjagamu dengan baik.”
“Aku ingin tinggal bersama Ayah.”
“Ayah tidak bisa, She. Maafkan Ayah.”
“Aku takut kehilanganmu lagi, Ayah.”
“Akulah yang seharusnya mengatakan hal tersebut, putriku.”
Tidak ada perbincangan yang hangat. Tidak ada atmosfer menenangkan yang diliputi kebahagiaan. Semakin dalam percakapan mereka, semakin John mengklarifikasikan bahwa ia adalah pengkhianat dan pembohong yang ulung bagi putrinya.
“Kenapa Ayah tak bisa membawaku? Tidakkah Ayah memiliki sebuah alasan?”
Sepasang obsidian Marquess of Queensberry bertemu tatap dengan milik Jourell. Ia tahu ia akan menyakiti putrinya lagi jika mengatakan hal ini, tetapi iblis sekali lagi telah menguasai akal pikir dan hatinya, sehingga ia yakin seartus persen Sherina sedang sekuat tenaga menahan luka perih tatkala ia berujar dengan penuh kesungguhan, “Harga diri.”
Hati Sherina seperti sedang dicabik-cabik. Tak ada alasan baginya untuk tetap terlihat lemah dengan menangis. Ia menemukan suaranya bergetar saat sekejap kemudian memberanikan diri untuk bertanya, “Apa maksud Ayah?”
Jourell menggeleng pelan dari balik pintu. Tatapannya mengatakan bahwa ia tak boleh menceritakan semuanya kepada Sherina.
Alih-alih menuruti sang pengancam, Marquess of Queensberry malah memunculkan senyum miring yang terlihat sangat licik ketika bertutur, “Kau adalah aib dan dosa terbesarku, Sherina.”[]
author's note:
hai! aku author baru di HAI. sebagai catatan kaki, aku mau bilang, langsung ngomong aja kalau-kalau ceritaku kurang enak dibaca atau ada kesalahan. aku bakalan seneng kok nerimanya! <3
oh, ya. ada yang bingung sama ceritanya? aku jelasin, ya.
jadi gini, Marquess of Queensberry ini alter-ego. berkepribadian ganda. yang satu baik dan penyanyang, namanya John. yang satu licik dan arogan, namanya Marquess of Queensberry. itulah kenapa waktu ayah-anak itu saling pelukan dan melepas kangen, aku make nama John. karena John ini masih sayang sama Sherina. sebaliknya, waktu adegan yang licik, aku make nama Marquess of Queensberry.
di ending, John berubah jadi Marquess of Queensberry lagi karena ngerasa tertantang waktu liat Jourell. biasa, yah. suka kesulut emosi waktu liat musuh yang mengancam.
jadi, kalau ada kritik saran dan pembetulan, komen aja!
sampai jumpa di work selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top