4. Reaksi Emak
Aku melangkah masuk seraya mengedarkan pandanganku ke setiap penjuru rumah mertuaku. Rumah besar bergaya klasik jawa kuno yang semua pintu, jendela dan penyekat ruangannya menggunakan ukiran dari kayu jati.
"Din!"
"Eh, iya." Suara Sultan mengagetkan aku dari lamunanku. Aku pun langsung mendudukan diriku di sofa untuk bergabung bersama Sultan dan Bapak. Sedangkan Siva dan Berlian sudah pergi entah ke mana.
"Sultan?" Tiba-tiba Emak keluar dari arah dalam menuju ruang tamu. Aku dan Sultan pun langsung berdiri untuk mencium punggung tangan Emak.
"Tumben datang ke sini. Emak dengar Dina besok akan ikut pergi Dilah kerja ke luar negri ya?" Emak mulai membuka suara.
"Iya, Mak. Saya datang ke sini untuk meminta doa restu dari Emak dan Bapak sebelum besok saya berangkat ke Jakarta," ucapku untuk langsung mengatakan niat kedatanganku ke rumah ini.
"Besok Emak dan Bapak juga pengen ngantar kamu sampai bandara di Semarang sekalian ngantar Siva dan Berlian ke rumah ibu kamu."
Aku memandang wajah ceria Emak mertuaku itu dengan penuh tanya. Mengapa sikapnya berubah ke padaku? Apa karena aku akan pergi mengadu nasib ke luar negri?
"Emak senang kamu mencoba berusaha memperbaiki keadaan kehidupan rumah tangga kalian. Memang jika kamu hanya mengandalkan nafkah dari Sultan pun pasti tak akan cukup untuk mensejahterakan kehidupan rumah tangga kalian. Emak rasa keputusanmu ini adalah yang terbaik, Din." Emak tersenyum simpul seraya memegang tanganku. Ucapan Emak mertuaku ini sudah menjawab pertanyaan yang ada dalam hatiku. Ternyata memang benar jika Emak sangat senang dan setuju dengan keputusanku untuk mengadu nasib ke luar negri.
"Iya, Mak," sahutku tanpa mengukir senyuman sedikitpun.
"Sana kalian makan dulu. Siva dan Berlian disuapi sekalian," ucap Emak.
"Kebetulan aku juga lapar," ucap Sultan. Aku pun langsung menoleh ke arah suamiku.
"Bukannya kamu sudah makan ya," ucapku. Tentu saja aku harus mengatakan itu. Karena jika tidak, Emak mertuaku itu pasti akan berpikir jika aku tak memberi makan anak kesayangannya itu.
"Iya, tapi aku lapar lagi. Emangnya Emak masak apa?" tanya Sultan.
"Emak masak sayur lodeh sama ikan munjahir. Sana makan," ucap Emak masih dengan nada cerianya.
"Kamu juga, Din. Anak-anak suapi sekalian," sambung Emak.
"Iya, Mak. Saya cari anak-anak dulu," sahutku. Aku pun beranjak dari tempat dudukku bersamaan dengan Sultan yang juga beranjak dari tempat duduknya. Mau tak mau aku terpaksa mengikuti Sultan berjalan menuju ruang makan setelah Emak terus menerus menawariku makan. Jika hal ini tak kulakukan aku takut jika nanti Emak berpikir hal yang buruk tentangku.
Aku dan Sultan berjalan beriringan menuju ruang makan. Sampai di depan meja, Sultan langsung membuka tudung sajinya. Dan nafsu makanku langsung hilang seketika. Bagaimana tidak, sayur lodeh satu panci besar, satu bakul nasi dan ikan munjahir yang sudah tak berbentuk lagi karena sudah dipotong menjadi beberapa bagian.
Sultan tak menghiraukan keterdiamanku. Ia malah langsung menyerbu apa yang ada di atas meja dengan penuh semangat. Ia pun duduk di kursi dan langsung memulai menyantap makannya.
"Lhoh Din, kamu kok masih diam di situ? Kamu nggak ikut makan juga?" Sultan menghentikan sejenak kegiatan makannya untuk melihat ke arahku dan bertanya.
Aku memutar kepalaku ke kiri dan ke kanan sebelum aku menjawab pertanyaan dari Sultan. "Aku nggak selera makan. Lagipula aku nggak tega makan ikan yang sudah tak berbentuk itu." Sahutku seraya melirik ke arah piring yang diatasnya terdapat beberapa potong kecil ikan munjahir.
"Udahlah, tinggal dimakan aja apa susahnya sih?!" Sultan mendengus menatapku.
"Aku nggak makan, nanti aku ambil buat suapin anak-anak saja."
"Kenapa kamu nggak makan sekalian aja?" tanya Sultan di sela makannya.
"Ikan segitu kalau aku makan terus habis gimana?! Mending nggak makan deh. Makan seadanya di rumah aja aku," sahutku. Aku menarik kursi dan lalu mendudukinya. Kepalaku kembali kuedarkan ke kanan dan ke kiri sebelum aku kembali meneruskan kalimatku.
"Lagian aku ini heran sama Emak kamu itu. Jadi orang kok pelit amat, ngirit banget. Uang banyak masa masak ikan aja sampai dipotong-potong segala kayak gini," sambungku setelah kurasa keadaan aman.
Sultan melirikku dengan bibir yang cemberut. "Udah deh, Din. Jangan ngomongin itu lagi," sahut Sultan.
Mungkin saja Sultan malu atau ia sudah jengah kala aku kembali membahas tentang hal ini. Karena memang kenyataannya seperti itu. Emak memiliki banyak uang dan emas yang dipakai di beberapa anggota tubuhnya. Tapi untuk segala urusan, Emak memanglah sangat pelit. Apalagi jika itu menyangkut urusan makanan. Sejauh yang kumengerti, Emak tak akan mau menghamburkan uang untuk makanan. Anak, menantu dan cucunya sudah sangat hafal dengan sikap Emak.
Berbeda dengan Ibu kandungku, meski dulu kami hanya hidup pas-pasan tanpa banyak uang tapi Ibu selalu memberikan hal yang terbaik untuk aku dan ketiga saudaraku. Entah tentang sekolah, pakaian, bahkan makanan. Dari dulu aku selalu kenyang dengan makanan enak. Bukannya membanding-bandingkan, tapi meski hidup pas-pasan Ibu tak pernah memasak ikan kecil yang masih dipotong hingga beberapa bagian seperti Emak ini.
"Ibu ...." Lamunanku buyar kala tubuhku dipeluk oleh dua tangan kecil dari arah samping. Aku langsung menunduk dan senyumku pun langsung merekah lebar.
"Siva ... Berlian ... kalian dari mana saja. Ayo makan, biar ibu suapi ya," ucapku pada kedua anakku ini.
***
Cukup lama kami berada di rumah Emak dan Bapak., hingga pada sore harinya kami baru kembali ke rumah kontrakan kami.
Siva dan Berlian sudah terlelap. Mungkin karena mereka lelah setelah seharian bermain.
Aku mendudukan diriku di tepi ranjang. Entah mengapa mendekati keberangkatanku, hatiku kini malah menjadi tak tenang. Padahal hatiku sudah sangat mantap dan tekatku pun juga sudah bulat. Tapi tetap saja, berat hati ini untuk meninggalkan kedua buah hatiku yang masih sangat kecil. Siva bahkan belum bersekolah, apalagi Berlian. Siva dan Berlian masih membutuhkan kasih sayangku sebagai seorang ibu, tapi mau bagaimana lagi. Aku harus tetap berangkat ke luar negeri untuk mensejahterakan kehidupan keluargaku.
"Din ...."
Sentuhan tangan Sultan di bahu kiriku membuat aku tersentak dari lamunanku. Aku mendongakan kepalaku untuk melihat Sultan yang ternyata juga tengah menatapku.
"Ada apa? Kamu sedih dan merasa ragu lagi?" Sultan duduk di samping kiriku.
Aku mengangguk, "kasihan anak-anak. Kamu tahu sendiri kan, kalau Berlian juga nggak gampang ikut sama orang," lirihku. Aku memegang kepalaku dengan kedua tanganku.
Aku mendengar Sultan menghela nafasnya. "Dulu aku juga nggak setuju kamu berangkat ke luar negri ikut Mbak Dilah. Kamu sendiri yang bersikeras kan?! Sekarang iklaskan saja, pasrahkan saja hidup kita ini pada Allah, Din. Insyaallah semuanya akan baik-baik saja. Aku janji bakal menomer satukan anak-anak. Setiap minggunya aku akan nengok mereka ke rumah Ibu," ucap Sultan meyakinkan aku agar aku bisa lebih tenang.
Aku pun menganggukan kepalaku.
"Ya sudah, lebih baik kita tidur biar besok badan kamu vit," ucap Sultan.
***
.....bersambung...
Semarang, 4 April 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top