3. Kebersamaan terakhir
Setelah mengurus semua dokumen yang diperlukan, kini giliranku mengemasi barang-barang yang nantinya aku bawa ke tempat penampungan yang ada di Jakarta. Kata Mbak Dilah, para calon TKI yang nantinya akan diberangkatkan ke luar negri harus menunggu dulu sampai ada panggilan dari luar negri yang menginginkan pembantu dari Indonesia.
Untuk berangkat ke luar negri menjadi TKI pun tidaklah gratis. Aku dan Sultan terpaksa harus meminjam uang dengan jumlah yang cukup besar pada Mbak Dilah untuk biaya mengurus dokumen dan biaya untuk hidupku sebelum aku mendapatkan pekerjaan.
"Din, udah semua?"
Aku tak perlu menolehkan kepalaku untuk melihat siapakah yang datang mendekatiku, karena tanpa menolehpun aku sudah mengenali suara suamiku.
"Sudah hampir selesai. Pakaian anak-anak juga sudah siap," sahutku. Aku menutup tas ransel besarku lalu berdiri tegap menghadap Sultan.
"Aku udah ngomong sama Mbak Umi kalau kita mau pinjam mobilnya buat ngantar kamu ke Semarang," ucap Sultan.
"Iya, aku kemarin juga sudah telpon ke Ibu untuk mengabarkan kita besok jadi ke Semarang." Aku mendudukan diriku di pinggiran ranjang. Kebimbangan kembali hadir dalam benakku. Aku menatap kosong ke arah lantai kamar sebelum aku terkesiap merasakan tanganku berada dalam genggaman tangan Sultan.
"Aku ingin kita menghabiskan sisa waktu yang ada sebelum kamu berangkat," ucap Sultan. Kecupannya mulai menjalar ke lenganku. Aku tahu dengan apa yang sedang suamiku inginkan saat ini. Kini Sultan sudah mulai memberikanku kecupan ringan di pundakku yang masih tertutup daster.
"Anak-anak di mana?" bisikku dengan nada suara yang juga sudah mulai parau karena gairah juga sudah mulai menyelimutiku.
"Anak-anak ketiduran di depan TV setelah melihat film kartun." Sahut Sultan seraya menatap lekat ke arah manik mataku.
Baiklah, tanpa bisa dicegah lagi aku mengikuti permainan Sultan. Dia mulai meraup bibirku dengan kedua tangan yang sudah mulai bergerak lincah membuka dasterku. Siang ini sudah dipastikan akan menjadi siang panas penuh bergairah untuk aku dan Sultan terakhir kalinya sebelum aku berangkat ke Jakarta besok.
***
Aku mandi terlebih dahulu, meninggalkan Sultan yang masih berbaring terlentang di atas ranjang kami dan hanya berbalut selimut.
Setelah mandi, aku menengok kedua putriku yang masih tetap tertidur di depan TV yang menyala. Untungnya kedua putriku tak terbangun sebelum aku dan Sultan menyelesaikan aktifitas panas kami. Kedua putriku seolah tahu jika ibu dan bapak mereka memerlukan waktu untuk menyetok beberapa timbunan belaian dan kasih sayang sebelum berpisah untuk jangka waktu yang belum bisa ditentukan.
"Mas, sana kamu mandi dulu." Aku berdiri memperhatikan Sultan yang masih tetap berada pada posisinya semula. Berbaring terlentang di atas ranjang.
"Aku masih pingin, Din." Sultan mendudukan dirinya menghadap ke arahku.
"Aku tahu selama ini kamu selalu nggak kuat nahan gairah bercinta kamu, Mas. Terus gimana kalau aku pergi nanti? Kamu pasti langsung cari wanita lagi. Iya kan?!" Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibirku, karena memang itulah hal yang sedang ada dalam pikiranku.
Sultan berdiri menghampiriku tanpa mau repot menutupi ketelanjangannya. "Aku janji bakal setia sama kamu, Din. Percaya deh sama aku. Lagian kita ini kan juga sudah punya dua anak. Mana mungkin aku berpaling dari kamu. Kamu tahu sendirikan kalau aku sampai meninggalkan Siva hanya untuk mengejar cintamu." Ucap Sultan lirih seraya menggenggam kedua tanganku.
Aku pun langsung menghempaskan kedua tangan Sultan sesaat setelah dia berhasil menggenggam tanganku. "Maka dari itu aku khawatir sama kamu, Mas. Dulu aja kamu bisa dengan mudahnya berpaling dari Siva untuk menjalin hubungan denganku. Lalu apa yang akan terjadi jika aku pergi jauh meninggalkanmu selama bertahun-tahun?"
Iya, Siva adalah mantan tunangan Sultan. Namanya memang sama persis dengan nama putriku yang pertama. Itu karena dulu Sultan yang memohon padaku untuk memberikan nama mantan tunangannya itu pada putri pertama kami. Dan aku pun tak bisa menolak. Kubiarkan saja Sultan memberikan nama mantan tunangannya untuk nama putriku yang pertama. Aku tak cemburu, toh hubungan mereka juga sudah usai setelah dulu aku memberitahu Sultan tentang kehamilanku, sehingga Sultan pun harus memilih menikahiku dari pada meneruskan hubungannya dengan perempuan bernama Siva itu.
Sultan kembali mendekatiku, dia pun juga mencoba memeluk tubuhku. Kali ini aku tak menghindari pelukannya. "Aku janji bakalan setia sama kamu, Din. Aku nggak mungkin selingkuh di belakang kamu ataupun bermain api dengan wanita lain. Aku sangat mencintai kamu. Apalagi kamu pergi ninggalin aku juga karena demi mensejahterakan kehidupan kita." Ucapan Sultan terdengar bersunggung-sungguh sampai di telingaku.
"Bener apa yang kamu ucapkan itu?!" tandasku.
"Tentu saja benar, Din. Kamu ragu sama aku?" tanya Sultan.
Aku terdiam sejenak sebelum aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan dari Sultan.
"Ya sudah lebih baik kamu mandi, Mas. Jangan sampai anak-anak lihat kamu yang lagi telanjang gini, Mas." Ucapku seraya mendorong dada Sultan agar menjauh dari tubuhku.
"Iya, aku mandi dulu. Setelah itu kita ke rumah Emak. Kamu harus minta doa restu dari Emak sebelum berangkat ke Jakarta."
"Iya," sahutku. Setelah itu, Sultan berjalan menuju kamar mandi tanpa berniat menutupi tubuhnya dengan kain atau handuk terlebih dahulu.
"Ck, seenakya saja dia jalan nggak pakai pakaian gitu. Mentang-mentang anak-anak masih pada tidur," gumamku saat melihat Sultan berjalan menuju kamar mandi.
Aku baru ingat jika aku belum meminta doa restu dari Emak dan Bapak mertuaku. Biar bagaimanapun sikap mertuaku padaku, aku tetap harus menghormati mereka berdua.
***
Sore hari aku berboncengan dengan Sultan dan anak-anak menuju rumah mertuaku yang jaraknya cukup dekat dengan rumah kontrakanku.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Sultan sudah menghentikan mesin motornya tepat di tengah halaman luas depan rumah mertuaku yang tampak mewah. Mertuaku tergolong orang berada di desa ini, jadi tak heran jika rumah mertuaku besar dan bagus. Bagaimana tidak, mertuaku memiliki barhektar-hektar sawah dan memiliki beberapa kios di pasar yang ia kontrakkan. Salah satu kiosnya dipakai oleh Sultan untuk berdagang. Sedangkan anaknya yang lain rata-rata orang yang berhasil dan sukses.
"Ayo masuk."
Aku menolehkan kepalaku ke arah Sultan. "Iya," sahutku. Akupun berjalan masuk mengikuti Sultan.
"Assalamualaikum," aku dan Sultan sama-sama mengucapkan salam sebelum masuk ke rumah mertuaku.
"Wa'alaikum salam." Terdengar sahutan salam dari arah dalam rumah. Ternyata yang keluar menyambut kami adalah Bapak mertuaku.
Aku tersenyum ramah dan langsung meraih telapak tangan Bapak mertuaku kala aku melihatnya. Begitu juga dengan Sultan dan kedua anakku.
"Siva ... Berlian ... ayo masuk," ucap Bapak pada kedua anakku.
Tanpa harus disuruh untuk yang kedua kali Siva dan Berlian langsung berlari masuk ke rumah.
"Emak di mana, Pak?" tanya Sultan.
"Emak ada di dalam. Ayo masuk dulu," sahut Bapak.
"Iya, Pak."
***
Semarang, 15 Maret 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top