2. Sudah ambil keputusan
Malam pun tiba, meski sudah berbaring di atas ranjang tapi tetap saja kantuk tak juga datang menyerangku. Aku menatap wajah teduh Siva dan Berlian yang tengah terlelap. Kedua buah hatiku adalah duniaku. Kesejahteraan dan masa depan mereka adalah hal yang utama. Sekarang ini aku adalah ibu dari dua orang putri, aku harus tega meninggalkan mereka berdua demi masa depan mereka juga.
"Din."
Aku menoleh ke arah suamiku saat indra pendengaranku menangkap suaranya yang memanggil namaku.
"Kamu belum tidur?" tanya Sultan seraya mengucek matanya. Dia mengedarkan pandangannya ke arah jam yang menempel di dinding.
"Ini sudah jam dua lhoh, Din," ucap Sultan.
"Aku nggak bisa tidur, Mas," lirih aku menjawab.
"Kamu masih mikirin pingin ikut Mbak Dilah kerja ke luar negeri?" tanya Sultan. Ia menatap mataku lekat. Siva dan Berlian yang tidur di tengah-tengah kami membatasi gerak kami hingga kami berdua hanya bisa saling melempar pandangan.
"Apa kamu sudah pikirkan baik-baik?" tanya Sultan.
"Sudah. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin ikut Mbak Dilah kerja di luar negeri, Mas. Anak-anak biar ikut Ibu di Semarang," ucapku dengan penuh keyakinan.
"Baiklah jika itu sudah jadi keputusanmu. Besok akan kuantarkan kamu ke rumah Mbak Dilah."
"Iya," sahutku. Setelah aku dan Sultan menyepakatinya, hatiku sedikit merasa tenang. Kini tinggal mempersiapkan semua berkas dan hal yang lainnya lagi untuk berangkat ke Jakarta dua bulan lagi.
Setelah menyetujui keinginanku menjadi TKI, kini Sultan kembali memejamkan matanya. Rasa kantuk yang semula tak kunjung datang, kini tiba-tiba datang menyerang. Aku menguap lebar, lalu kubaringkan tubuhku di atas ranjang untuk mencari posisi ternyaman.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun untuk memasak karena Sultan harus kuberikan sarapan sebelum berangkat ke pasar. Saat aku sibuk berkutat di dapur seperti ini, setiap paginya Sultan selalu mengajak Siva dan Berlian berkeliling desa dengan menaiki motor.
Terdengar suara mesin motor berhenti di depan rumah. Aku sudah hafal suara deru mesin motor Sultan. Mereka pulang tepat saat aku juga selesai memasak.
"Assalamualaikum." Terdengar Sultan dan suara kecil balitaku mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam," sahutku. Aku keluar dari dapur seraya membawa nasi dan lauk ke ruang tamu untuk sarapan bersama. Rumah kontrakan kami tak memiliki ruang makan. Rumah kontrakan kami adalah rumah tipe dua satu dengan dua kamar tidur berukuran mini, satu kamar mandi, dapur sempit dan ruang tamu yang juga sama sempitnya. Dua tahun setelah Siva lahir, aku dan Sultan memutuskan kontrak rumah murah yang terletak di deretan perumahan subsidi. Meski letaknya tak jauh dari rumah besar mertuaku, tapi tak apalah yang penting tidak tinggal bersama dengan mertuaku.
"Siva makan disuapi Bapak ya, Ibu mau ajak Dek Berlian mandi," ucapku pada putri sulungku.
Siva pun mengangguk, aku langsung mengambil alih Berlian dari gendongan Sultan lalu kubawa putri kecilku yang belum genap berusia dua tahun itu menuju kamar mandi.
Sampai di kamar mandi kuletakan Berlian di dalam ember berisi air hangat yang sebelumnya sudah kupersiapkan. Balitaku ini tampak senang bermain air. Mungkin momen-momen seperti ini yang akan kurindukan saat aku jauh dari putriku.
Setelah selesai memandikan Berlian, aku lekas membawanya ke kamar untuk kupakaikan pakaian. Setelah mandi seperti ini, balitaku ini pasti meminta nenen alias ASI dariku.
"Buk, nanti jadi ke rumah Mbak Dilah?" tanya Sultan yang berdiri di ambang pintu kamar.
"Jadi," sahutku seraya menoleh ke arahnya.
"Kalau gitu aku nggak ke pasar dulu lah. Biar bisa ngantar kamu," ucap Sultan.
"Ya sudah. Sarapan kamu udah selesai?"
"Udah. Aku mau mandi dulu."
"Lhoh Siva di mana?" tanyaku.
"Siva ada di ruang tamu, dia main masak-masakan. Pintunya udah aku kunci kok, jadi Siva nggak bisa keluar," ucap Sultan. Dia lalu melangkah menuju kamar mandi.
***
Sekarang di sinilah aku berdiri, di depan rumah besar milik Mbak Dilah. Dari luar, rumah tampak sepi. Itu karena rumah ini memang hanya dihuni oleh Mbak Dilah seorang. Itupun juga kalau Mbak Dilah sedang berada di rumah, karena anak semata wayangnya tinggal di rumah Emak. Mbak Dilah adalah seorang janda beranak satu. Mbak Dilah bercerai dengan suaminya saat putra semata wayangnya masih berumur delapan tahun, setelah itu ia mencoba peruntungannya menjadi TKI.
"Assalamualaikum ...."
"Mbak Dilah!"
"Wa'alaikum salam," aku mendengar sahutan salam suara Mbak Dilah dari dalam rumah.
Tak lama kemudian pintu pun terbuka dan menampilkan sesosok wanita cantik yang kemudian tersenyum ke padaku.
"Dina ... Sultan?! Ayo masuk!" seru Mbak Dilah antusias menyambut kedatangan kami.
Aku mengangguk dan tersenyum pada kakak iparku itu sebelum dia masuk ke rumahnya terlebih dahulu.
"Ayo duduk. Siva sama Berlian mau mimik apa, Cah Ayu?" tanya Mbak Dilah.
"Mimik sirup," sahut Siva.
Mendengar kakaknya menyebut nama sirup pun, Berlian jadi ikut-ikutan berbicara meski ucapannya belum terlalu jelas.
"Siva sama Berlian sirup anget saja, Mbak. Biar aku aja yang buatkan," ucapku berinisiatif. Sebab aku merasa tak enak hati jika harus merepotkan Mbak Dilah untuk membuatkan kami minuman.
"Ohh ya sudah, ayo ke dalam. Siva sama Berlian bobokan di dalam ya, di depan TV. Nanti budhe nyalakan TVnya." Ucap Mbak Dilah yang lalu menghadap ke arah Siva dan Berlian.
Kedua putriku pun langsung mengangguk mendengar ucapan Mbak Dilah.
"Tan, ajak Siva dan Berlian masuk. Santai-santai di ruang tengah saja," ucap Mbak Dilah pada Sultan.
"Iya, Mbak," sahut Sultan. Ia lalu menuntun kedua putri kami menuju ruang tengah. Aku dan Mbak Dilah pun berjalan beriringan bersamanya, namun kita meneruskan langkah menuju dapur.
Sampai di dapur aku langsung mengambil lima gelas untuk membuatkan minum.
"Mbak Dilah, sampeyan minum apa? Biar aku buatkan sekalian?" tanyaku.
"Aku kopi susu saja, Din. Tapi ditambahi gula ya," sahut Mbak Dilah.
"Iya." Aku pun langsung cekatan membuat minuman untuk kami berlima.
"Gimana, Din? Sudah kamu pikirkan lagi?"
Mbak Dilah, selalu bertanya tentang hal yang sama jika melihat wajahku ini. Apa wajahku ini terlihat sangat susah, hingga dia gencar menawariku kerja jadi TKI di luar negeri.
"Sudah, Mbak."
Mbak Dilah langsung melihat ke arahku dengan mimik wajah antusiasnya begitu dia mendengar jawabanku tadi. "Terus apa keputusanmu?"
"Iya, aku akan ikut Mbak Dilah berangkat kerja ke luar negri," sahutku.
"Alhamdulillah ... ini keputusan yang baik, Din. Kamu nggak usah khawatir sama Siva dan Berlian. Mereka bisa kamu titipkan sama Emak," ucap Mbak Dilah antusias.
"Enggak, Mbak. Aku akan bawa Siva dan Berlian ke rumah Ibuku di Semarang."
"Lhoh kok jauh banget gitu? Kenapa nggak kamu titipkan sama Emak saja?"
"Enggak, Mbak. Emak pasti sudah sangat repot. Masa iya aku tega nitipin Siva dan Berlian sama Emak. Mending aku bawa Siva dan Berlian ke rumah Ibuku di Semarang saja, aku jadi lebih tenang," sahutku.
"Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusanmu," sahut Mbak Dilah.
"Masalah Sultan nggak perlu terlalu kamu pikirin. Di sini ada Emak, ada Bapak, ada Mbak Umi, Mbak Biyah, Rohayah .... Mereka semua pasti bakalan jaga Sultan. Aku tahu gimana adekku, Din. Jadi kamu nggak udah takut kalau Sultan macam-macam di sini," ucap Mbak Dilah.
"Iya, Mbak."
"Ya sudah, ayo kita ke luar. Anak-anak pasti sudah nungguin sirup mereka." Ajak Mbak Dilah seraya mengangkat dua toples berisi camilan. Sedangkan aku membawa nampan berisi lima gelas minuman. Kami berdua berjalan beriringan menuju ruang tengah, sebab masih banyak lagi yang harus dibicarakan.
***
Semarang, 13 Maret 2021
Salam
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top