1. Pencarian Keputusan

"Bagaimana Din? Sudah kamu putuskan usulanku?"
Aku yang tadinya menunduk dan memandang kosong ke arah lantai, tiba-tiba langsung mendongak kala mendengar suara kakak iparku itu.
"Mbak Dilah ... aku nggak dengar ada suara motor berhenti di depan rumah. Aku juga nggak dengar ada yang mengucap salam," gumamku saat melihat wajah kakak iparku itu. Tanpa kupersilakan duduk, dia langsung duduk di sampingku.
"Hhhh ... itu karena kamu sibuk melamun, Din. Orang tadi aku udah ucap salam, bahkan sampai dua kali," sahut Mbak Dilah.
"Mungkin gitu kali ya," ucapku.
"Gimana tawaranku yang kemarin, Din? Udah kamu putuskan?" tanya Mbak Dilah.
"Belum, Mbak. Masih aku pikirkan," sahutku lirih. Sumpah demi apapun, memikirkan usulan dari kakak iparku itu malah membuat aku bingung, bahkan kepalaku rasanya sampai hampir pecah.
"Ya aku sih nggak maksa kamu. Ya kalau kamu emang pingin kerja, ya kerja yang gajinya banyak sekalian. Sama-sama ninggal anak, aku saranin kamu jadi TKI di Taiwan kayak aku. Arab juga gajinya besar, tapi paling kamu nggak krasan kalau kerja di sana, orangnya sadis-sadis. Kalau kamu mau dua bulan lagi ikut aku ke penampungan dulu di Jakarta. Kerja jadi TKI gajinya besar, lumayan buat nutup biaya hidup kamu. Kamu juga nantinya bisa punya tabungan buat masa depan anak-anak kamu, Din."
Sudah kupikirkan berulang kali, namun rasanya sangat berat jika harus meninggalkan suami dan kedua anakku yang masih kecil.
"Nanti biar aku rundingkan dulu sama Mas Sultan," sahutku pada akhirnya.
"Ini rumah kok sepi? Anak-anak pada ke mana?" tanya Mbak Dilah.
"Sava ikut bapaknya ke pasar. Berlian sedang tidur di kamar," sahutku.
"Jualannya Sultan masih jalan kan?!"
"Alhamdulillah masih, Mbak. Mbak Dilah ke sini sama siapa?"
"Aku ke sini sendirian, Din."
"Tunggu di sini, aku buatkan minum dulu, Mbak."
"Eh, nggak usah. Nanti kalau aku haus biar aku ambil sendiri. Kamu nggak usah repot-repot, kayak sama siapa aja. Lagian aku juga dari rumah Emak kok," sahut Mbak Dilah. Ia menarik tanganku agar aku kembali duduk bersamanya.
Aku mengulas senyuman untuk kakak iparku yang baik ini. Dia selalu berbuat baik padaku dan tak ikutan memusuhiku kala Emak mertuaku selalu memusuhiku dan tak menganggapku sebagai menantu. Dulu aku dan Sultan memang menikah tanpa mendapat restu dari Emak mertuaku. Itu juga memang salahku karena nekat menerima cinta dari pria yang sudah memiliki tunangan. Untung saja aku ini tergolong sesosok wanita yang kuat, tahan banting dan sedikit masa bodoh. Aku tak terlalu memperdulikan Emak mertuaku yang selalu ketus saat berbicara padaku. Aku lebih sering tak ambil pusing dengan tingkahnya padaku. Tapi lama-lama aku juga tak betah jika harus hidup satu atap bersama mertua yang tak sayang padaku. Untuk itu, dulu setelah kelahiran putri pertamaku, aku mengajak Sultan pindah rumah.
"Assalamualaikum ...."
"Wa'alaikum salam ...," sahutku dan Mbak Dilah hampir bersamaan.
"Ibu!!" seru putriku seraya berlari menghampiriku yang masih duduk di sofa. Tentu saja aku langsung menangkap putri pertamaku itu. Putri yang membuat alasan utama aku dan Sultan memutuskan untuk menikah.
"Mbak," sapa Sultan pada Mbak Dilah.
"Kok udah pulang, Pak?" tanyaku pada Sultan. Aku harus memanggil Sultan dengan sebutan bapak untuk membiasakan putriku.
"Sudah. Pasar sepi, jadinya aku pulang saja dulu. Sekalian mau makan siang," sahut Sultan. Ia duduk di sofa yang ada di hadapanku.
"Ibu, aku mau lihat Adek," ucap Siva.
"Iya, boleh. Tapi cuma lihat lhoh. Jangan dibangunin adeknya. Kasihan." Dina memberikan peringatan pada Siva, sebelum putri pertamanya itu berlari ke arah kamar.
"Berarti ini kiosnya udah kamu tutup?" tanyaku.
"Belum. Aku titipkan sama Rozak, nanti setelah makan aku kembali lagi ke sana," sahut Sultan.
"Daripada pulang ke sini, apa nggak lebih dekat pulang ke rumah Emak saja, Tan. Emak juga masak tadi," ucap Mbak Dilah.
"Hhhhh ... enggak, Mbak. Aku bawa Sava, kasihan dia kalau aku bawa ke rumah Emak," sahut Sultan. Wajah siamiku itu terlihat sendu. Mungkin dia teringat tentang bagaimana perlakuan Emak pada putri kami.
"Halaahh ... sudah, jangan dimasukan ke hati sikap Emak pada Siva," ucap Mbak Dilah.
"Gimana nggak dimasukan ke hati, Mbak. Siva masih kecil, tapi Emak dengan teganya berpilih kasih," imbuhku. Aku juga merasa jengkel ketika Emak mertuaku itu lebih menyayangi cucu-cucunya yang lain.
"Hhh ... kalian yang sabar, Emak itu memang masih sangat kolot orangnya. Tapi aku yakin kalau suatu saat nanti Emak bisa menerima Siva," ucap Mbak Dilah.
Iya, Emak mertuaku memang masih sangat kolot. Entah bagaimana pola pikirnya, aku juga tak habis pikir. Hanya gara-gara Siva ada di dalam kandunganku sebelum pernikahanku dan Sultan terjadi, Emak enggan menggendong Siva, bahkan sampai saat ini. Waktu itu tak sengaja aku pernah mendengar percakapan Emak dan Bapak mertuaku, Emak bilang jika dia merasa enggan menggendong Siva karena Siva adalah anak hasil dari dosa.
Astagfirullah halazim ... memang sungguh terlalu Emak mertuaku itu. Aku dan Sultan yang berbuat dosa, malah anak kami yang kena imbasnya.
"Ya sudah, aku pulang dulu," pamit Mbak Dilah.
"Lhoh kok buru-buru? Aku aja baru sampai rumah," ucap Sultan.
"Masih banyak yang harus aku urus untuk keberangkatanku ke Taiwan besok," sahut Mbak Dilah.
"Din, pikirkan baik-baik usulanku ya. Bicarakan baik-baik pada Sultan." Mbak Dilah menepuk pundakku.
"I-iya, Mbak."
"Assalamualaikum." Mbak Dilah beranjak dari tempat duduknya lalu keluar dari rumahku. Tak lama kemudian terdengar suara mesin motor yang dinyalakan dan suaranya berangsur menjauh hingga tak terdengar lagi.
"Mbak Dilah ngomongin tentang apa sih, Din?" tanya Sultan setelah Mbak Dilah benar-benar sudah pergi.
"Ngomongin yang waktu itu, tawaran agar aku ikut Mbak Dilah kerja jadi TKI di Taiwan. Katanya aku harus cepat ambil keputusan, soalnya dua bulan lagi Mbak Dilah mau berangkat ke penampungan di Jakarta." Aku menatap raut wajah Sultan yang terlihat datar saja. Suamiku itu terdiam, mungkin dia juga sedang memikirkan tawaran dari Mbak Dilah. Beberapa saat kemudian dia menghela nafasnya.
"Terus gimana keputusan kamu? Kamu pengen ikut kerja di luar negeri sana?" tanya Sultan.
"Setelah kupikir-pikir omongan Mbak Dilah ada benarnya juga. Kita nggak bisa terus-terusan hidup pas-pasan seperti ini. Kita sudah punya dua anak, kita harus memikirkan masa depan mereka juga kan, Mas," sahutku.
"Berarti intinya kamu pengen ikut kerja di luar negeri jadi TKI?" Sultan menatap serius ke arah wajahku.
"Iya. Apa kamu ngijinin?"
"Kalau kamu benar pergi, terus gimana sama aku dan anak-anak?" tanya Sultan.
"Anak-anak biar ikut Ibu di Semarang." Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dari bibirku. Benar adanya, jika kita sedang dalam masa sulit, pastilah hanya seorang ibu sebagai tempat untuk pelarian.
"Anak-anak di Semarang?! Nggak! Aku nggak setuju!" seru Sultan. Kedua bola matanya bahkan hampir saja keluar, sangking tak terimanya dia berpikir akan hidup terpisah dari kedua anaknya. Sejauh aku hidup bersamanya, dia adalah tipe pria penyayang anak. Bahkan disaat tersulit kami berumah tangga, pernah sesekali kami tak punya cukup uang untuk membeli lauk enak untuk makan beberapa hari. Alhasil uang kami yang tak seberapa itupun kami belikan satu ayam untuk makan Siva sedangkan aku dan Sultan makan dengan gorengan. Apapun yang terjadi, suamiku itu selalu memberikan yang terbaik untuk anak kami. Sedangkan untuk Berlian, aku tak harus ambil pusing karena dia masih menyusu kepadaku.
"Kalau nggak ikut Ibukku, lalu Siva dan Berlian harus ikut siapa, Mas? Aku nggak yakin kalau kamu bisa merawat Siva dan Berlian seorang diri. Apalagi kamu juga harus jualan ke pasar. Kalau dititipkan ke Emak juga nggak mungkin lagi. Kamu tahu sendiri sikap Emak sama Siva kayak gimana," ucapku memberi pengertian pada Sultan agar dia menyetujui usulanku.
"Tapi rumah Ibu itu jauh, Din," ucap Sultan lagi.
"Kamu kan bisa seminggu sekali nengokin anak-anak ke rumah Ibu, Mas. Lagipula Semarang itu kan dekat, cuma satu setengah jam perjalanan naik motor," ucapku terus, agar suamiku ini menerima usulanku. Karena ini yang terbaik. Siva dan Berlian lebih baik diasuh oleh ibu kandungku.
"Sudahlah, aku mau makan dulu. Nanti kita pikirkan lagi gimana bagusnya," ucap Sultan.
Aku langsung berjalan menuju dapur untuk mengambilkan Sultan makan siang. Makan siang seadanya karena hari ini aku hanya memasak nasi, tumis kangkung dan mendoan.
***

Semarang, 10 Maret 2021

Salam
Silvia Dhaka

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top