⏳ 1 2 P M : 0 3 ⏳
CHAPTER 1
Kita memang masih bernaung di bawah langit biru yang sama.
Namun dimensi kita sudah sangat jauh berbeda.
Untaian takdir kita rupanya telah benar-benar terputus.
Dan kini aku hanya bisa terpaku pada dentuman kenangan kita.
Kenangan tentang semua kebersamaan kita yang membuat aku semakin rindu.
Dan kenangan akan semua pertengkaran kita yang membuat aku hampir gila.
Jemari lentikmu yang dulu ku genggam,
Kini lenyap terenggut semesta.
Kerinduan yang tak berbalas ini,
Harus aku apakan?
Semesta,
Bisakah kau membawanya kembali?
<12PM>
Layaknya seorang pengembara miskin yang tak tahu keman akan pulang dan tak memiliki apapun, Ten merasa lebih dari seorang pengembara miskin. Ada sebagian dari hatinya yang terenggut lalu sebagian lagi mengalami mati rasa. Laki-laki yang selalu mempertahankan diri agar tidak meneteskan air mata apalagi di tempat umum tidak berlaku bagi Ten. Orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya tidak pemuda itu hiraukan. Sebagian orang-orang itu menatapnya iba, dan ada juga yang menatapnya aneh. Andai mereka tahu dan dapat merasakan apa yang Ten alami saat ini. kehilangan.
Benar!
Ten tengah berhadapan langsung dengan yang nama kehilangan. Kehilangan untuk selama-selamanya. Tak akan lagi bisa ia lihat senyum manis dan tawa lebar itu. Ten bahkan sudah tidak bisa lagi menerima pukulan buku rumus kimia di punggungnya. Ten pernah merasakan hancur ketika papanya meninggalkan mereka tanpa kabar. Dan Ten berhasil bangkit serta keluar dari kubangan kenakalan remaja. Semua itu karena ia bertemu dengan Myu, gadis berotak encer yang mau mengajari manusia rusak sepertinya agar kembali menempuh jalan yang benar. Tetapi sekarang, gadis itu pergi meninggalkan Ten untuk selamanya.
Stera Myuzlin meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat di Funung Salak, Jawa Barat, sepekan yang lalu. Sebuah kejadian yang menggemparkan semua orang. “Gue harus gimana, Myu? Kenapa elo pergi secepat ini?” tanya Ten lirih pada langit biru. Lehernya menengadah ke atas sana, memperhatikan awan-awan yang terseret angin, bergerak dengan lembut.
Tidak ada makam sebab kecelakaan itu sangat mengerikan. Meski pihak keluarga mengadakan pemakaman; dengan memakamkan benda-benda milik Myu, Ten tidak bisa menganggap gundukan tanah itu rumah terakhir Myu. Sebab gunung berapi itulah yang menjadi pemakaman Myu beserta korban lainnya. Andai Ten bisa menghancurkan gunung itu, maka sudah ia hancurkan untuk meluapkan amarahnya karena telah merenggut Myu.
“Myu …,” lirih Ten sebelum kembali menunduk dan menumpukan kepalanya di atas lipatan tangan. Di depan sekolah tempat Myu biasa menunggunya, Ten duduk dengan melipat kaki di depan dada. Sekolah, menjadi tempat pemberhentian terakhirnya setelah lelah mengelilingi kota untuk mengobati rasa kehilangannya. Sekolah, tempat yang banyak menyimpan kenangan mereka.
Suara benda-benda logam yang jatuhkan memaksa Ten menegakkan kepalanya, dan ia dibuat terheran dengan benda-benda rongsokan—ralat, benda-benda bermacam jenisnya, yang berada tepat di ujung kakinya. Ketika ia menoleh ke samping kiri, ada wanita paruh baya dengan tampilan kumal mengenakan baju yang sudah usang serta topi bundar yang sudah bolong di beberapa bagian. Ten menatap wanita itu heran. Mengapa ibu-ibu ini duduk di sampingnya?
“Hari ini panas banget ya, Nak? Sampai kamu nangis begitu?” pertanyaan yang ibu itu lontarkan berhasil membuat Ten melayangkan tatapan anehnya. Serius? Ibu ini mikir gitu?
“Ndak mau beli dagangan ibu, Nak? Ibu ada jual panci, tapisan, lampu petromaks, dan banyak lagi ... kamu lihat saja yang mana yang membuat kamu tertarik,” tawar ibu itu.
Ten menatap horor barang-barang dagangan ibu itu. Ya kali gue beli panci, mau buat apa? Panci mama di rumah banyak, enggak habis-habis. Ini lagi petromaks, mau gue apain coba itu barang, listrik masih lancar jaya. Lalu pandangan Ten berhenti pada sebuah benda yang ia rasa tidak pada tempatnya. Sebuah jam pasir antik dengan pasir keemasan yang indah. Jam pasir itu terlihat mencolok di antara benda-benda lainnya terutama panci dan tapisan itu.
Ibu tersebut yang melihat ke mana arah pandangan Ten tersenyum misterius. “Itu adalah jam pasir peninggalan kakek saya. Sebenarnya itu bisa menjadi barang antik, tapi saya tidak mengerti bagaimana cara jualnya. Kakek saya bilang, ini adalah sebuah obat dari penyesalan seseorang. Sebuah obat atas kerinduan yang mendalam. Sebuah obat untuk rindu yang tak berwujud.” Ibu menerangkan filosofi jam pasir yang selama ini selalu ia bawa kemana-mana namun tidak pernah mendapatkan rasa perhatian dari orang-orang. Baru pemuda inilah yang memiliki mata jeli hingga menemukan benda berharga itu.
Bila dalam keadaan normal Ten akan menganggap omongan ibu itu sebuah lelucon. Maka sekarang Ten benar-benar berharap bisa seperti itu. “Apa benar, jam ini dapat mengobati rindu yang tak berwujud?”
<12PM>
Baru sadar kalau mamak ketinggalan jauh updatenya.
Ini udh mamak edit beberapa kali, semoga gak ada typo lagi.
Rabu, 20-05-'20
Cangtip banget tanggalnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top