September 21th
Jum'at malam Cho Kyuhyun menelfonku. Sedikit aneh karena Cho Kyuhyun tak pernah menelfon lewat tengah malam. Jadi, dengan mata sedikit menutup, dan berharap tidak jatuh tertidur lagi mengingat suara lelaki itu sudah seperti lullaby, aku mengangkatnya.
Beginilah percakapan kami jam dua pagi.
Cho Kyuhyun : Kau sudah tidur?
Allana : Ya.
Cho Kyuhyun : Aku tidak bisa tidur.
Allana : Minum susu hangat, itu bisa membantu.
Cho Kyuhyun : Aku memikirkan sesuatu.
Allana: Jangan dipikirkan.
Saat itu, setelah lebih dari dua menit tidak ada suara di seberang sambungan, aku pikir Cho Kyuhyun sudah berhasil tidur. Tapi saat aku berniat ingin mematikan sambungan telepon, suara Cho Kyuhyun muncul lagi. Dengan nada lirih sampai harus diulang dua kali baru aku bisa menangkap kalimat pertanyaannya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku?"
Allana yang mengantuk, dan sangat-sangat ingin tidur tidak mau repot-repot berpikir maksud ucapan Cho Kyuhyun, jadi dia hanya bertanya balik, "aku memang tidak pernah memberitahumu apapun."
Aku tak berniat menyulut api, tapi ketika separuh nyawa masih berada di alam mimpi, kau tak percaya pada mulutmu sendiri sampai kau merasakan konsekuensi dari ucapanmu yang tanpa sadar.
"Sial, Allana! Apa sangat sulit sedikit terbuka padaku."
Cho Kyuhyun yang napasnya memburu terdengar sedang memedam emosi, tapi aku yang punya toleransi nol besar dengan umpatan, serasa kena angin untuk membahas semua masalah.
"Lalu apa? kau mau mencoba peduli padaku?"
"Aku peduli padamu!"
"Bullshit!"
Bisa dihitung jari siapa saja yang benar-benar peduli padaku, Dan Cho Kyuhyun, jauh dari daftar itu.
"Oke, mungkin kita butuh istirahat. Selamat malam, Allana."
Begitu saja, Cho Kyuhyun membuatku tidak bisa tidur selama dua jam setelah memutus sepihak sambungan telepon. Hubungan yang mulai baik kembali mundur tiga langkah, dan aku tidak tahu siapa yang harus disalahkan kali ini. Dan di sini aku sekarang, duduk menunggu giliran di dressing room menatap ke langit-langit bertanya-tanya apa aku bisa bahagia. Aku tidak yakin.
"Kau gugup?"
Aku ingin tertawa kalau saja tidak melihat tangan Lee Hong yang gemetar.
"Jangan tertawa, kau tidak tahu aku sedang menahan kencing."
Well, Lee Hong membuatku lupa dengan rasa gugup di dasar perutku sendiri.
"Come on, Lee Hong. It's our time."
Lee Hong menarik napas panjang. "Aku tidak pernah segugup ini seumur hidupku."
Aku tidak lebih baik darinya.
Ini keputusanku mengajak Lee Hong naik panggung dan berduet denganku, bukan sebagai lead vocal selayak posisi di grup musiknya, Lee Hong akan bermain gitar, sedang aku memilih piano. Dad protes−tentu saja. Dia ingin aku main cello, dan solo. Dan sebagai putrinya yang tersisa, aku tak mungkin mengecewakannya. Tapi biarkan aku, dan jari-jariku meringkuk menekan tuls-tuls yang lembut itu.
Lee Hong mendesah-lagi. Mungkin caranya untuk menghilangkan rasa tegangnya. Bermain untuk orang-orang yang asli dan penuh gairah mencintai musik dan menikmati budaya mereka adalah adalah satu hal, tapi berada di atas panggung besar dan mewah itu hal lain. Dengan satu tanganku berada di dadanya, suhu tubuhnya yang menjalar ke telapak tanganku, aku mencoba meyakinkannya. "You're going to do great. Ingat, heart and soul, dan kau tidak akan salah."
Dalam perjalanan kami melewati lorong-lorong, keheningan terasa mencekik. Lee Hong terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi diurungkan.
Aku meraih lengannya, sedikit meremasnya. "This is going to be good. Kita sudah berlatih dua minggu terakhir. Kau, dan musikmu." Menatap tepat di manik matanya, aku membisikkan apa yang ingin dia dengar. "Ini mimpimu, ingat? Kau bekerja keras untuk hari ini. Aku yakin kau tidak akan mengacaukannya."
Dadanya membusung, napasnya sudah kembali normal. Aku melepas lengannya. Lee Hong menatapku dengan penuh percaya diri. "Musik kita." koreksinya. "Kita bermain untuk diri kita."
"Okay."
Lee Hong tidak mengecewakan. Dia luar biasa. Melihatnya, duduk berjarak satu meter di sebelahku, memainkan gitarnya tanpa sheet music, dengan hati, Lee Hong masuk dalam daftar pemain musik hebat yang pernah ku temui.
https://youtu.be/RHYxlq6I8nA
Semua cinta yang tak bisa dia ungkapkan, kebanggaan, terasa di udara ketika dia meletakkan jari-jarinya diantara kabel baja. Getaran sentimental terasa begitu dalam, meledak di dada semua orang yang ada di sini –pure and innocent melancholic brilliance.
Gemuruh tepuk tangan dari para penonton menyambut nada terakhir dari permainan kami. Dengan menjaga ekspresi wajahnya, Lee Hong mencoba untuk tetap tersenyum sewajarnya, meski aku tahu dia sebenarnya ingin tersenyum lebar, mungkin sedikit tawa terbahak. Dia menoleh padaku, mengangguk dan menunggu suara tepuk tangan mereda. "Thank you." Aku tersenyum, ingat kenapa aku menyukainya−Lee Hong membuatku merasa kalau dia bangga memilikiku sebagai temannya.
Aku bangkit dari dudukku, berjalan ke tengah, melempar senyum tipis ke arah Lee Hong sebelum lelaki itu ikut berdiri dan berjalan meninggalkan panggung. Dari tengah panggung, dengan jelas aku bisa melihat Dad, duduk tegang dengan setelan jas hitamnya bersebelahan dengan professor Park. tidak ada senyum di wajahnya, malah rahangnya terlihat mengeras. Berbeda dengan Dad, beberapa audience menatap ke arahku tidak sabar, seolah ingin segera mendengar seintim apa aku dengan celloku. Kekasih lamaku.
Aku menyukai Cello, tidak pernah tidak. Tumbuh dewasa, aku menunjukkan bakat pada beberapa alat musik. Ketika waktunya untuk menjadi spesialis, aku memilih Cello, karena aku menyukai dualitas yang tragis dari suaranya, instrumen bass yang gelap dan penuh kesedihan mendamba untuk tampil di level tenor yang manis dan transendental.
https://youtu.be/b5nQBvHybjM
Sangat mudah melakukan kesalahan. Meski hanya satu sentimeter dari jari, tapi bisa membuat nada berubah atau menciptakan suara melengking tidak enak didengar. Mom pernah bilang, manusia atau alat musik, sama-sama harus tetap di jalurnya.
Aku tersenyum ketika melihat Dad terpaku, terlihat tidak mempedulikan sekelilingnya. Aku tahu, aku tidak di malam terbaikku, dan aku berpikir sejenak bahwa aku bisa menjadi lebih baik daripada ini. Dan kali ini aku tidak ingin egois. Musikku ini untuk Dad. Dia membutuhkannya, lebih dari siapa pun di ruangan ini. Biarkan dia mengenang cinta-cintanya yang telah pergi.
Tapi Mom, aku merindukanmu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top