September 1st


"Ada Kyuhyun," kata Dad, mengagetkanku dengan kepalanya yang mengintip dari celah pintu kamar.

"Okay," sahutku.

Jam tujuh pagi di hari Jum'at, dan aku masih berbaring di atas ranjang setengah sadar. Aku mengurungkan niat bertanya pada Dad kenapa Cho Kyuhyun kemari kalau tidak teringat lelaki itu mengirimiku pesan semalam, menuliskan niatnya mengantarku ke Kyung Hee hari ini, yang tidak sempat kubalas karena terlalu mengantuk.

Merampungkan aktivitas pagiku tidak sebentar seperti apa yang mungkin dipikirkan Cho Kyuhyun. Aku menghabiskan waktu nyaris satu setengah jam untuk bersiap. Cho Kyuhyun tidak menyadari kedatanganku ketika aku menuruni tangga dan berjalan ke arahnya, dengan caranya menatap foto keluarga yang tergantung di dinding, dia tidak terlihat mempedulikan sekelilingnya.

Untuk beberapa saat aku berpikir membiarkannya menikmati apa yang dilihatnya, mungkin menatap wajahku yang masih polos, tanpa makeup, dengan rambut dikuncir dua membuatnya merasa senang.

Kecuali kalau aku ingin telat di kelas pertamaku pagi ini, yang sebenarnya mulai jam sepuluh siang, dan melewatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan kami yang beberapa minggu ke belakang tidak baik.

Aku menghirup napas dalam dan membuangnya pelan sebelum menyentuh pundaknya dan memasang senyum sumringah di wajahku. "Hey."

"Hey," balasnya, tersadar dari lamunannya, memberiku senyum kecil sampai kalau aku tidak benar-benar memperhatikan bibirnya aku tidak akan melihatnya, lalu menatap jarum jam yang melingkar di pergelangan tanggannya. "Berangkat sekarang?" tanyanya.

Aku mengangguk.

Tidak ada yang bicara. Musik yang mengalun dari speaker mobil Cho Kyuhyun menenggelamkan suara yang ada di kepalaku, membuatku tidak nyaman untuk bicara, atau memulai obrolan, seolah Cho Kyuhyun menghidupkan radio mobilnya memang berniat membuatku tidak buka mulut.

Dan karena kebisuan ini, membuatku berpikir seberapa parah aku membuatnya marah. Karena yang kuingat, aku hanya sedikit mabuk dan tak menjawab pertanyaannya, apa aku mencintainya.

Aku menelan ludah, tidak akan ada yang bicara kalau aku tidak memulainya, jadi kukatakan, "aku tidak membalas pesanmu semalam karena terlalu capek." Cho Kyuhyun menatapku sekilas sebelum memfokuskan kembali pada jalan raya. "Sorry, tadi membuatmu menunggu lama. Aku kira kau tidak datang mengingat aku mengabaikan pesanmu."

Cho Kyuhyun terlihat ingin membalas ucapanku, untuk beberapa detik mulutnya terbuka tapi tidak ada kalimat yang keluar dari sana.

"It's okay," ucapnya, akhirnya, menatap ke arahku lagi dengan senyum yang lebih ikhlas dan lebar dari sebelumnya. "Tidak keberatan kalau kita sarapan dulu?"

Aku mengangguk. Tidak ingin membuatnya kecewa hari ini.

Cho Kyuhyun membawa mobilnya berhenti di salah satu restauran di Myeongdong, padahal aku tidak keberatan kalau dia hanya membawaku ke kedai kopi. Dia menyuruhku masuk ke dalam lebih dulu, membuatku mengerutkan kening sepanjang kakiku berjalan hingga melewati pintu restauran dan duduk di sebuah kursi di sebelah jendela, menghadap ke jalan raya, sampai Cho Kyuhyun menyusul lima kemudian dengan baseball cap di kepalanya.

"Kita duduk di belakang sana saja, yang sedikit sepi."

"Kenapa?" tanyaku, tidak mengerti. Kemudian otakku yang genius teringat kalau Cho Kyuhyun itu Superstar, yang tak boleh kalau kisah cintanya tercium media.

Cho Kyuhyun memesan gomtang dengan secangkir green tea, menikmati pilihannya secara perlahan seolah dia punya seluruh waktu di dunia ini. Sementara aku sedikit kurang yakin dengan menu yang dipilih Cho Kyuhyun, tapi pelayan di sini bilang kalau itu adalah menu favorite di kefe ini. Aku lebih memilih satu slice pizza!

"Kau tidak suka makanannya?"

"Kau seharusnya memilih kedai pizza," jawabku, menatap keluar jendela yang rasanya bermil-mil jauhnya.

Cho Kyuhyuh tidak terlihat bersalah mendengar ucapanku, atau merasa kasian karena telah membuatku sarapan dengan tidak layak, atau menutupi kalau dirinya tak melepaskan pandangan nya ke arahku, bahkan ketika menyendok daging dari mangkuknya dan memakannya, matanya tetap menatap intens ke arahku. Dan sebanyak aku mengatakan aku menyukai perhatiannya, aku merasa tidak nyaman.

"Kita harus bicara−"

"Kita seperti sedang berkencan−"

Aku mendengarnya, kalimat yang Cho Kyuhyun ucapkan, yang takdir membuatnya terdengar bersamaan dengan kalimat yang kuucapkan.

"Apa?" tanyaku, memintanya mengulang kalimatnya.

Cho Kyuhyun tidak terlihat kesal saat dia mengulang apa yang diucapkannya. "Ini pertama kalinya kita makan diluar bersama, seperti kencan yang sesungguhnya."

Aku menatapnya, berkedip, lalu menatapnya lagi. Dan Cho Kyuhyun yang hampir menghabiskan sarapannya, memutuskan untuk bermain dengan tangannya. Mengulurkan tangan kanannya ke atas meja, dia meraih tanganku, menggenggamnya, mengusap jari-jemariku menggunakan ibu jarinya, membuat tak bisa berbuat apa-apa lagi selain menatap senyum yang perlahan tercipta di wajahnya.

"Ayo mulai dari awal lagi," katanya.

Aku menggigit bibir bawahku, menjatuhkan pandanganku pada tangannya yang menggenggam tanganku; sebuah simbol sebuah dominasi atas diriku.

"Aku mau kau memberiku kesempatan lagi. Aku tahu sikapku padamu kemarin kelewat buruk. Dan itu karena kau datang ke rumahku benar-benar membuatku kaget. Aku minta maaf."

"Apa yang membuatmu kaget?" tanyaku, mengunci tatapan matanya dengan mataku.

"Itu tidak seperti dirimu."

Well, ini tidak seperti yang aku bayangkan. Di kepalaku, Cho Kyuhyun berkata dia tidak ingin melihat wajahku lagi, kalau acara sarapan bersama ini adalah caranya sebelum mengucapkan selamat tinggal, bukannya malah sesi 'akhirnya-aku-mengenalmu-lebih-dekat'.

"Aku ingin kau tau apa yang kurasakan terhadapmu, Allana." Cho Kyuhyun menarik nafas, terlihat berusaha mengumpulkan sepenggal demi sepenggal kata untuk dirangkai menjadi satu kalimat utuh. "Ini nyata dan lebih dari apa yang baru saja kukatakan, aku ingin membuktikannya padamu."

Wajahku memanas. Idiot di depanku membuatku berharap bumi menelanku hidup-hidup.

"Aku menyukaimu. Mungkin aku mencintaimu. Tapi aku tidak akan memaksamu untuk mengatakan hal yang sama terhadapku."

Aku ingin sekali bertanya padanya; "apa kau tahu kalau setelah aku mabuk malam itu aku di rawat di rumah sakit lebih dari dua minggu? Apa kau sadar kau satu-satunya yang tidak menjenggukku?" tapi Cho Kyuhyun mendahuluiku dengan mengatakan, "Kau gadis tercantik yang pernah ku kenal." Lalu membawa tanganku dan menciumnya.

Aku yang tak bisa berkata-kata akhirnya berkata, "Kupikir kau menyesal bertemu denganku."

"Kenapa aku harus menyesal?"

Aku menggedikkan bahu. "Well, aku bukan gadis seperti yang kau harapkan?"

Cho Kyuhyun menyerutup green tea-nya, seakan-akan untuk mengisi bakar kecepatan berpikirnya. "Kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan."

Itu perkataan Cho Kyuhyun yang paling berkesan pagi itu. Dia tidak memberiku kesempatan untuk mengatakan apa yang ingin kukatakan padanya, seolah sikap egoisku sudah menular padanya. Dan begitu menurunkanku di Kyung Hee, dia bertanya kapan kelasku berakhir, aku bilang aku akan pulang telat, lalu dia menawarkan dirinya menjemputku kapanpun aku mau pulang ke rumah. Aku tidak kalau Cho Kyuhyun ternyata posesif sebelum hari ini.

Jam tujuh lewat dua puluh menit malam, aku masih berada di Kyung Hee, duduk bersebelahan dengan Lee Hong di bangku paling jauh dari panggung seni Kyung Hee, tidak mengindahkan beberapa orang yang menatap penasaran ke arah kami. Penasaran apa yang kami lakukan sampai tidak membantu mereka menyelesaikan dekorasi panggung.

"Jadi kau benar-benar menolak permintaan besar Professor Seung-Lim, huh?" tanya Lee Hong.

Aku mengedikkan bahu, "kenapa bertanya?"

"Entahlah, hanya merasa sayang kalau kau melewatkan kesempatan sebagus itu. Kau tidak pernah tahu siapa yang jadi tamu kehormatan tahun ini."

Bagi Lee Hong, tamu kehormatan adalah masa depannya, orang yang akan membawa mimpi-mimpinya menjadi kenyataan. Lee Hong tidak terlihat sedih ketika aku menatapnya, Tapi dia menatap ke arah panggung seolah mendengar alat musik yang berada di depan sana memanggil-manggil namanya.

"Kau tahu, sekarang kau terlihat sangat putus asa."

Lee Hong menoleh ke arahku, mengerutkan kening. Aku menarik sebelah alis ke atas, menantangnya untuk mengatakan apa keinginannya.

Lelaki di sebelahku menghela napas, menghentakkan punggungnya di sandaran kursi. Lee Hong menginginkan dirinya berada di atas panggung, membuktikan kalau dirinya punya kemampuan itu, bukan malah jadi panitia yang berada di belakang panggung.

Kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan.

Itu benar.

Yang dikatakan Cho Kyuhyun benar. Kita tidak selalu mendapat apa yang kita inginkan, tapi bukan berarti kita tidak berusaha mendapatkannya lebih dulu, kan?

Dan aku tahu apa yang bisa membuat Lee Hong kembali menjadi Lee Hong yang menyebalkan –setidaknya untukku.

Jadi ketika aku sampai di rumah, meninggalkan Cho Kyuhyun di belakang dan membuatnya menutup pintu, aku mengetuk ruang kerja Dad.

"Aku akan melakukannya," kataku.

Dad memberiku raut wajah tidak mengerti.

Aku menghela napas, merasa yakin dengan keputusanku. "Aku akan menerima tawaran Professor Seung-Lim."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top