September 11th


Dad memutuskan menginap di Busan, dan kembali ke Seoul pada pagi berikutnya. Aku tidak keberatan, tapi Cho Kyuhyun jadi uring-uringan. Meneleponku hampir tiap waktu. Menanyakan kapan aku pulang, tapi sekalipun tidak bilang kalau dia merindukanku.

Terkadang, Cho Kyuhyun gampang ditebak, tapi seringnya tidak. Seperti hari ini: pertama, aku pikir dia akan langsung datang ke rumah begitu aku memberitahunya aku sudah sampai Seoul, tapi laki-laki itu datang pukul lima sore, itupun karena menjemputku untuk rencana makan malam kami yang tertunda beberapa hari yang lalu.

Kedua, dia memilih tempat makan paling sepi, yang kupikir karena Cho Kyuhyun menyewa tempat itu satu jam penuh untuk acara makan malam kami, padahal tempat itu memang sepi, bisa jadi karena lokasinya yang mungkin tidak terlihat satelit, atau rasa makanannya yang tidak enak.

Ketiga, dia tidak mengenakan atribut Superstar nya.

Ke-empat, ponselnya yang bergetar di atas meja yang langsung mencuri semua perhatiannya dari semangkuk bibimbab dan aku.

Kelima; dia terlihat tidak sabaran mengajakku segera pergi dari tempat itu. Yang sangat kusetujui dengan mendorong ke belakang kursi kayu yang kududuki dengan terlalu antusias.

"Donghae yang merekomendaikan tempat itu," kata Cho Kyuhyun. "Seleranya memang payah."

Tempatnya memang tidak terlalu buruk, sebenarnya aku suka suasana sekitarnya, kalau saja rasa makanan yang dijual cukup enak, itu akan jadi tempat yang sempurna.

"Mau ice cream?"

Aku mengangguk. Tersenyum.

Cho Kyuhyun membelikanku ice cream rasa Blueberry, seolah dia lupa kalau aku penyuka Vanilla.

"Bagaimana konsernya kemarin? Seru?"

Kami berjalan beriringan, sesekali lengan Cho Kyuhyun menyentuh lenganku.

"Ya, Lee Hong keren. Siapa kira wajah sepertinya punya banyak penggemar."

"Dia tidak buruk-buruk amat,"

"Dulu aku tidak suka gaya rambutnya," mengingat penampilan Lee Hong yang dulu, membuatku bergidik.

"Sekarang suka?"

Aku megedikkan bahu.

Cho Kyuhyun tidak membahasnya lebih lanjut.

"Kau tidak apa-apa, Cho Kyuhyun?"

"Tentu saja," katanya. "Kenapa tanya begitu?"

"Aku hanya, ehmm, tidak terbiasa berjalan di dekatmu, tanpa−" aku memikirkan kata-kata yang pas untuk membuatnya tidak tersinggung, "kau tahu, topi, dan masker."

Cho Kyuhyun hanya tersenyum, sembari menjilati ice cream-nya. "Enak," katanya.

Aku memutar mata.

"Hey," Cho Kyuhyun menyenggol pundakku, mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya, "Leeteuk menanyakan kabarmu, mau bertemu dengannya?"

Aku seharusnya tahu, Super Junior adalah paket lengkap, tidak harus lagi merasa heran kalau pada akhirnya bukan hanya Leeteuk saja yang kutemui, melainkan anggota Super Junior yang lainnya.

Kata Leeteuk, Senin malam sudah menjadi semacam rutinitas anggota Super Junior untuk berkumpul, jadi ketika Cho Kyuhyun bilang dia tidak bisa datang, Leeteuk menyuruhnya untuk mengajakku gabung. Kalau saja aku tahu sejak awal, tahu alasan ponsel Cho Kyuhyun terus-terusan bergetar tadi, tentu aku tidak mau menyetujui tawaran Cho Kyuhyun, pertama, karena aku tidak sedekat itu dengan Super Junior, dan Dad akan murka kalau tahu berapa banyak minuman ber-alkohol yang tersedia di atas meja di depanku.

"Tidak minum?" tanya Leeteuk.

"Tidak," jawabku.

"Kau yakin?" sahutnya "aku ingat Kyuhyun cerita kalau kau pernah mabuk parah."

"Ya." Aku tidak ingin memberikan sesuatu untuk dibicarakan dengan banyak pendengar mabuk yang bersikap seolah kami teman akrab yang tak bisa dipisahkan.

"Kau terlihat kurusan sekarang."

"Aku diet."

"Untuk apa?"

"Hidup sehat."

Cho Kyuhyun yang duduk di sebelahku, meraih tangan kiriku dan menggengam telapak tanganku sebelum membandingkan ukuran jari-jemariku dengan miliknya. Terlihat mulai kehilangan kesadarannya.

"Bukan karena kau sakit, kan?"

"Bukan," jawabku, terlalu cepat.

"Beri tahu aku kalau ada apa-apa,"

"Kenapa?" aku menatapnya, "karena ucapan Ibuku dulu?" tanyaku. "Kau tidak perlu merasa punya tanggung jawab padaku, aku punya seorang Ayah di rumah yang sudah sangat perhatian."

"Bukan begitu, aku hanya−"

"Allana tidak suka hal-hal yang berlebihan, hyung. Dan perhatianmu menurutnya sedikit berlebihan, membuatnya tidak nyaman.." Botol bir di tangan Cho Kyuhyun isinya sudah tinggal seperempat, aku meraihnya, meletakkan di atas meja.

Leeteuk menatap Cho Kyuhyun, lalu menatap ke arahku, tatapanya seolah bertanya, "siapa yang akan mengantarmu pulang kalau Cho Kyuhyun mabuk begini?" yang kujawab dengan mengedikan bahu tidak tahu.

"Hai, Allana!" Lee Donghae muncul dengan segelas bir yang setengah kosong, bersama seseorang yang tidak kuingat namanya. "Sudah lama?" tanyanya.

"Lumayan," jawabku.

"Mumpung kau ada di sini, aku ingin bertanya sesuatu padamu,"

Aku mengangguk, menyiapkan kedua telingaku bersiap mendengar pertanyaannya.

"Apa kau tipe orang yang menyukai hal-hal romantis?"

"Tidak yakin,"

"Bagaimana bisa?" Lee Donghae tidak percaya. Dia menaruh gelas birnya di atas meja dan duduk menghadapku, "apa kau menyukai kisah Romeo dan Juliet?"

Leeteuk yang duduk tak jauh dari kursi Donghae menggeram kesal, sedang lelaki yang datang bersama Donghae tadi menghantamkan belakang kepalanya ke sandaran sofa,

"Serius, Donghae, kau masih mencari pembelaan tentang kisah bodoh itu?!" seru Hyukjae dari sudut ruangan, menghentikan obrolannya dengan lelaki bertubuh tinggi yang memperkenalkan dirinya bernama Siwon.

Donghae tidak mengacuhkan ucapan temannya, dia hanya menatapku, menunggu jawabanku.

"Aku bukan penyuka konsep cinta pada pandangan pertama, bagiku itu terlalu berlebihan."

Donghae ber-ah dengan nada kecewa, "bagaimana tentang pengorbanan mereka?"

"Maksudmu tentang sehidup semati?"

"Ya!" Kedua mata Donghae berbinar-binar, mengatakan kalau cerita itu adalah cerita favoritnya, seolah konsep sehidup-semati Romeo dan Juliet adalah kisah tragis yang begitu romantis.

"Aku tidak tahu, Donghae, aku berpikir mungkin penulis mencoba mengirim pesan bahwa pembaca harus belajar dari plot cerita, dan mungkin berjuang daripada menyembunyikan cinta mereka dan akhirnya mati."

Terdengar suara tawa yang ditahan dari ujung ruangan, alih-alih mencari tahu siapa pemilik tawa tersebut, aku berusaha mencari kata untuk membuat Donghae tidak begitu kecewa.

"Mungkin Romeo dan Juliet tidak ditulis untuk menggambarakan para kekasih yang akan mati jika yang lain tidak hidup, bisa jadi penulis menulisnya hanya karena dia ingin menarik minat pembaca."

Donghae menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, "kau bukan penggemar Shakespeare," ucapnya.

Aku mendenggus kecil. Jalan cerita Romeo dan Juliet bukan milik Shakespeare, versi sebelumnya ditulis menggunakan bahasa Italy yang diterjemahkan dalam versi puitis pada tahun 1562 oleh Arthur Brooke, Shakespeare tidak menulisnya sampai tahun 1590-an.

"Bagaimana denganmu, apa kau memilih berjuang daripada menyembunyikan cinta dan akhirnya mati?"

Aku menoleh ke samping. Cho Kyuhyun yang kukira tertidur karena terlalu banyak minum, ternyata matanya terbuka lebar, menatap ke arahku.

Lalu apa, aku tidak bisa menjawabnya. Aku tidak mengkategorikan diriku sebagai tipe pejuang, tapi tak mau bersembunyi, seringnya aku hanya menghindar, menjauhkan diri dari menambah masalah. "Ehm," meraih gelas berisi air putih dari atas meja, aku meneguk sekali, "ayahku tak mempermasalahkan dengan siapa aku menjalin hubungan, lantas kenapa harus bersembunyi?"

"Bagaimana dengan aku?"

"Ada apa denganmu?"

"Kau mau memperjuangkanku? Atau berjuang bersamaku?"

Well, aku tidak tahu. Aku tidak yakin.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top