October 2nd


Di luar, sinar matahari tidak mampu menembus awan hitam. Hujan mengetuk panel jendela di sampingku dengan keras, sudah sejak berjam-jam yang lalu, menjadi satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Mengurung diri di dalam kamar, ditemani piringan hitam tua yang kutemukan di ruang musik beberapa hari yang lalu dan sebotol bir, seolah hari ini cocok untuk mengenang sebuah kematian.

Tidak ada yang lebih buruk dari kematian yang tak terdugua, setidaknya ketika seseorang sekarat, kau masih bisa mengucapkan salam perpisahan, punya kesempatan untuk mempersiapkan diri. Tapi ketika itu terjadi tiba-tiba, kau hanya merasa kecewa, sedih, karena tak punya kesempatan untuk mengatakan apa yang ingin dikatakan. Waktu itu Mom sekarat, aku punya kesempatan untuk mengucapkan apa saja yang ingin kukatakan, dan aku mengatakan semuanya; rasa marahku, rasa kecewaku, perlakuan tidak adil yang selama ini kurasakan, yang pernah membuatku berpikir kalau aku bukan anaknya. Dan demi Tuhan aku sudah berusaha membuatnya bahagia di sisa waktunya; mengatakan ya untuk semua permintaannya, tapi aku tidak pernah merasa puas dengan apa yang aku lakukan. Aku belum membuatnya bahagia.

Duduk di pinggir jendela dengan dua kaki terlipat di depan dada, kepala menunduk, sedikit mabuk, dan mata menutup, mengingat Mom, aku menangis, terisak-isak sampai aku terengah-engah. Aku tidak bisa berhenti memutar ulang percakapan terakhir kami yang terekam jelas di kepala.

"Aby mencintaimu. Aku mencintaimu. Dad mencintaimu. Kami semua mencintaimu, Al."

Kalau saja aku tahu itu kalimat terakhirnya, alih alih menjawabnya dengan; "kalau begitu jangan mati," aku ingin mengatakan; "aku juga mencintaimu, Mom, jangan tinggalkan aku."

Allana Devlyn Song menderita hebat ditinggal mati Ibunya.

Suara batuk keras diikuti dengan suara langkah kaki membuatku berhenti menahan napas. Ketika aku mengangkat kepala, aku melihat Dad.

Dengan canggung, Dad berdiri di sebelahku, satu tagannya meraih lenganku, meremasnya pelan. Wajahnya yang biasanya tampan tampak lebih tua. Ada banyak kerutan baru yang muncul di sana, dan kulitnya lebih pucat dari biasanya, yang membuat garis-garis kelabu tampak lebih menonjol tidak hanya di rambut kepalanya, kumisnya juga.

Dad menatap mataku. Ada semburat merah di matanya. "Boleh aku duduk?" dengan suaranya yang sumbang, berat, aku tahu dia baru saja menangis.

Dad tidak pernah menangis di depanku, atau memang dia tidak ingin aku melihat sisi melankonisnya. Dan aku tidak perah menilai Dad sebagai sosok yang lemah; dia lelaki paling kuat yang pernah kutahu, tapi kehilangan putri kesayangannya, lalu disusul istrinya tercinta, aku tidak akan menilainya sebagai sosok lemah apabila dia menangis di depanku sekarang. Jadi saat Dad menekan wajah dengan tangannya dan mulai terisak, aku hanya bisa menatapnya.

Untuk kedua kalinya, aku melihatnya hancur.

"Kau tidak lapar?" tanyanya, setelah tangisnya reda.

Aku menggeleng.

"Bibi Gong membuat pie apple," kata Dad, lagi.

Aku suka pie apple buatan Mom, suka wangi aromanya saat dikeluarkan dari oven. Aku akan menunggu Bibi Gong membuat pie apple, menunggunya mengeluarkan dari dalam oven, menarik napas dalam berharap menemukan aroma yang sama, tapi tak pernah kudapatkan. Pie apple buatan Mom berbeda dengan yang lain. Bibi Gong tidak bisa menandinginya, sekalipun wangi aromanya, bahkan ketika Mom memanggangnya sedikit lebih lama, sedikit gosong bagian bawahnya, sementara buatan Bibi Gong sempurna, pie apple buatan Mom yang terbaik. Dan tidak peduli berapa banyak pie yang aku masukkan ke dalam perut, tidak bisa membuatku berhenti menginginkan pie apple buatan Mom.

Dad menghela napas, sadar kalau aku tidak menginginkan pie apple saat ini. "Kau harus mulai merelakannya, Al."

"Apa kau juga sudah merelakannya? Bahkan aku ragu kalau detik ini kau sudah merelakan Aby."

Dad terlihat ingin menyanggah, tapi dia hanya menutup mata. Aku ingin tertawa; dia tidak bisa menyuruhku kalau dia sendiri bahkan masih terjebak dalam kesedihan tiga tahun yang lalu.

"Kau tahu, aku hanya tidak ingin kehilangan putriku yang lain."

Satu kalimat itu membuatku tidak bisa tidak menangis -lagi. Inilah hidupku, dengan pikiranku yang dangkal aku akan mengartikan kalau aku hanya pilihan terakhir, tapi hidup yang kujalani satu tahun terakhir membuatku sadar, Dad juga mencintaiku, namun dengan cara yang berbeda.

Tidak berani menatap matanya, aku mengatakan apa yang selama ini ingin kukatakan padanya, "Dad, aku tidak mau kesedihan ini mengambil alih hidupku. Aku ingin lepas dari semua pikiran yang membuatku merasa tersesat. Aku ingin hidup."

Dad memelukku. Sesuatu yang basah menyentuh kulit kepalaku. Dad menangis. "Aku mengerti."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top