october 17th

Aku tidak yakin apa yang tengah kurasakan, tapi rasanya seperti berada di antara hidup dan mati; kata Bibi Hong dua hari lalu, mataku tak bersinar, hilang sudah cahayanya, tapi Dad bilang, cahayanya hanya sedang meredup. Masa bodoh dengan ucapan mereka, aku hanya kurang tidur!

Aku tidak bisa tidur akhir-akhir ini, pikiranku membawaku mengingat-ingat masa lalu; musim panas di Dublin dan Chrismas cookies buatan Mom –hal-hal kecil yang membuat hidupku rasanya istimewa. Tapi ketika jam diatas nakas menunjukkan pukul dua pagi, aku kembali teringat Cho Kyuhyun. Dan aku mulai terisak. Karena faktanya, aku memang menyakiti Cho Kyuhyun, mengancurkan hatinya, dan sekarang aku merasa bersalah.

Aku menangis lebih dari satu jam setelah Cho Kyuhyun menurunkanku di depan rumah seminggu yang lalu. Dad tanya, "Kau kenapa?" aku jawab, "I wish he'll capable to forgive me one day." lalu Dad memelukku, mengusap punggungku sambil berkata, "I promise it will be allright."

Kuharap begitu.

Aku benar-benar tidak ingin melukai Cho Kyuhyun, tapi ekspresinya malam itu, mengatakan kalau aku telah meremukkan hatinya, berkeping-keping, sampai membuat tatapan matanya penuh rasa benci. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, Cho Kyuhyun tidak mau mengangkat telponku, mengabaikan puluhan pesanku yang kukirim sejak malam itu.

"Mau makan malam di luar, Al?" tanya Dad saat melihatku duduk meringkuk di kursi taman belakang, sendiri, sedikit menggigil.

"Aku tidak lapar."

Aku dengar Dad menarik napas panjang sebelum duduk di sebelahku. Aku tidak menoleh ke arahnya, tatapanku terkunci pada satu kupu-kupu yang sedari tadi berterbangan di atas bunga-bunga Mom.

"Kau bisa terbang, kau tahu,"

"Fly like butterfly?" aku tertawa kecil. "No thanks. that's quite tiring."

"Bukan terbang seperti yang kau pikirkan. tapi, kemasi barangmu, masukkan dalam koper, terbang."

Adrenalin yang akhir-akhir ini tak kurasakan, mendadak menyeruak dengan sekali pukul serentak dengan kelopak mataku yang melebar. "Dad," lirihku tak percaya.

"Jangan senang dulu, aku punya syarat."

"Apa?"

"Kau ikut aku ke sesi hari Rabu malam."

Aku menolak, bilang, "aku tidak sakit."

Dad menatapku. "Kau tidak bahagia."

Aku sudah ingin protes, tapi Dad tak membiarkan, dia bilang, "aku tidak buta, Allana, tua iya, aku bisa tahu senyum di bibirmu itu kadang palsu, dan mood-mu akhir-akhir ini makin sulit kutebak, membuatku khawatir. Kau hidup tapi seperti tak punya tujuan, arahmu kacau, seperti hidupmu tidak penting."

"Itu tidak benar,"

"Kalau begitu tidak usah takut ketemu dokter. Dia tidak akan memvonismu gila."

Aku tak bergeming.

"Aku janji, Allana, kau boleh terbang kemanapun yang kau mau. Melakukan apa yang sangan ingin kau lakukan, atau tidak ingin melakukan apapun asal kau bahagia aku pun tidak akan mengusikmu."

Aku menatap Dad. Telapak tangan kananku mencengkeram bangku taman erat.

"Aku tidak ingin melihatmu gila."

Rasanya aku kepingin menangis sebenarnya, tapi yang keluar dari mulutku adalah suara tawa. "OK," setujuku. Bayangan harus hidup selamanya di sini, di atas tanah yang asing, dengan semua hal buruk yang terjadi, rasa kehilangan yang tak akan pernah hilang, hancur dihantam oleh satu kalimat pendek Dad. "Tapi aku pasti jadi gila kalau kau menarik ucapanmu barusan," ancamku, memastikan kalau Dad tidak bercanda.

Dad menatapku serius. "Aku minta maaf sudah mengekangmu selama ini."

Tersenyum miring, mengedikkan bahu, "it's okay," kataku. "I survived."

Dad menepuk lututku dua kali sebelum bangkit dari duduknya lalu berjalan ke dalam rumah. Aku menatap punggungnya yang terlihat lelah. Lalu kesadaran itu terlintas di kepala, kalau aku pergi, Dad sendiri. Apa dia bisa bertahan?

"Oh, Allana!" Dad berbalik, tapi tidak mendekat. "Kemarin Kyuhyun menelpon, kau sudah tidur. dia merancau, lalu terisak, kemudian memaki. Kurasa dia mabuk."

Satu menit yang lalu aku mulai merasa hidup. Sekarang aku kembali merasa bersalah. Sial!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top