May 6th

"Kau tersesat."

"Tidak."

"Kau yakin?"

"Ya."

Aku yang tidak yakin. Bagaimana tidak, aku sedang asik telentang di halaman belakang sore hari, mengistirahatkan tubuh, ketika dia tiba-tiba muncul di atasku dengan senyum tipis yang menarik satu sudut bibirnya terjungkit ke atas.

"Bukankah kau seharusnya berada di tempat yang.... jauh?" tanyaku, seolah-olah tahu dimana seharusnya laki-laki itu berada sekarang.

"Aku free."

"Oh."

Aku tidak berniat bangun dari tidur telentangku, dan dia tidak harus meniruku dengan merebahkan tubuhnya di atas rumput, dia boleh melakukan apa saja, asal tidak menggangguku. Tapi secara teori dia sudah melakukannya, mengganguku. Pertama, dia mengagetkanku. Kedua, tulisan di kausnya yang berbunyi 'CROWS BEFORE HOES' membuatku tak bisa fokus –yang sebenarnya aku tidak sedang memfokuskan mataku pada objek tertentu. Ketiga, aroma Pizza dari box yang dijinjingnya membuat perutku melilit. Keempat, mengabaikan tiga alasan di atas, dengan dia ada di rumahku sekarang, seluruh sistem saraf di otakku berjalan lambat, sebaliknya, membuat jangtungku memompa darah lebih cepat ketimbang waktu aku melihatnya di TV.

"Dimana Ayahmu?"

"Osaka."

"Bussines trip?"

"Hm."

Dia mengangguk, mungkin kecewa karena tidak bisa bertemu dengan salah satu fans nya.

"Kau kemari untuk bertemu dengannya?"

"Tidak juga."

"Kau meninggalkan sesuatu sewaktu kau mampir dulu?"

"Tidak."

"Lalu untuk apa kemari?"

Dia diam sesaat sebelum membuka mulut, "melihatmu," jawabnya.

Aku menahan napas. Itu yang ingin kudengar darinya dari sekian banyak yang ingin kudengar keluar lewat mulutnya. Merindukanku. Bahwa artinya dia menyempatkan diri untuk memikirkanku.

"Senang melihatku kalau begitu?"

Alih-alih menjawab, Cho Kyuhyun hanya tersenyum. Dan jika dia tak mengalihkan pandangannya ke arah bunga tulip yang sedang mekar, dia akan melihat bibirku tersungging sedikit ke atas.

"Mau Pizza?"

Cho Kyuhyun masih dalam posisi berdiri di atasku saat menawariku Pizza, terlihat enggan mengotori jeans birunya dengan duduk di atas rumput seperti yang kulakukan.

"Tidak," tolakku.

"Wanita dan masalahnya," komentarnya.

Dan komentarnya memancingku untuk melotot padanya dan bicara sangaaaaaaat panjang.

"Kau bisa bicara begitu karena semua wanita yang kau temui mempermasalahkan tentang berat badan mereka, jadi kau beranggapan setiap wanita akan mati-matian berdiet untuk mempertahankan bentuk tubuh mereka. Tapi kau tidak bisa menyamakanku dengan wanita-wanitamu itu! Ingat, aku berbeda dengan mereka. Aku punya urusan lain yang lebih serius ketimbang dua angka sialan yang muncul di layar timbangan; kakakku mati karena penyakit turunan dari keluarga Ibuku, lalu Ibuku menyusul belum lama ini, aku punya hubungan yang tidak harmonis dengan Ayahku, mantan pacarku nyaris membunuhku, Sahabatku sedang mendiamkanku, belum lagi orang di sekelilingku yang tidak menyukaiku. Apa menurutmu aku masih punya waktu untuk mengurusi berat badan seperti katamu barusan?"

Aku menggeram. "Dan kau termasuk di dalamnya, Cho Kyuhyun. Kau masalah besar yang yang tidak bisa kuselesaikan. Kau datang di hidupku, bilang kalau kau menyukaiku, lalu lari ketakutan karena sikapku. Berikutnya kau muncul dengan sikap seolah kau tak pernah mengenalku, mengacuhkanku, tapi satu hari menanyakan kabarku, lalu membual tentang pertemuan pertama kita, tentang perasaanmu. Kau pasti menganggap mudah diriku, tapi asal kau tahu, aku punya hari yang berat karenamu."

Sepasang mata almond itu menatapku dengan pandangan menyesal. Sialan. Aku baru saja membuat diriku sendiri terlihat menyedihkan di mata Cho Kyuhyun.

"Jika kau menganggapku melakukan diet sadomokoasis, kau pasti sudah melihat tubuhku hanya tinggal tulang sekarang!" sakrasku.

Cho Kyuhyun menghela nafas, "Bangun, Allana," katanya, sambil mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. "Maafkan aku."

Aku tidak meraih uluran tangannya tapi bangun dengan kakiku sendiri. Aku juga tidak membalas ucapannya karena aku tahu jika aku membuka mulut lagi semuanya akan semakin buruk.

"Allana," Cho Kyuhyun mendesah.

Aku hampir dikalahkan oleh harga diriku karena nyaris menangis dan mengatakan kalau aku menyesal menendangnya malam itu.

"Aku tidak tahu kenapa hidupku sangat sial seperti ini," kataku, akhirnya.

"Maafkan aku," sahutnya, berjalan selangkah mendekat ke arahku.

Aku mundur dua langkah menjauh darinya. "Dad tidak ada dan aku lelah, kau bisa pergi sekarang." Dan sebelum dia membuatku merasa tidak ingin melepaskannya, aku menambahkan, "Kau tahu pintunya keluarnya, kan?"

Lalu aku meninggalkanya di taman belakang sendiri, Karena aku buru-buru masuk ke rumah dan mengunci diri di dalam kamar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top