Aku bukan gadis yang tertarik dengan segala jenis keributan, apalagi kekerasan. Aku tidak peduli dengan trend bully yang kurasa sudah berkembang bahkan sebelum masehi, atau trend stopbullying yang digencarkan tahun-tahun terakhir.
Aku tahu bullying itu menakutkan, tapi aku tidak terlalu peduli, itu hanya kegiatan tolol yang membuang-buang waktu. Hanya saja jika itu melibatkan orang-orang terdekatku, aku tidak akan tinggal diam. Tapi Lanny bukan satu dari orang terdekatku, dia hanya pacar Lee Hong yang datang di hari pemakaman Mom dan menundukkan kepala mendoakannya. Aku tidak seharusnya tertarik dengan drama kehidupannya, atau berhenti hanya untuk mendengarkan kata-kata kotor itu menampar wajahnya, tapi aku melakukannya.
"Kau perlu ganti kulit, Lan."
"Bibirmu akan rusak permanen kalau kau terlalu banyak menjilat."
"Kau cocok dengan 'gaun-bercintalah-denganku' yang kenakan sekarang."
Ada banyak yang mengerubung Lanny, beberapa ikut tertawa mendengar olok-olok barusan. Sayang, tak ada yang maju untuk menghentikan sekelompok barbie dengan rambut panjang di cat kuning terang yang sekarang sedang membully Lanny.
"Kukira setiap gaunnya adalah gaun-bercintalah-denganku."
"Kudengar kau punya tindik di tempat-tempat yang tidak seharusnya, benar begitu, Lanny dear?"
"Aku kepingin melihatnya!"
Ucapan itu sebagai tanda untuk dua orang dari mereka maju ke depan sembari menyungingkan seringainya. Lanny yang dari tadi hanya diam kini mulai membuka mulut, hanya saja yang keluar dari mulutnya hanya kata; tidak, kumohon, jangan, dan itupun diucapkan dengan terbata- bata.
"Kau tidak ingin menunjukkannya padaku?" Barbie berambut cokelat terang, yang kurasa leader-nya, memasang mimik kecewa. "Kau membuatku kesal," katanya.
Lanny sudah mendekap tasnya di depan dada ketakutan, sangat erat sampai memperlihatkan otot-otot tangannya. Aku harus bilang kalau Lanny benar-benar payah. Jika dia malu untuk berteriak minta tolong, dia bisa berlari menghindari mereka. Mungkin memang terlihat kalau orang-orang yang berkerumun menontonnya ini tidak tertarik menolong, karena memang jelas mereka lebih tertarik menjadikan ini sebagai tontonan, tapi apa salahnya berharap seorang security menolongnya?
Dengan dua orang yang kini mencengkeram lengannya, sementara ada satu orang yang menjambak rambutnya, Lanny tak bisa mempertahankan tasnya. Dia meneluarkan lolongan yang sanggup membuat gendang telingaku pecah begitu tas kesayangannya di rebut paksa.
Aku tidak tahu bagian mana yang membuatku marah; apa rintihan Lanny karena rambutnya di tarik kasar, apa air matanya yang menetes, barang-barang yang ada di dalam tas merah mudanya yang tercecer jatuh ke lantai, atau sepasang sepatu boots yang asik menginjak-injak tablet milik pacar Lee Hong tersebut. Aku tidak yakin. Aku hanya merasa begitu girang sampai nyaris menitikkan air mata tahu kalau aku masih punya hati untuk menolong gadis itu.
Berjongkok, aku mulai memunguti barang-barang Lanny, memasukkan ke dalam tas gadis itu yang dibanting kasar beberapa menit yang lalu.
Crap! Labeli aku budak abad sembilan belas.
"Allana,"
Aku mendongakkan kepala menatap Lanny, "apa?" tanyaku.
Gadis itu mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangannya sebelum ikut berjongkok dan memunguti barang-barangnya. Aku menoleh ke belakang: sekelompok barbie itu sudah pergi, gerombolah mahasiswa dengan dompet tipis yang tak mampu beli tiket cinema mendenggus kesal karena hiburan gratis mereka berakhir, meninggalkan aku bersama Lanny di koridor Kyung-Hee yang panjang.
"Allana,"
Aku tidak menoleh ke arah Lanny sampai tidak ada lagi barang yang tercecer di lantai, dan aku mentapnya tidak lebih dari lima detik ketika memberikan tas selempangnya. Karena kau yakin aku aku pasti murka kalau mendengar gadis itu mengucapkan terima kasih
Tapi bukan berarti aku tidak mendengar dua silabel itu sampai kelas ketigaku berakhir setengah jam lalu. Lee Hong datang padaku dengan senyum merekah di wajahnya ketika aku sedang berdiri di atara rak anthologies dan autobiographies. Dengan segelas frapuccino yang dibawa secara sembunyi-sembunyi dan senyum yang berubah jadi seringai memuakkan, laki-laki itu mengucapkan terima kasih padaku karena telah menolong Lanny. Sumpah, kalau perbuatanku tadi di kategorikan sebagai aksi mulia, aku penasaran apa yang akan dia katakan untuk menyebut sekelompok relawan Irlandia Concern yang melakukan aksi sosial di wilayah Afrika Timur.
"Kau tahu, aku masih ingin mengobrol denganmu, tapi kelasku lima menit lagi mulai. Kita ngobrol lagi nanti?"
Aku memutar mata. "Pergi sana," usirku, pada Lee Hong.
Lelaki itu medorong bahuku pelan sambil tertawa. "Bye, Al," ucapnya, yang tidak kubalas.
Aku menemukan ketenanganku kembali begitu Lee Hong pergi. Dengan pilihanku yang jatuh pada The Glass Castle karya Jeannette Walls, aku memilih meja yang dekat dengan jendela dan sedikit berada di kanan sudut ruangan. Aku baru membaca sepuluh halaman ketika hembusan napas mengenai tengkukku dan membuatku merinding. Aku menoleh ke belakang dan mendapati wajah Yoo-jin sejajar dengan kepalaku.
Dammit! Aku nyaris memukul wajahnya dengan buku setebal dua-ratus-sembilan-puluh-delapan halaman di tanganku.
"Ayo ke kelas," ajaknya.
Aku berjalan dua langkah di belakang Yoo-jin ketika ponselku bergetar menandakan ada pesan masuk. Memanggil Yoo-jin dan menyuruhnya ke kelas lebih dulu, aku berhenti lalu membaca pesan tersebut. Pesan singkat dari Dad memberitahu kalau dia sudah tiba di Seoul lima belas menit yang lalu. Aku tersenyum tipis membacanya.
Tiga menit kemudian, senyumku disapu badai Patricia.
Aku berusaha berjalan cepat menyusul Yoo-jin ketika tiga orang mahasiswa keluar dari pintu kamar mandi dan berjalan dengan mata tertutup akibat tertawa seperti idiot sehingga menabrakku dari samping. Aku menarik napas panjang berusaha menahan emosi sebelum meraih bukuku yang jatuh ke lantai. Tapi tetap saja, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kesalku. "Apa yang membuat kalian tertawa bahagia sampai tidak bisa melihat sekitar?"
"Cho Kyuhyun,"
Aku merasa aku punya hak untuk tahu apa yang dilakukan Cho Kyuhyun hingga membuat pipi-pipi gadis-gadis ini bersemu merah. "Ada apa dengan Cho Kyuhyun?" tanyaku.
"Dia merilis single baru!"
Aku tidak lagi merasa punya hak apa-apa terhadap Cho Kyuhyun. Wusss. Begitu saja!
"Kau mau mendengarnya?"
"Tidak," jawabku. Jujur.
Cho Kyuhyun bersikap manis padaku seminggu terakhir; dia mengirim pesan tiap malam, bertanya kabar, mengucapkan selamat pagi, muncul di depan pintu rumah dengan dua cup frappucino atau seloyang pizza, dan bicara. Dia bicara apa saja; tentang makanan, tentang masa kecilnya, tentang kakak perempuannya, hobinya, olah raga favoritnya, penyanyi idolanya, dan aku ingat dia juga bicara mengenai salah satu anggota membernya yang baru merilis mini album, tapi tidak dengan dirinya yang akan merilis single.
Dan itu membuatku berpikir, apa sebenarnya aku ini di mata Cho Kyuhyun? Hanya seorang gadis keras kepala yang di keningnya tertulis kalimat 'kasihani aku'?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top