may 10th

Aku tidak benar-benar bisa sendiri. Mom selalu mengetuk pintu kamarku kalau aku tidak menyahut panggilannya sebanyak dua kali. Aby akan memangil Mom berkali-kali untuk datang ke kamarnya, dengan suaranya yang kadang lebih kejam dari suara halilintar. Sedang Dad, dia akan sibuk mengomentari kebiasaan Mr. Dickens yang memandikan anjingnya di depan rumah. Semua itu menjelaskan betapa berharganya waktu saat ketiganya pergi ke luar untuk beberapa jam, yang berarti aku benar-benar sendiri.

Tapi aku tidak kepingin sendiri. Kemarin, hari ini, atau besok. Kau tahu apa yang kupirkan ketika aku sendiri? Aku memikirkan banyak hal. Hal-hal yang tak seharusnya kupikirkan. Kuakui aku punya otak yang sedikit tidak normal. Saat aku berumur delapan tahun, aku menghayal menikah dengan Prince Harry –aku merencanakan hal luar biasa gila yang akan kulakukan saat berumur delapan belas tahun yaitu menerobos Kensington kalau dia tidak mau menikahiku. Saat aku sembilan tahun, saat aku tahu pewaris tahta adalah Prince William, aku tidak tertarik lagi dengan Price Harry. Lalu saat aku sepuluh tahun, aku memutuskan untuk tidak menikahi salah satu Duke of Cambridge, hanya karena sebuah kata yang yang muncul di otakku ketika aku duduk di closet suatu pagi; membosankan, membosankan kalau seumur hidup harus terkurung di dalam istana dan memasang wajah ceria setiap detik. Sekarang, setelah melewati masa remaja dan beranjak dewasa, pikiranku tidak lagi pada hal penuh delusi seperti itu. Aku memikirkan hidup; bagaimana caraku menjalani hidup, bagaimana aku harus bertahan hidup.

Saat aku kepingin sendiri, dan sedang sendiri, aku sebenarnya tidak sendiri. Maksudnya, selalu ada orang lain di sekelilingku meski mereka tidak berani mengangguku. Aku melihat mereka, mereka melihatku, tapi aku memperlakukan mereka seperti tidak terlihat dan mereka melakukan seperti yang kulakukan. Sayangnya, hari ini aku benar-benar sendiri. Bibi Gong pergi menemui anaknya yang ada di Chuncheon diantar Song Jo, supir Dad. Mereka akan kembali besok pagi yang beartinya aku sendirian malam ini.

Aku mengikuti tiap episode serial televisi horor antologi Amerika, American Horror story. Tapi ayolah, pengecut mana yang akan ketakutan kalau sebelumnya dia sudah menghabiskan lima tahun waktunya untuk menonton lima seasons serial TV tersebut?

Aku! Aku mengangkat tinggi-tingi tanganku karena malam ini aku si pengecut itu. Bulu kudukku berdiri saat adegan menegangkan mulai muncul. Aku menjerit seperti Vampir baru yang menolak dirinya jadi Vampir saat melihat darah. Aku menutup muka karena tidak suka melihat wajah Evan Peters di makeup seperti joker, karena itu akan menghancurkan imaginasiku terhadapnya yang kubangun sebagai sosok sempura berwajah tampan dan berambut ikal di kepalaku. Aku menutup telinga karena takut jantungku copot ketika mendengar denting piano yang dihasilkan dari sepuluh jari gemuk, kasar, penuh luka, bertemu dengan tuls-tuls nya. Dan sial, kakiku menabrak meja begitu bangkit dari sofa milidetik setelah suara bel pintu ditekan.

Aku meraih vas bunga Mom sebelum membuka pintu.

"Hai,"

Aku nyaris memecahkan vas kesayangan Mom.

"Hai, kau kenapa?"

Aku menggeleng mendengar pertanyaannya.

"Kau berkeringat," katanya, melarikan tangan kanannya mengusap keningku.

Aku menepis tangannya. "Apa yang membawamu kemari, Cho Kyuhyun?" tanyaku.

"Ayahmu," jawabnya, mendorongku pelan ke samping lalu melangkahkan kaki masuk ke dalam. "Aku ingin bertemu dengannya."

"Dia belum kembali," kataku, setelah menutup pintu dan mengikuti langkahnya.

Cho Kyuhyun berhenti –membuatku nyaris menabrak punggungnya, lalu berbalik ke belakang –menatapku. "Mungkin aku bisa meminta Bibi Gong membuatkanku malam malam? aku tidak keberatan memberikan selusin tanda tanganku untuk anaknya."

"Sayangnya dia tidak ada."

Aku melihatnya ketika dia melebarkan mata dan menatap dalam tepat ke retinaku, dia tak terlihat ingin menyembunyikannya. Dibarengi dengan helaan napas dan gelengan kepala sesudahnya, Cho Kyuhyun menunjukkan rasa khawatirnya yang ditujukkan untukku. "Kau sendirian," katanya, jauh dari nada bertanya.

Aku mengangguk.

"Mau kutemani?"

Ya. "Tidak."

"Kau mau aku pergi?"

Tidak. "Hm."

"Oke."

Cho Kyuhyun sudah tiga meter berada di belakangku ketika aku memanggilnya. "Kau suka American Horror Story?" tanyaku.

"American Horror Story?" Dia mengerutkan kening. "Aku belum pernah mendengar sebelumnya," jawabnya.

Aku mengangguk. Dia memang seharusnya pergi dari rumahku. Kolot! Tapi aku sedang berbaik hati malam ini, jadi aku menawarinya satu hal yang membuatnya menggulum senyum.

"Mau kuberitahu?"

Cho Kyuhyun tersenyum.

Aku tidak tahu memberitahunya berarti aku harus memutar ulang dari season satu episode pertama –itu sudah tiga setengah jam sejak Cho Kyuhyun menempatkan pantatnya di atas sofa dan sama sekali tidak terlihat bosan, sementara aku yang di sebelahnya sudah mulai mengantuk.

"Mau kuambilkan minum?" tawar Cho Kyuhyun, menoleh ke arahku setelah mendengarku terbatuk.

Aku menggeleng. Tapi ketika dia kembali memfokuskan wajahnya ke arah TV aku mengusap tenggorokanku yang mendadak terasa kering.

Belum ada lima menit dia kembali menoleh ke arahku. "Siapa gadis yang memerankan Violet Harmon?" tanyanya.

"Taissa Farmiga."

"Menarik,"

Aku mengangguk.

"Cantik."

Aku tidak berminat membalas komentarnya.

"Kau punya cola?"

"Di lemari pendingin."

"Okay."

Aku merentangkan tangan saat Cho Kyuhyun berlalu ke dapur, mengusap sudut-sudut mataku yang basah karena air mata akibat kantuk. Kutarik kakiku ke atas sofa lalu menyelimutinya dengan blanket satin milik Mom. Aku masih bisa mencium baunya. Tiga menit kemudian Cho Kyuhyun kembali dari dapur. Di tangan kirinya ada sebolot Cola dan beberapa snack milikku yang didekap ke dada, sedang satunya membawa gelas berisi air putih.

"Aku tidak percaya kau suka chocolate corn," katanya, sembari memberiku gelas air putih.

Aku menerimanya. "Ada yang salah?" tanyaku.

"Beberapa gadis yang kukenal mengeluhkan jumlah kalori yang tertulis di belakang kemasan."

Aku memutar mata. Ugh!

"Berhenti membandingkanku dengan gadis-gadismu."

Aku akan berpikir kalau Cho Kyuhyun tidak berniat membandingkanku dengan teman-teman perempuannya andai ini kali pertama dia mengatakan 'beberapa gadis yang kukenal'. Aku bisa saja membalas kalimatnya dengan gelegar tawa yang kupaksakan, atau senyum simpul yang tulus dari hatiku, itupun kalau aku berstatus sebagai temannya. Sayangnya aku tidak merasa seperti temannya. Dia menciumku –dia juga mengabaikanku. Dia menyukaiku –dia juga tidak menyukai beberapa sifatku. Dan itu yang membuatku kesal. Dia terlalu jauh melangkah dengan statusnya yang tidak jelas.

Cho Kyuhyun tak membalas ucapanku. Dia hanya mengangguk kecil sebelum duduk di posisinya semula lalu mulai memakan snacknya. Dia membuatku seperti orang tolol. Lagi!

Setengah jam berlalu dan Cho Kyuhyun dia tidak bicara, begitu juga aku. Dia sudah membuka bungkus crab chips yang kedua, sementara aku sudah menghabiskan air putihku. Gemericik air dalam akuarium membuatku kembali mengantuk, hanya kali ini aku tidak berusaha untuk terjaga. Aku tidak peduli apa aku akan tertidur di sofa sampai besok pagi, atau apa Cho Kyuhyun akan meninggalkanku ketika aku tertidur. Aku cukup lelah.

Tapi aku masih cukup sadar ketika sebuah lengan melingkari pundakku, menjauhkanku dari sandaran sofa yang kujadikan tumpuan. Lalu aku menciumnya; bau bumi seperti musim gugur, bau tubuh Cho Kyuhyun.

"Sorry,"

Aku cukup sadar kalau tubuhku bereaksi akibat ucapan Cho Kyuhyun barusan, yang tentu saja Cho Kyuhyun menyadarinya, aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku –dia memastikan apa aku benar-benar tidur atau tidak. Dan dia tidak perlu melihatku membuka mata lebar-lebar untuk tahu kalau aku belum tertidur, karena aku tidak berniat untuk menunjukkan padanya kalau aku masih terjaga.

Cho Kyuhyun memelukku. Dagunya berada di atas kepalaku dan wajahku berada di dadanya. Aku bisa merasakan debaran jantungnya yang sama kerasnya seperti milikku.

"Aku minta maaf untuk hari itu waktu kita tanpa sengaja bertemu di Bangkok, aku terlalu marah pada diriku sendiri sampai tidak bisa marah pada Ryewook setelah apa yang dia lakukan padamu. Aku minta maaf karena terlalu egois telah menyanggupi tawaran Ayahmu, aku pikir aku bisa mengambil kesempatan mencari tahu masa lalumu dengan bertemu teman-teman lamamu."

Aku menggigit bibir bawahku ketika aku nyaris terlonjak saat Cho Kyuhyun mencium pucuk kepalaku.

"Maafkan aku, Allana, untuk semuanya. Terlebih untuk malam itu. Aku menyesal memilih lari darimu."

Aku ingin sekali membuka mataku dan meninju wajahnya, supaya dia tahu rasa sakit akibat tinjuaku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa sakit hatiku. Tapi tidak kulakukan. Karena jika aku melakukannya, aku akan membuktikan pada diriku sendiri kalau aku psikopat gila. Sudah cukup aku menyakitinya dengan sikapku yang jalang, dan tidak ingin menambah rasa sakit yang lain untuknya.

"Aku akan tinggal." Cho Kyuhyun mencium pucuk kepalaku, lagi. "Aku akan tinggal," ulangnya. Dan tidak hanya sekali, dia mengulangnya sampai kalimat itu menjadi lulaby-ku malam ini.

Berjam-jam kemudian, setelah matahari terbit, begitu aku terbangun dari tidurku dan wajah Cho Kyuhyun adalah hal pertama yang aku lihat, aku tahu hubunganku dengan Cho Kyuhyun lebih baik dari sebelumnya. Aku bukan temannya. Dengan artian yang lebih bagus. Dan sebelum dia mengucapkan selamat tinggal, mengecup pipiku, dia memuji kemampuan menyanyiku di pernikahan Keira.

Aku tahu aku memang hebat.

ɤɤɤ

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top