march 9th


Hampir dini hari ketika aku tiba di Bandara Sultan Babullah Ternate. Nyaris menyamai pasar malam dan dingin, dan pencahayaan-nya tidak seterang seperti bandara yang terakhir kuinjak, tapi tidak membuatku kesulitan menangkap siluet tubuh Len yang berbaur dengan puluhan orang berdiri tak jauh dari pintu kedatangan. Dia mengenakan jaket gembung warna orange tua, celana jeans sobek pada bagian lutut, dan mengenakan topi LA Dogers warna hitam menutupi kening. Dia sangat mudah dikenali hanya dari melihat tubuhnya yang menjulang tinggi ke atas.

Aku berjalan menghampirinya sambil menyeret koperku yang lumayan berat. Aku benar-benar merasa sangat lega bertemu dengannya. Aku tidak tersesat di negara orang.

"Tiga jam lagi sebelum mereka memperlakukanku layaknya budak." kata Len saat itu, sambil meraih koperku dan mengisyaratkan untuk aku mengikuti langkahnya.

"Tidak perlu mengeluh kalau kau menikmatinya." sahutku.

"Aku serius menikmatinya, Alle."

Yah, aku tahu, meski Len baru dua bulan lalu resmi sebagai pasukan NASA dan jelas masih berada di level bawah, tapi laki-laki itu sangat bahagia. Aku menangkapnya ketika tiap malam dia menelponku dan menceritakan hari-harinya di markas berlambang bintang putih dan jalur orbit pada bidang putaran biru dengan vektor merah.

Keberadaanku di Ternate adalah kesepakatan yang kami –aku dan Len buat ketika awal Januari kemarin saat aku pulang ke Dublin. Len bersama beberapa teman NASA-nya mendapat kesempatan langsung untuk melihat dan meneliti gerhana matahari total yang akan terjadi beberapa jam dari sekarang. Dia bilang, "Alle, Gerhana matahari total hanya terjadi tiga-puluh-tiga tahun sekali. Tiga-puluh-tiga tahun dari sekarang kau sudah jadi seorang nenek yang tak bisa mengangkat pantatnya dari di kursi roda. Jadi kalau bukan sekarang, kapan lagi?"

Mungkin ini kali pertama aku tidak melewatkan hal penting dalam hidupku. Biasanya, aku selalu melewatkan apapun yang awalnya kuanggap sama sekali tidak penting tapi membuatku merasakan penyesalan yang menyiksa dikemudian hari. Oh ngomong-ngomong, aku sedang tidak membicarakan kau-tahu-yang-kumaksud, tapi dia memang menjadi salah satu hal yang sadar kulewatkan begitu saja.

Aku sedang tidak ingin membicarakan kau-tahu-yang-kumaksud. Dia harus tetap menjadi yang terlupakan sampai sakit hatiku hilang. Tapi Len tidak setuju padaku. Dia bilang aku yang menendangnya pergi, yang kuakui itu memang benar, jadi aku tidak bisa mengatakan kalau dia yang menyakitiku. Malah sebaliknya, aku yang menyakitinya. Aku yang menginginkan dia menjadi kekasihku, tapi melarangnya mencari tahu siapa diriku.

Len kemudian menuntunku menuju Van putih yang mesinnya sudah dihidupkan. Dia membukakan pintu untukku dan menyuruhku masuk lalu disusul dirinya. Dia memberitahuku kalau kami akan langsung menuju pesisir pantai. Dia juga mengatakan Barry tidak keberataan saat dia menyarankanku untuk tidur di mobil sebelum puncak gerhana terjadi, yang membuatku kesal tentu saja.

"Kenapa Barry ada di sini?" tanyaku.

"Karena dia tahu kau akan ada di sini." jawabnya.

"Bagaimana dia bisa tahu?" tanyaku lagi.

"Seperti tidak mengenal Barry saja."

Aku memang tidak mengenal Barry! Aku nyaris meneriaki Len tepat di depan wajahnya, tapi siapa Barry yang bisa membuatku kesal pada Len semudah itu?

Barry hanyalah teman Len yang juga teman sekelas Aby saat tingkat sebelas. Beberapa kali dia pernah datang ke rumah untuk tugas kelompok. Dia berteman dengan semua orang. Beberapa grupie diangkataku jatuh cinta padanya, tapi aku tidak pernah menyukainya, apalagi setelah insiden mawar merah dengan teriakkan, "pacaran denganku, Allana!" aku berubah jadi sangat membencinya. Tidak peduli berapa ribu kali dia memberi salam salam padaku lewat Aby dan Len, atau menungguku di depan kelas tiap akhir pelajaran menawarkan mobilnya untuk mengantarku pulang, aku tidak mengacuhkannya. Aku menjaga jarak darinya.

Len mungkin cerita pada Barry kalau dia akan pergi ke Ternate, tapi Len tidak mungkin mengatakan pada laki-laki itu kalau akupun akan ada di sini, jadi ...

Baiklah, dulu, Barry memang sering sekali dengan seenaknya masuk ke kamar Len, meski Len sedang tidak ada di kamar, tanpa izin. Terakhir yang kuingat saat Len dan aku menemukan Barry ada di dalam kamar temanku tersebut, Barry sedang bermain Modern Warfare 3 dari laptop Len. Bisa jadi dia− "dia membaca email mu."

Len yang saat itu sudah menyandarkan kepalanya di punggung kursi dan mulai memejamkan mata mengangguk lemah menjawab pertanyaanku.

"Brengsek!" umpatku.

Selama perjalanan aku berpikir jenis perhitungan apa yang akan kuberikan untuk membuat Barry menyesali keberadaannya di sini, karena aku bisa melakukan apa saja untuk membuatnya menyesal, tapi ketika melihat wajah Barry yang sudah tak kujumpai hampir seratus-dua-puluh-empat minggu, yang tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya yang putih, yang merentangkan kedua tangan untuk menyambutku, yang kulakukan malah membalas pelukannya.

"Oh Tuhan, berapa abad aku tidak melihatmu, Al? Rasanya mataku nyaris buta karena pancaran kecantikanmu." kata Barry, memujiku seperti orang tolol.

Aku melepaskan pelukannya dan mundur selangkah ke belakang. "Terima kasih tapi aku berharap ini pertemuan kita yang terakhir." balasku.

Barry tak pernah terpengaruh oleh ucapanku, dia selalu berpikir kalau aku manusia paling humoris di muka bumi.

"Apa yang terjadi dengan rambutmu?" tanya Barry. Dia meraih sejumput rambutku dan menatapnya tidak percaya. "Jangan bilang Keira Knightley menginspirasi potongan rambut pendekmu ini."

Aku menepis tangan Barry yang menggengam rambutku. "Aku hanya bosan punya rambut panjang." sanggahku.

"Tidak masalah panjang atau pendek, kau tetap wanita paling cantik dan sexy di jagat raya."

Aku memutar mata. Haruskah aku membelikannya seloyang pizza karena nyaris membuatku muntah?

"Diam dan pakai ini." Len muncul dari belakangku. Dia memberiku dan Barry kaca mata yang sama seperti yang dipakai oleh orang-orang di sekitar kami. "Matahari di atas sana yang akan membuat matamu buta, Bar, bukan Allana." katanya, meninju lengan Barry yang berotot.

Aku menjauh dari Barry dan mengikuti Len. Dia sudah siap dengan teleskopnya yang mengarah ke langit luas.

"Aku tidak suka Barry." kataku pada Len, menekuk bibir, seolah-olah seperti sedang mengadu pada Mom mengenai anak lelaki samping rumah yang kolot. "Tapi aku senang melihatnya ada di sini. Seperti melihat masa emasku di Glasnevin dulu."

"Dan dia masih menempati posisi pertama sebagai pengemar beratmu, kalau kau tidak tahu."

"Jadi dia belum punya pacar?"

Len mendongak dari lubang kecil teleskopnya untuk melihat mataku. "Kau bercanda? Tentu saja dia punya." jawabnya. "Bieber dan Gomez saling mengangumi, tapi bukan berarti mereka harus menjadi pasangan, kan?"

"Mereka pernah pacaran."

"Yah, tapi berakhir. Dan sekarang, mereka hanya saling mengagumi."

Aku mendengus. Len tersenyum.

"Apa?" kataku, tahu kalau senyumnya punya makna lebih ketimbang sikap sok tahunya yang kadang seluas galaxy bima sakti.

"Apa kau sedih karena tahu Barry sudah punya pacar sementara kau di sini masih single?"

Aku melotot. "Sama sekali tidak!" seruku tidak terima. "Aku hanya merasa lega karena aku tidak perlu terus-terusan merasa berdosa menolak cintanya."

"Ohhhh..." Len menusuk perutku dengan jari telunjuknya, yang kubalas dengan memukul pundaknya keras-keras. "Kalau begitu, bagamana kelanjutan hubunganmu dengan si Super Star itu? Apa masih ada di zona only-be-friends-if-you're-kind-of-a-bitch?"

Selama sepersekian detik aku nyaris menjawab pertanyaannya. Tapi aku tersadar dan buru-buru mengalihkan tatapanku dari matanya dan mendongak menatap langit yang mulai gelap.

"Kau pernah mendengar mitor orang Yunani mengenai gerhana, Alle?"

Tanpa menoleh ke arah Len, aku berkata, "tidak." dengan nada ketus yang membuat Len mengeluarkan suara tawa.

"Orang Yunani Kuno percaya bahwa gerhana adalah pertanda buruk yang berasal dari dewa yang sedang marah. Pada zaman itu, gerhana matahari diyakini dapat mengubah jalannnya sejarah manusia. Sejarawan Yunani, Herodotus, mencatat bahwa puncak pertempuran kegelapan antara Lydians dan Media jatuh di atas tanah. Yang rupanya, perang itu terjadi tepat ketika gerhana sedang dalam proses terjadinya."

"Lalu apa hubungannya denganku? Bahkan aku tidak tahu siapa Lydians dan Media."

"Dengarkan dulu, ini bukan mengenai siapa Lydians dan Media, melainkan pesan yang bisa kita ambil dari mitos tersebut."

Dia pikir aku peduli?

"Singkatnya, para tentara dua kubu mengambil ini sebagai pertanda bahwa mereka harus berhenti berperang dan langsung membuat damai satu sama lain."

Aku mencibik. "Aku tidak mendapati pesan apapun dari ceritamu barusan."

Len menggeram kesal. "Intinya, kau harus berdamai dengan perasaanmu sendiri. Mengaku kalau kau menginginkan lelaki itu lebih dari yang kau inginkan."

***


a/n:

Hai, aku memutuskan untuk mengikutsertakan karya ini ke #ProudFanfictionWriter

@olentia_ @kite_Nh 


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top