March 20th
Jadi inilah akhir liburanku bersama Len. Kami harus berpisah untuk melanjutkan hidup luar biasa kami masing-masing. Len akan kembali sibuk dengan pekerjaan barunya, dan aku akan sibuk mengeluh tentang ketidakadilan dunia. Len akan bertemu dengan orang-orang baru, dan aku akan sembunyi di penjara mewahku. Len akan mulai jatuh cinta dan berkencan dengan gadis-gadis Inggris, sementara aku akan berkencan dengan sosok Kapten Yoo Sijin di bawah alam sadar tiap malam Kamis dan Jum'at.
Berpisah dengan Len bukan kali pertama kualami, bedanya, dua tahun lalu Len yang melambaikan tangan sementara sekarang aku yang melakukannya. Dua tahun lalu Len menekuk bibirnya dan sekarang aku nyaris menitikan air mata karena tidak mau berpisah darinya. Aku tahu Dad pasti akan mengejekku andai dia melihat keadaanku sekarang, tapi apa peduliku! Aku tidak melihat Len selama lebih dari dua tahun dan Dad penyebabnya. Aku hanya menghabiskan waktu seminggu bersamanya di Dublin dan lagi-lagi karena Dad. Dia menyuruhku untuk cepat pulang. Pulang ke rumah, rumah yang pahit. Aku tertawa ketika Dad bicara seolah-olah aku telah benar-benar menerima keberadaan rumah itu.
Aku kelelahan setelah menyeret diriku bersama koper ke toilet wanita untuk mencuci muka lalu ke bagasi untuk menitipkan koperku, kemudian berlari sekuat tenaga karena pintu pesawat bagian depan sudah di tutup dan pintu lainnya nyaris ditutup. Walau aku tahu keadaan rumah sangat menyebalkan, tetap saja aku tidak mau tinggal di Bangkok lebih lama. Di sini menyeramkan, aku tidak bisa membedakan mana yang harus kupanggil "girl" dan "boy".
Pramugari yang berdiri di depan pintu pesawat tersenyum ke arahku. " Hello Miss, welcome to Thai Airways International 656," sapanya. "May i help you?"
Aku menarik napas. "Yeah," jawabku. "I am a passenger in seat number 8, can you show where my chair?"
"Sure, please follow me."
Pramugari itu menoleh ke arahku dan tersenyum –lagi sebelum berhenti dan menunjukkan padaku tempat dudukku. "Congratulations, Miss, you're going the journey 5 hours 25 minutes in the VIP cabin with members of Super Junior," katanya.
Apa? Aku menggeleng. Hah! Aku memang bukan gadis beruntung di dunia.
"Coba lihat siapa yang baru tiba, si gadis kecil bermata hijau."
"Gadis yang menyebabkan kekacauan beberapa bulan belakangan ini?"
"Kenapa aku harus bertemu dengannya lagi?"
"Dan kenapa aku berharap aku tidak usah melihatnya?"
Aku menghela napas. Aku tidak melihat wajah mereka. Aku mendengarnya. Tapi aku hanya perlu berpura-pura seperti tidak mendengar percakapan mereka.
"Miss, what else can I do for you?"
Aku ingin bilang, "bisakah kau menyuruh mereka diam, atau kalau perlu menendang mereka keluar?" tapi aku menggeleng. "No, thank you," kataku.
"Okay. So please sit down and plug your seat belt because the plane will take off."
Jadi sekarang aku harus duduk? Tapi aku tidak ingin duduk? Bagaimana bisa dia menyuruhku duduk?
"Mr. Cho Kyuhyun, please give a way to your seatmate."
Oke. Baiklah. Aku akan duduk.
Aku menyenggol lutut Cho Kyuhyun ketika aku berjalan melewatinya. Demi Tuhan aku tidak sengaja melakukannya. Jika dia berpikir aku melakukannya untuk menarik perhatiannya supaya dia sedetik saja menatap mataku, aku benar-benar akan menamparnya.
"Miss, if you need a help, you can call me with the phone in front of your seat. And exactly, you can listen to the music or watching movie to kill your time. Thank you and have a nice flight."
Kurang lebih lima belas menit setelah pesawat take off, nyaris semuaaaaa orang mengumpatku. Tidak secara diam-diam di belakangku, tapi langsung di depan wajahku. Kira-kira seperti umpatan mereka: "Gadis tidak punya malu. Pasti sangat brengsek. Wajahnya simbol neraka dunia. Benar-benar busuk. Tak tahu diri. Apa, sih, kehebatannya?" sembilan puluh delapan persen dari makna kata-kata mereka sudah kudengar selama masa dua puluh dua tahun pertama dalam hidupku. Sedang dua persen sisanya dan jika dikaitkan dengan promo sale di pusat perbelanjaan Park Aveneu tidak memiliki pengaruh apa-apa, namun dua persen dalam kasus ini sangat menyakitkan untuk kudengar. "Tidak tahu bagaimana orang tuanya mendidiknya, tapi sikapnya cerminan produk gagal." satunya lagi, "Dia menyedihkan."
Yah, katakanlah aku memang demikian: Gadis tidak tahu malu yang bersikap sangat brengsek dengan wajah cantik yang sebenarnya hanya temeng untuk kebusukan-kebusukan dirinya, tak tahu diri dan tak punya kehebatan sama sekali, ditambah cerminan produk gagal dari didikan orang tua yang tak becus mengurusnya, serta kehidupannya yang sangat menyedihkan dan patut untuk dikasihani.
Tapi punya hak apa mereka menilaiku? Hidup mereka bahkan lebih menyedihkan menurutku. Satu, mereka seperti robot. Dua, mereka pencetak uang. Tiga, umur mereka dihabiskan dalam kerangka besi setiap waktu. Empat, keseharian mereka tertulis pada selembar kertas. Lima, mereka bodoh. Enam, mereka tak punya waktu berkencan. Tujuh, mungkin mereka tidak bisa menikah. Delapan, mungkin ada yang kedelapan, aku tidak tahu. Yang pasti, mereka terlihat buruk di mataku.
Tapi mungkin mereka tidak seburuk itu. mengingat banyak orang yang 'mencintai' mereka, tandanya mereka orang yang baik. Mungkin di sini aku sendiri yang membuat mereka bersikap buruk padaku. Dan aku cukup paham alasannya. Cho Kyuhyun. Dan laki-laki yang baru saja kusebut namanya itu masih duduk di sebelahku. Dia hanya mengarahkan mata cokelatnya yang gelap ke arah lain ketika aku menatapnya. Kurasa alasan itu yang membuat perutku mulas sekarang.
Aku harus menyelesaikan masalah mulas perutku, jadi aku bangkit dari dudukku dan berlalu ke toilet. Tapi sebenarnya, mulas yang kurasakan ini bukan seperti mulas ketika aku menghabiskan seloyang Kosmik Karma bersama sebotol diet coke ditambah satu cup Blissful Butterscoth ice cream di malam hari. Mulas ini hanya akibat dari oksitosin dan dopamin yang hilang digantikan kortisol dan epinephrine yang mempengaruhi aliran darah ke perut. Psikomatis sialan!
Aku merasa sangat payah dan tolol, bertanya-tanya bagaimana mungkin aku berakhir di toilet lebih dari dua puluh menit sampai-sampai harus ada seorang pramugari yang menggedor pintu dan menyuruhku keluar, lebih dari itu, di keningnya tertulis jelas sebuah pertanyaan: apa barusan kau pingsan?
Yah, mungkin pingsan lebih baik ketimbang menghadapi testosteron para lelaki pubertas ini.
Saat aku kembali penumpang di sebelahku menghilang. Puft! Yang tersisa hanya scraft warna hitam yang tadi menggulung lehernya tergeletak di atas kursi. Setidaknya dengan menghilangnya lelaki itu aku bisa menyandarkan kepalaku ke punggung kursi mengingat otot leherku sempat kaku karena berusaha untuk tidak menoleh ke arahnya. Tapi sebenarnya, jauh di dalam hati, sangattttt jauh sekali, aku berharap dia ada. Sampai suara baritone itu muncul secara tiba-tiba dan mengagetkanku dari celah dua bangku di depanku.
"Apa yang kau lakukan pada Kyuhyun malam itu?" tanyanya.
Mungkin aku bisa menjawab pertanyaan itu andai Len yang bertanya, dan sebenarnya aku sudah mengatakan pada Len tentang apa-yang-ku-lakukanan-pada-Kyuhyun-malam-itu. Yah, aku menciumnya, aku mengajaknya berkencan, lalu mengumpatnya dengan kata 'brengsek' yang sebenarnya lebih pantas ditujukan untukku sendiri. Tapi karena yang bertanya orang ini yang dalam artian aku tidak mengenalnya hanya pernah melihat wajahnya, aku tidak akan menjawab.
"Kau menghajarnya? Karena dia terlihat sangat berantakan saat tiba di dorm."
Hah?
"Tidak. Dia menolaknya." Suara lain muncul sama mendadaknya seperti suara sebelumnya, disusul dengan wajahnya yang muncul tepat di atasku. "Kau menolaknya, iya, kan?"
"Kenapa kalian berpikir kalau gadis ini menolak Kyuhyun? Aku lebih percaya kalau Kyuhyun yang menolaknya."
Laki-laki itu lagi. Laki-laki yang kutemui di Starbucks tempo hari.
"Bisa jadi Kyuhyun yang menolaknya, tapi lihat wajahnya, apa gadis secantik ini bakal Kyuhyun lewatkan begitu saja?"
"Jangan mau diperdaya kecantikannya, hyung. Wajah cantiknya benar-benar menipu."
"Yah, siapa yang tahu apa yang ada di dalam kepalanya, iya, kan?"
"Lagi pula sekarang sudah tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Kyuhyun sudah kembali seperti semula."
"Kudengar Kyuhyun sedang dekat dengan Yoon Sohee,"
"Hubungan mereka akan berhasil, aku yakin sekali."
Jadi intinya, mereka tidak benar-benar bertanya apa yang sudah kulakukan pada Kyuhyun malam itu. Mereka hanya bermaksud memberitahuku bahwa ada atau tidaknya diriku di kehidupan Kyuhyun, sama sekali tidak berpengaruh, serta kenyataan lain kalau saat ini Kyuhyun sedang sibuk mengikat benang merah dengan gadis yang disebutkan Ryewook tadi. Hah. Mereka psikopat kalau mengira aku akan menangis setelah obrolan tidak penting barusan.
"Hi, Allana!"
Pada beberapa kesempatan aku benci melihat senyum laki-laki ini, terlebih karena itu membuatku merindukann Mom, tapi hari ini melihat senyumnya rasanya seperti kau tak perlu khawatir petir menyambar ekor pesawatmu.
"Hi, Leeteuk,"
"Aku akan duduk di sebelahmu sementara waktu," ucapnya, yang ironis karena dia mengatakannya setelah menaruh pantatnya di kursi milik Cho Kyuhyun. "Kyuhyun punya sedikit urusan dengan manager hyung."
Aku benar-benar sedang tidak mood untuk mengingatkan Leeteuk yang selalu berpikir aku dan Cho Kyuhyun memiliki hubungan paling romantis di jagat raya padahal yang terjadi sebenarnya adalah sebaliknya.
"Kau pasti tersinggung oleh ucapan teman-temanku,"
"Yah," jawabku sambil menangguk dengan mantap.
"Lalu kenapa diam saja?"
Aku melotot ke arahnya. "Jadi kau ingin aku melawan mereka?" tanyaku. Dimana otaknya sebenarnya? "Kau mungkin sesekali harus merubah kelaminmu untuk tahu posisi seorang wanita jika dihadapkan dengan empat pria dengan testosteron berlebihan."
Leeteuk membungkuk ke arahku. "Oke, aku minta maaf. Aku harusnya menyelamatkanmu dari mereka sejak awal. Tapi kalau kau punya kesempatan dan mau untuk melihat tingkah mereka lewat perspektifku, kau akan tahu alasan mereka menggodamu adalah karena ingin mengenalmu."
Menggodaku untuk mengenalku? Oh manis sekali. Tapi jangan harap aku mau mengenal mereka!
"Ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di Bangkok?"
"Liburan."
"Sendirian."
"Tidak."
"Oh ya? Tapi aku tidak melihat temanmu sejauh ini?"
Aku memutar mata. Kepura-puraannya membuatku mual.
"Biasanya aku pintar basa-basi, tapi denganmu itu sama sekali tidak berarti. Jadi, bagaimana kabarmu, Allana?"
Awalnya aku tidak yakin dengan pertanyaan Leeteuk. Apa dia bertanya karena dia memang peduli, atau dia bertanya karena dia merasa bertanggung jawab dengan beban yang diembankan oleh Mom di pundaknya sebelum ibuku itu meninggal –menjadi waliku. Namun setelah aku menjawabnya; aku baik-baik saja, kadang merindukan Mom, dan kadang merasa bosan pada beberapa rutinitas harianku, tapi aku cukup senang. Saat itu aku bisa melihat dari dua sudut matanya yang menyipit akibat tarikan bibirnya ke atas kalau dia memang peduli, dan bertanggung jawab.
"Tidurah, kita masih punya empat setengah jam sebelum tiba di Incheon."
Jadi aku tidur untuk empat setengah jam yang tersisa dengan menyandarkan satu sisi kepalaku di kaca jendela pesawat dengan selimut yang kubiarkan hanya menutupi kaki sampai pinggangku. Tapi rasanya tidak begitu. Yah, aku tidur selama empat jam sepuluh menit, tidur dengan posisi yang tidak mengenakkan itu harusnya setelah bangun aku mengalami tortikolis pada leher, kesemutan pada jari-jari tanganku yang kedinginan, lalu bersin beberapa kali, sayangnya tidak kualami sama sekali. Aku bangun dengan posisi tidur telentang dengan kursi yang disetel seperti ranjang, dua selimut tebal yang membungkus tubuhku, bantal bulat berwarna ultramarine berada di bawah lenganku, dan dua tangan yang hangat, benar-benar hangat, seolah selama empat jam sepuluh menit itu kedua tanganku menggengam tumblr berisi cokelat panas. Kemudian sekarang, panasnya menjalar ke lenganku, terus naik hingga pundakku, lalu menyerang leherku, dan akhirnya mengumpul semua di pipiku –aku bertaruh wajahku pasti semerah tomat busuk sekarang.
Aku membuka mata, terkejut karena pikiranku sendiri –seseorang menggengam tanganku erat dalam waktu lama. Sedetik aku langsung menoleh ke kursi sebelahku. Pemiliknya duduk tegap dengan tablet di tangannya. Dia sedang bermain Battlefield 4 dengan mimik wajah serius.
Otakku mulai bermasalah. Lagi. Untuk kesekiankalinya.
Aku menatap Cho Kyuhyun karena aku pikir dia menggengam tanganku saat aku tidur tadi, tapi sepertinya dia punya pikiran lain. Cho Kyuhyun menoleh ke arahku setelah menguap lebar dan mengucek matanya dengan punggung jari telunjuknya, dia menatapku dengan intens dan tak berkedip. Ini adalah kesempatanya untuk mengajakku bicara, atau kesempatanku untuk menanyakan kabarnya, tapi sampai pramugari menyuruh kami memakai sabuk pengaman lewat speaker, tak ada dari kami yang membuka mulut. Kami hanya saling menatap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top