March 14th
Barry mengagetkanku dengan kepalanya yang berada tepat di atasku. Aku sudah melepas kaca mata hitam yang kukenakan untuk kulempar ke wajahnya ketika dia menunjukkan layar ponselnya padaku.
"Len bilang kalau laki-laki ini baru saja mematahkan hatimu. Si Jenius itu sedang menipuku, kan?"
Untuk sesaat aku terpaku pada gambar yang Barry tunjukkan. Ini pertama kali aku melihatnya sejak waktu itu. Aku memang sengaja menghindarinya. Disetiap kesempatan. Aku tidak percaya hanya dengan melihat gambarnya saja membuat darahku berdesir.
Barry menarik ponselnya dari wajahku saat dia menjatuhkan pantatnya di atas pasir yang panas. Lelaki itu menggengam ponselnya dengan kedua tangan dan menatap lekat sosok di dalam gambar.
"Bagaimana mungkin wajah seperti ini bisa membuat Allana jatuh hati? Tidak masuk akal." katanya, menggelengkan kepala. "Lihat saja wajahnya, dia punya dua pipi mirip donat yang dipanggang Ibuku setiap akhir pekan."
Aku mengangkat tangan nyaris memukul kepala Barry, tapi kuurungkan.
"Pucat. Garis rahang tidak jelas. Tidak punya jambang seperti Liam. Dan ada bekas jerawat. Seandainya bibir penuhnya ini tidak digores Bobbi Brown, kupikir jadi satu hal yang mungkin bisa dibanggakan selain hidungnya yang tidak perlu dikhawatiran. Dan tentu saja matanya, terlihat tajam dan dalam, sedikit mengintimidasi tapi penuh kasih sayang. Baiklah, kuakui aku suka matanya."
Aku juga. Aku suka ketika mata itu menatapku setiap saat.
"Oh sial! Jenis tas apa yang dijinjingnya? Semoga bukan tas bukan milik Ibunya. Tentu kiamat kalau sampai aku pergi dengan tas seperti ini dan berkata 'hai' pada siapa saja yang kujumpai."
"Yah, jangan lakukan itu. Aku tidak mau kiamatku datang karenamu."
Barry mengangguk. "Sudah jelas kalau Si Jenius itu menipuku. Sialan, aku pasti akan membu−"
Aku merasa pundakku ditarik ke samping sampai tubuh dan wajahku menghadap ke arah Barry.
"Bloody hell!" umpat Barry. "Len sama sekali tidak bohong, sekarang aku seperti sedang melihat gadis yang ditinggal mati pacarnya."
Aku menepis tangan Barry di pundakku. "Jaga kata-katamu." hardikku.
Untuk sesaat Barry diam –yang kuasumsikan kata-kataku barusan melukai harga dirinya. Tapi dia langsung memasang senyum satu sudut sambil berkata, "Cameron, jelas dia hanya pencundang yang kebetulan mewarisi wajah tampan ayahnya yang seorang model. Cavel Edssel, dia paling tampan di angkatanmu tapi bukan paling tampan di sekolah. Skandy, dia hanya kapten tim basket yang semua tahu akupun pernah berada di posisi itu. Hiro Kevin, kau mencampakkannya tak kurang dua minggu sejak kau mengencaninya. Dan Mac, aku tahu kau tertarik pada pacar kakakmu."
Aku selalu lupa kalau aku pernah mengencani Hiro selama dua-belas-hari. Terima kasih untuk Barry yang sudah mengingatkan.
"Apa yang lelaki ini miliki yang tidak kumiliki? Kenapa kau mau berkencan dengan mereka tapi selalu menolakku? Kenapa kau tertarik dengan Mac tapi tidak mau melirikku sedikitpun?"
"Barry, aku tidak ingin membahas masa lalu."
"Tapi aku ingin, Al. Aku bisa mati penasaran."
"Oh ya?" sinisku. "Kenapa tidak mati saja kalau begitu? kau bisa cari tahu lewat perjalananmu menuju neraka."
Barry tertawa. "Ini baru Allana yang kukenal."
Aku menggeram. Semua orang mengira kalau mereka mengenalku, tapi tak ada satupun dari mereka yang tahu kalau aku benci rasa lengket yang ditimbulkan air laut.
"Kau tidak benar-benar menginginkan mereka. Seseorang yang pernah benar-benar kau sukai adalah Zac, dan itu sudah lama bahkan sebelum kau mengenal Cameron lalu mengencaninya."
Mungkin bagi Barry sesederhana itu alasan aku mengencani mereka, tapi bagiku tidak. Cameron, aku berkencan dengannya karena aku ingin membuktikan pada Dad kalau keberadaanku memiliki arti bagi orang lain –sama seperti Aby. Bersama Cavel aku hanya ingin menutup mulut Aby yang bilang Cameron mendepakku demi kapten Cheers. Skandy, aku mengencaninya setelah Mac terang-terangan menunjukkan ketertarikannya pada Aby. Hiro aku memutuskannya setelah pesta prom berakhir, dia hanya kuanggap patner in crime untuk membuat malam pesta prom Aby tidak berkesan. Barry tidak akan percaya kalau aku mengatakan padanya alasan aku mengencani mereka adalah aku ingin membuktikan pada Dad, dan Aby, aku bisa bertahan di dalam dunia mereka yang menyiksa.
Barry menunjukkan ponselnya lagi ke arahku dan mengetuk dua kali gambar laki-laki yang ada di sana. "Jadi apa kehebatan orang ini, Allana? Karena tentu saja aku tidak percaya kalau orang ini adalah orang kedua yang kau sukai selain Zac. Dia sama sekali tidak terlihat seperti tipemu."
Aku mengedikkan bahu, menyelipkan sejumput anak rambut ke belakang telinga. "Sejujurnya, dia tak punya kehebatan yang berarti. Satu-satunya kehebatan yang dia miliki adalah ribuan teenagers yang antri untuk mendapat sebuah autograph-nya."
"Apa?"
"Banyak sekali yang tidak dimilikinya dibandingkan semua hal yang kau miliki, Barre" kataku. "Dia hanya seorang Superstar."
"Gila!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top