Jul 29th
Jika ada satu yang perlu kupelajari mengenai menjalin hubungan dengan Cho Kyuhyun, yang terjadi hampir selalu, adalah membiarkan pergi sebuah ekspektasi. Apapun yang kuharapkan atau kubayangkan, seringnya berakhir membuatku kecewa.
Cho Kyuhyun tidak seburuk itu, aku tahu, tapi dia benar-benar payah untuk memahami satu kalimat yang sudah jelas sebelumnya telah kukatakan berulang kali –tidak ingin bertemu dengan teman-temannya! Dan ketika Cho Kyuhyun bilang akan mengajakku sarapan di sebuah rumah makan kecil yang menurutnya sangat enak, yang kupikirkan adalah kami akan duduk disebuah meja kecil dengan dua kursi saling berhadapan, aku merasa senang, aku akan menghabiskan pagiku bersama Cho Kyuhyun sebelum gendang telingaku berdenyut keras karena terlalu lelah mendengar pertanyaan-pertanyaan Professor Seung-Lim. Tapi aku harus membuang jauh-jauh ekspektasiku itu karena Cho Kyuhyun mengajak teman-teman Super Star-nya.
Dan yang membuatku paling tidak menyukai keadaan ini adalah aku harus berusaha menyamai antusiasme Cho Kyuhyun bertemu dengan teman-temannya.
Aku harus mendengar celoteh teman-teman SMA Cho Kyuhyun, mendengar mereka mengagumi anting-anting plastik yang dipakai seorang gadis di sudut ruangan, mendegar mereka mengejek salah seorang temannya yang dahulu senang mengenakan jaket terbuat dari kulit warna hitam yang memiliki rumbai-rumbai panjang melintasi bagian dada dan punggung –Jon Bon Jovi style.
Aku tertawa, sungguh. Hanya tidak sekeras orang yang mengenakan sweeter warna merah menyala atau lelaki berkaca mata yang duduk di ujung meja. Dan sengaja atau tidak, terkadang mereka berbicara menggunakan dialek yang sama sekali aku tidak mengerti artinya. Seakan mereka memang tidak ingin aku mengerti.
"Jadi Cho Kyuhyun, sudah berapa lama kau pacaran dengan gadis ini?"
Pertanyaan satu temannya membuatku merasa seolah tidak ada di antara meraka. Tentu saja aku berusaha tidak memutar mata.
"Awal tahun."
Bohong.
"Dan kau baru mengenakannya pada kami sekarang?"
Cho Kyuhyun tersenyum. Aku mengangkat dagu ketika dia menatap ke arahku. Really?
"Kurasa tipe-mu sudah berubah sekarang,"
Aku tidak ingin ucapan teman-teman Cho Kyuhyun mempengaruhi mood-ku, tapi ucapan lelaki berjambul barusan berhasil menembak titik kepercayaan diriku. Aku ingin tahu seperti apa tipe Cho Kyuhyun jaman dulu; apa dia lebih menyukai gadis bertubuh pendek ketimbang tinggi seperti aku? Apa dia menyukai mata yang sipit ketimbang mata besar berwarna hijau yang mempesona? Apa tipe Cho Kyuhyun dulu adalah gadis berambut keriting? Dan berotak biasa-biasa saja? Aku penasaran.
Aku meraih tangan Cho Kyuhyun, meremasnya sedikit lebih kuat, memasang senyum satu garisku dan menatap matanya. "Kelasku mulai setengah jam lagi," kataku. "Aku harus pergi sekarang kalau tidak ingin telat."
"Aku antar,"
"Tidak usah."
Aku bangkit dari duduku, melepaskan tanganya, lalu berrgumam selamat tinggal. Dan pada satu poin aku merasa hebat karena meninggalkan meja makan itu tanpa melihat ke arah teman-teman Cho Kyuhyun.
Tentu saja Cho Kyuhyun mengikutiku keluar. Kami hanya bediri dalam diam selama beberapa saat. Aku harap supir Dad lekas datang ketika aku mengirimnya pesan satu menit yang lalu.
"Hei," kata Cho Kyuhyun, mmbenamkan ujung-ujung jarinya ke dalam saku. "Kau tidak menghabiskan sarapanmu."
"Ya, porsinya terlalu banyak."
"Kau hanya makan empat suap."
"Well, nafsu makanku sedang tidak bagus,"
Cho Kyuhyun seperti hendak mengatakan sesuatu, namun kemudian mengurungkan niat.
"Apa?" tanyaku.
"Tidak ada apa-apa."
Tentu saja bukan tidak ada apa-apa. Apapun yang akan dia katakan ada hubungannya dengan sikap teman-temannya dan perubahan mood ku yang begitu kentara. Cho Kyuhyun tahu kalau teman-temannya lah yang membuat nafsu makanku hilang.
"Kau tahu, kalau kau benar-benar takut telat, aku bisa mengantarmu."
Aku menggeleng. Kelasku mulai satu jam lagi!
Cho Kyuhyun menghela nafas. Aku mengangkat sebelah alis mempertanyakan maksud helaan nafasnya.
"Aku sudah lama tidak berkumpul dengan mereka. Dulu kami sangat dekat."
"Aku mengerti."
Oh, aku tidak mengerti, sungguh. Aku hanya punya satu teman dan sekarang sedang tidak bicara padaku. Lalu Bagaimana aku tahu apa yang dirasakan Cho Kyuhyun sekarang?
"Aku akan menemuimu lagi nanti,"
Aku ingin bertanya padanya kapan, tapi segerombol anak SMA yang berada di seberang jalan menatap dan mengacungkan jari telunjuknya ke arah kami. Damn, sedetik aku lupa kalau aku mengencani seorang Super Star.
"Bye, Cho Kyuhyun."
Sementara aku menatap punggung Cho Kyuhyun yang menjauh, lalu terpisah oleh dinding-dinging kaca bangunan di depanku, mobil Dad muncul dan berhenti satu meter dari tempatku berdiri.
Ini bukan pertengkaran. Bahkan sedikitpun tidak mendekati. Tapi aku merasa tubuhku sedikit gemetar, dan tentu bukan karena rasa lapar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top