Jul 21th
Aku tidak benci Dad. Benci terlalu berlebihan menurutku. Aku hanya kadang merasa kecewa padanya, terlalu banyak marah sebenarnya. Berulang kali.
Sepeti tadi malam –lupakan malam-malam sebelumnya ketika dia membuatku nyaris mematahkan kuku-kuku jemariku, Dad masuk ke kamarku dengan sopannya; tandai kalimat sakrasku, aku sedang setengah berbaring di ranjang dengan punggung dan kepala bersandar pada kepala ranjang dan dengan Born A Crime di pangkuanku.
Saat itu sudah merasa ada yang tidak beres, dan biasanya firasatku tidak pernah salah. Terlebih dengan ekspresi wajah Dad yang seolah-olah siap menelanku, pipi merah karena menahan amarah, dan napas yang tidak beraturan, aku semakin yakin kalau aku dalam masalah besar.
Dan masalah besar itu benar-benar menghantam perutku sampai aku rasanya mau muntah meski Dad baru mengatakan, "Professor Park menghubungiku."
Damnit! Aku tahu dimana sumber kesialanku malam itu; persahabatan Dad dan Professor Park yang terjalin sejak SMA.
Beginilah kira-kira argumen sengit antara Dad dan aku tadi malam:
"Dia bilang kau tidak ikut partisipasi dalam Kyung Hee Family Music Festival," kata Dad
Aku mengangguk.
"Kenapa?" tanyanya.
"Tidak tertarik," jawabku.
"Tidak tertarik?" ulang Dad, dengan sebelah alis naik ke atas. "Kau bakal menambah point di kredit mata kuliahmu."
"Aku tahu."
"Kau tahu?"
Aku mengangguk. "Ya," kataku.
Dan membuat Dad menghela napas keras. Wajahnya terlihat semakin merah karena marah. Aku berani bersumpah kalau malam tadi Dad menahan emosinya untuk menghindari anjing tetangga menyalak apabila mendengar suara teriakannya yang melengking.
"Beri aku alasan lain, alasanmu barusan terlalu biasa, Al," katanya kemudian. Tak mau menyerah.
"Nilaiku sudah lebih dari cukup?"
Dad menatapku tidak percaya, "Serius, Allana?"
Aku menutup bukuku, menarik napas sebelum berkata, "Aku benar tidak tertarik, Dad. Dan lagi pula, semua instrumen sudah ada yang memainkannya. Aku tidak terlalu dibutuhkan."
"Kau bisa main Harpa,"
"Aku mamainkannya lima tahun yang lalu."
"Violin?"
Aku menggeleng.
"Cello."
"Dad!"
Dad tidak berkedip, "Allana, kau akan ikut Kyung Hee Family Music Festival, kau dengar?"
"Tidak," kataku, menggeleng. "Aku tidak akan memainkan Harpa, Violin, atau Cello, aku tidak mau ikut."
"Kau harus, Allana."
"Kenapa?"
"Karena aku bilang kau ikut."
Bukan kejutan kalau akhirnya aku mengikuti permintaannya, atau perintahnya. Tidak mengejutkan kalau pada akhirnya Dad menang. Dia selalu menang. Aku seharusnya tahu aku bertempur pada sesuatu yang aku ditakdirkan untuk kalah sejak awal. Seharusnya, dari pada beradu argumen, aku lebih baik menyusun beberapa kalimat kekalahan untuk diriku sendiri.
Jadi disinilah aku sekarang, di kelas Recital-Composition III bersama Professor Seung-Lim, yang memberitahu Profesof Park kalau aku menolak ikut acaranya, yang kemudian oleh Professor Park yang merupakan sahabat lama Dad, mengadu pada Dad kalau aku akan melewatkan kesempatan besar kalau tidak ikut andil dalam Kyung Hee Family Music Festival . Dan mendengarkan namaku di sebut dari podiumnya menyuruhku untuk bergabung dengan satu kelompok besar muridnya sehabis matakuliah ini berakhir, yang kurang lbeih sepuluh menit lagi. Rehearsal, katanya.
Lee Hong yang duduk di sebelahku menatapku dengan senyum menjijikkannya yang membuatku semakin kesal. "Itu tidak buruk, Al," bisiknya, "Kau jadi bisa bolos kelas History of Music."
"Kudengar ada beberapa alumni Kyung Hee juga yang diundang," kudengar Yoo-jin berbisik di sebelah Lee Hong.
"Siapa?" tanya Lee Hong, dengan nada penasaran.
Aku menatap Yoo-jin ketika gadis itu mengedikkan bahu. Satu kelas lagi dengannya tidak buruk, tapi aku lebih berharap kalau kami tak pernah satu kelas lagi. Dia terlalu banyak bicara.
"Pasti bukan Kyuhyun, dia, kan sedang wajib militer."
Mendengar nama Cho Kyuhyun, aku teringat dengan pacarku itu. Aku belum bertemu lagi dengannya sejak pesta malam itu. Buruknya, aku mengusirnya pergi ketika dia mengantarku pulang, tanpa menawarinya masuk ke dalam rumah. Dipikir-pikir, aku sedikit keterlaluan. Atau mungkin sangat keterlaluan? Entahlah, yang jelas aku merasa sedikit bersalah keesokan harinya, terlebih aku tahu aku aku tidak akan melihat Cho Kyuhyun lagi dalam waktu dekat ini. Aku tidak tahu apa aku akan merindukannya kali ini ketika kami tidak saling bertemu. Namun kketika aku mencoba menelponnya, nomornya tidak bisa dihubungi. Ponselnya mati.
"Aku harapKangMin-Kyung."
Yoo-jin hanya menggelengkan kepala mendengar ucapan Lee Hong sementara aku menatapnya tak mengerti.
"Laki-laki dan wanita cantik," jelas Yoo-jin padaku.
Oh.
Professor Seung-Lim mengakhiri kelasnya dengan menggiring kami ke auditorium. Bersama Lee Hong aku berjalan di belakang, lumayan jauh dari beberapa anak yang terlihat tak sabar di depan.
"Well, kau sudah memutuskan mau main apa?" tanya Lee Hong,
Aku mengedikkan bahu, "mungkin aku gabung denganmu, jadi panitia tidak cukup melelahkan juga."
Lee Hong tertawa, "kau bisa lebih dari itu."
Memang.
Kurang-lebih beberapa murid Professor Seung-Lim cukup menyebalkan. Mereka tidak mau repot-repot mengarahkanku –apa yang harus kulakukan, dan apa yang tidak boleh kulakukan, apalagi bertanya padaku, yang mereka lakukan hanya menatapku dan membicarakanku di belakang. Yoo-jin bersikap cukup manis dengan melempar senyum padaku ketika dia berada di atas panggung dengan violinnya. Seperti orang tolol aku membalas senyumnya, lalu meletakkan pantatku di salah satu kursi penonton setelah Lee Hong meninggalkanku sendirian untuk bergabung dengan beberapa temannya, melihat murid-murid Professor Seung-Lim mulai memainkan instrumen mereka. Mozart - Symphony 35, Haffner.
Sampai Professor Seung-Lim sendiri menghampiriku, duduk di sebelahku terpisah satu kursi, "terima kasih sudah mau gabung, Allana," basa-basinya.
"Aku tidak tahu apa yang kulakukan di sini," kataku.
"Tentu saja memainkan instrumenmu, kau akan solo."
Aku tidak bernapas selama dua detik sebelum tertawa lucu. "Kau bahkan belum pernah melihatku main instrumen," kataku.
"Siapa bilang?"
Aku menoleh ke arahnya.
"Abbey Lecture Hall, Dublin Orchestral Players. Kau solo dengan Cello-mu."
Shit!
"Kau boleh pilih apa instrumenmu. Kau paling berpengalaman dari semua muridku."
Mulutku menganga seperti ikan. Kepalaku mulai panas tapi aku terlalu terkejut untuk bicara. Professoe Seung-Lim pernah ke Dublin. Dan melihatku!
"Beritahu aku kalau kau sudah memutuskan tentang penampilan solomu."
Aku membawa punggungku bersandar pada kursi, membenarkan cara bernapaku. Dia bercanda, kan? maksudku Professor Seung-Lim. Karena aku sama sekali tidak mengerti apa dia sedang sungguh-sunguh atau bersikap ironis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top