August 5th

Pada tanggal 5 Agustus tahun 1975, Dutch Elm Disease membunuh tiga juta pohon di Inggris. Pada tanggal dan tahun yang sama pula, tidak hanya membunuh Ibuku dengan tatapan matanya yang membuatnya tak bisa berdiri tegak dengan dua kakinya karena tak kuat melihat pesona Dad yang terpancar dari kedua iris matanya, Ayahku juga membunuh setiap harapan para lelaki yang berusaha mendekati Ibuku.

Dan empat puluh dua tahun kemudian, meski aku tidak melihat secara langsung bagaimana wajah kasmaran mereka, tak melihat setajam apa tatapan Dad, atau secerah apa senyum Mom ketika mereka saling jatuh cinta, tapi melihat bagaimana cara Dad menatap foto Mom dalam figura yang digantung di dinding sejak setengah jam yang lalu; seolah hanya tubuh Dad yang berdiri di sana sedang pikiran dan jiwanya entah ada dimana, dan lakrimasi yang meningkat di sepasang netranya sehingga membuat matanya berkilauan karena air mata, aku bisa tahu emosi yang terjadi tahun 1975 itu masih ada sampai sekarang.

Siapa yang tidak menginginkan perasaan seperti yang mereka rasakan? Bahkan aku yang merasa genius pun menganggap cerita mereka menarik. Seorang anak lelaki suku proto-Altaic menikahi seorang anak Perdana Mentri Irlandia. What a beautiful story tales.

"Allana?"

Meski sedikit terkejut karena Dad mengingat kalau aku berdiri di sebelahnya, aku berusaha tidak menoleh ke arahnya. "Ya?"

"Kenapa kau menolak main di acara Kyung-Hee?"

"Aku tidak menolak,"

"Kau tidak memberi kepastian pada Professor Seung-Lim."

"Aku masih memikirkannya."

Seolah tercengang mendengar ucapanku, Dad menggelengkan kepala. Dia menoleh ke arahku, mempelajari wajahku. Aku memusatkan perhatianku pada foto pernikahan Mom dan Dad yang tergantung tepat di atasku: And they lived happily ever after, MR&MRS Song.

"Aku kecewa," katanya. seperti ini pertama kalinya aku membuatnya kecewa. Dia seharusnya sudah terbiasa karena itu yang selalu dia rasakan pada setiap keputusanku.

"Ketika Professof Park memberitahuku kalau Kyung-Hee mengadakan sebuah acara musik, aku pikiir dengan memberitahunya kalau kau pernah ikut sebuah Orchestra di Dublin aku bisa melihatmu di atas panggung lagi."

Aku tidak terbiasa dengan sikap terbuka Dad yang seperti ini, biasanya dia hanya akan langsung mengatakan apa yang ingin dia katakan, dan tak menerima penolakan. Tapi melihat sisi Dad yang baru saja dia tunjukkan, aku malah tak bisa berkata-kata.

"Kau tahu mimpi terbesar Abiagel?"

Fuck.

"Dan kau tahu apa keinginan terbesar ibumu?"

Fuck.

"Kenapa kau menyia-nyiakannya, Al? Bahkan kurasa kalau Abigael masih hidup, dia tidak akan melepaskan kesempatan itu, kasihan sekali dia tidak bisa meraih mimpinya. Dan sekarang kau punya kesempatan itu lagi, berada di atas panggung, aku yakin Ibumu pasti bahagia kalau dia bisa melihat penampilanmu secara langsung.

Fuck. Fuck. Fuck.

"Kau tidak akan selalu seberuntung ini, Allana."

Sikap terbuka Dad membuatku merasa begitu tak punya hati dan bengis. Dia sengaja melakukannya untuk membuatku menjadi orang yang paling tidak bersyukur di muka bumi.

Dan percakapan itu yang kupikir akan berakhir menjadi kisah mellow drama karena ini adalah pertama kali Dad merayakan anniversary pernikahannya tanpa Mom, berubah menjadi bulldozer yang melindas moodku dengan sangat kuat sampai hancur berkeping-keping.

Tidak heran kalau percakapanku dengan Cho Kyuhyun lewat telepon beberapa jam kemudian lebih terkesan buang-buang waktu.

"Bagaimana harimu?"

"Biasa saja."

"Kau sudah baca buku yang kuberi kemarin?"

"Belum sempat."

"Kau harus membacanya, itu berkisah tentang sepasang murid Columbia yang tidak pernah menyadari apa yang terbentang di depan mereka, lalu memilih memutuskan hidup seperti keinginan mereka, membuat mereka harus berpisah sampai satu tahun kemudian mereka bertemu lagi."

Oh, aku jadi tidak tertarik membacanya. "Akan kusempatkan."

"Kupikir aku tidak bisa mampir ke rumahmu lusa,"

"Okay."

"Ibuku mengundangmu makan malam di rumah hari minggu nanti, kau mau?"

"Aku akan memikirkannya."

"Serius?"

"Ya."

Diam sejenak.

"Hei, Allana, apa kau sudah makan?"

"Hm."

"Apa yang akan kau lakukan malam ini?"

"Menyelesaikan esay-ku lalu tidur."

"Ngomong-ngomong kau sudah nonton film Tulip Fever?"

"Belum,"

"Ayo kita nonton bareng kalau begitu. Aku beli kasetnya, dan kau siapkan popcorn. Kita akan duduk manis di sofa empukmu dan melihat kisah cinta terlarang Sophia ber−"

"Tidak tertarik.

"Huh?"

"Aku tidak suka film bergenre drama , Cho Kyuhyun."

Lalu helaan nafas terdengar di ujung sambungan.

"Sorry, aku lupa."

"Ya."

"Kau baik-baik saja, Allana? Kau sedang ada masalah?"

"Tidak."

"Suaramu terdengar seperti sedang kesal,"

"Aku mengantuk."

"Baiklah, aku akan−"

Tut... tut... tut...

Aku seharusnya tidak mengangkat telepon dari Cho Kyuhyun kalau pada akhirnya aku memutuskan sambungannya secara sepihak. Satu bukti lagi kalau aku memang tak punya hati dan bengis.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top