August 23th

Cahaya malam ini berwarna abu-abu lembap, persis seperti kaca berdebu di sebuah rumah yang tak berpenghuni. Pohon-pohon di ujung jalan seperti tangan keriput melawan langit yang berawan. Wangi musim gugur di ujung mata tercium, terbawa sapuan angin yang memukul cukup kuat wajahku, menggema di telingaku seperti sedang mengejek, membuat mataku berkaca-kaca sampai aku harus berkedip berulang kali supaya tidak terlihat seperti gadis yang baru saja menangis di pinggir sungai Han.

Gelap dan sunyi, satu-satunya suara seperti berjarak satu juta mil jauhnya. Tidak ada siapa-siapa, hanya aku, cakrawala, langit di ujung jariku, dan Len. Dan aku merasa baik-baik saja, sedikit sedih, cemas, dan takut. Tapi ini adalah dunia dengan kemungkinan yang tak terbatas, yang tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi besok. Hanya saja ini, sekarang, meski gelap, dan rasanya hanya ada dua orang di sini, aku dan Len, di tempat yang tidak begitu ramai, aku merasa dunia tidak terlalu kejam padaku.

Dan Len menghela nafas, cukup keras untuk aku mendengarnya. "We live in a sad, sad world," ucapnya.

Aku tersenyum, getir.

"Aku mencoba berpikir tentang semua hal baik tetapi itu sangat sulit ketika aku langsung bisa menyebutkan nama orang yang ingin bunuh diri, atau ketika aku bertanya kepada seseorang bagaimana keadaannya dan dia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan semua itu adalah bohong."

Aku memejamkan mata, menarik nafas panjang, "kau tidak tahu, Len," balasku. "Aku takut sepanjang waktu harus berpikir dan menyadari betapa sedihnya aku sebenarnya. Dan aku sangat takut itu tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah jadi lebih mudah."

"I wish there was something i could do, Alle."

Aku membuka mata, mendongakkan kepala menatap langit malam, berpikir, tapi tak ada yang bisa ku katakan, hanya bisa meraih tangan Len dan menggengamnya. "Jangan takut padaku."

Len menatapku, satu sudut bibirnya terangkat sebelum mengeluarkan suara tawa keras. "Aku takut padamu ketika kau mematahkan pensil Barbara jadi dua waktu kelas tujuh, aku seperti melihat asap merah keluar dari dua telingamu!"

Aku mencibir, "dia merobek kertas gambarku."

Aku membiarkan Len terlena dengan ingatan masa lalunya, tidak masalah dia mengingatku dengan sifatku yang kejam, aku memang seperti itu.

"Kau tahu, aku menyukai Allana yang dulu, yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi, yang selalu berada selangkah di depan, yang punya mimpi, mimpi untuk hidup lebih baik, tinggal di tempat lebih baik, pola pikir yang lebih baik, dan selalu punya sesuatu untuk membantunya mengatasi setan di dalam kepalanya." Len menyikut rusukku, "kau masih punya mimpi-mimpi itu? Allana yang ingin jadi seperti Dolly Parton," tanyanya.

Aku tertawa, sumbang. Dulu, dulu sekali, aku ingin menjadi seperti Dolly Parton, seorang penyanyi, penulis lagu, multi-instrumentalis, produser rekaman, aktris, pengusaha, dan philanthropist. Tapi ketika aku tahun pertama SMA, yang aku inginkan adalah masuk kuliah, meraih gelar, menjadi astrophysics atau journalist –apa saja yang tidak berhubungan dengan musik, punya apartemen yang jauh, jauh dari Ayahku, hidup dengan seekor Golden retriever menghabiskan sisa hidupku yang menyedihkan.

"Aku tidak tahu,"

"Kau tidak tahu? Juilliard menginginkanmu!"

"Aku tahu."

"Itu hal besar, Alle. Tidak sembarang orang di rekrut Juilliard. Dan sejak SMP?"

Aku menggeleng, "itu bukan masalah besar. Aku suka musik, tapi aku tidak merasa cukup pantas untuk masuk ke sana. Dan itu dimaksudkan untuk orang lain, bukan aku."

"Abi maksudmu?"

Aku mengangguk. "Masuk Juilliard adalah mimpinya."

Len diam, aku menatapnya, tersenyum tipis, lalu menyandarkan kepalaku di pundaknya.

"Pulang ke Dublin, Alle."

"Hm?"

"Pulang ke Dublin bersamaku. Atau pergi ke mana saja ke tempat yang kau inginkan. Menetap disana, hidup seperti yang kau inginkan."

"Lalu meninggalkan ayahku sendirian di sini?"

Len menarik napas, "bicarakan dengan ayahmu, kurasa dia akan mengerti."

Dad akan mengerti... Dad akan mengerti... Dad akan mengerti...

Mungkin kalau aku mengatakannya berulang-kali, aku tidak akan meragukan ucapan Len barusan. Aku bisa mempercayainya seperti aku mempercayai ucapan ucapanya dulu.

"Tapi kau juga harus ingat Alle. Kau punya pacar, pikirkan dia."

Pacar, Cho Kyuhyun, cinta.

Cho Kyuhyun pernah bertanya padaku apa aku mencintainya, tapi cinta selalu membuatku takut, itu akan membuatku melakukan banyak hal gila. Dan konsep cinta pada pandangan pertama hanya hal yang tidak bisa diterima logikaku. Mungkin itu sebabnya tiga kata di atas tsulit untuk digabung menjadi satu kalimat yang utuh.

Pacar, Cho Kyuhyun, cinta.

"Kenapa aku merasa dia bukan orang yang tepat untukku?"

"Alle!" Len terpenjat, tubuhnya menjauh ke samping, membuat kepalaku tak bisa lagi bersandar di pundaknya. Dia menatapku dengan mata setengah melotot, seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Aku menatapnya balik, "aku tidak bertemu dengannya hampir sebulan."

Len terlihat kehilangan kata-kata untuk membalas ucapanku. Aku juga tidak berniat untuk membahas lebih jauh masalah percintaanku dengannya, jadi aku bangkit dari dudukku, meraih tanganya, lalu berkata, "ayo pulang, aku tidak mau masuk rumah sakit lagi karena kedinginan."

Len mengangguk.

Len tidak bicara selama perjalanan pulang, tidak saat kami berjalan ke tempat parkir, atau di dalam mobil ketika menuju ke rumah. Dia diam. Sesekali menoleh menatap ke arahku, tersenyum tipis sampai rasanya aku tidak yakin dia memang tersenyum. Bru ketika tiba di rumah, sebelum aku masuk ke kemarku, Len meraih tanganku, menahanku, menatapku intens.

"Boleh aku minta satu permintaan?"

Aku menangguk, "ya."

"Telpon Kyuhyun."

"Apa?"

"Jujur padanya."

***

a/n :

please, let me know what you think!  Give me advice, your vote  or ask whatever you want to ask

and let's be patient for Cho Kyuhyun and Allana moment

See you in the next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top