August 18th
"Good morning, Alle." Len duduk di sisi kananku, di atas ranjang, tangan kanannya memegang ponsel yang layarnya menyala.
Meski aku tidak membalas sapaanya, atau tersenyum, dan ekspresi wajahku yang kuyakin tidak seramah istri pangeran William –bukan hanya karena Len membangunkanku, tidak membuat lelaki itu takut untuk meraih ujung piyama rumah sakitku, memancingku untuk membuka mata, menoleh ke arahnya.
"Apa kau tahu kenapa pacarmu terus-terusan mengirimiku email? Menanyakan kabarmu?" Len mengerutkan kening ketika aku tidak menjawab pertanyaannya. "Bukannya dia ada di camp militer?"
Aku merintih dan memutar tubuhku membelakangi Len, pipi kananku menempel pada bantal dan merasa jijik dengan rambutku yang tak tersentuh sisir sejak beberapa hari yang lalu. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai yang dibuka separuh seperti perisai yang mengenai mata, membuat kelopakku tidak bisa terbuka sempurna, sementara tenggorokanku sudah seperti gurun Nevada, kering, sulit menelan ludah. Menggunakan ke dua kaki, kaki kiriku lebih tepatnya, aku berusaha menendang selimut yang menutupi separuh tubuhku. Setelah perjuangan yang cukup menyiksa punggungku, dan kakiku tentu saja, selimut akhirnya jatuh ke bawah.
"Kau mau kemana?"
Aku berjalan melewati meja nakas, sofa panjang yang berada di sisi kanan ranjangku menempel pada dinging, kedua tanganku meraih apa saja yang bisa jadi pegangan untuk membantuku berjalan dengan dua kaki yang seperti jelly. Aku berhenti dan menatap ke arah Len yang berjalan ke arahku, berniat membantu.
"Kau butuh sesuatu? Katakan saja, biar kuambilkan."
Tidak ada yang bisa Len ambil karena yang kubutuhkan adalah kamar mandi.
Berdiri di depan cermin, aku menatap tajam bayanganku: iris hijau yang kemerahan berbingkai lingkaran hitam, tulang pipi yang menonjol, rambut berantakan yang lebih parah ketimbang apa yang kubanyangkan, oh, jangan lupakan kulitku yang sepucat mayat hidup. God, aku terlihat seperti keluarga Cullen di di film Twillight.
"Hey, kau tidak memberitahu Kyuhyun kalau kau dirawat di rumah sakit?"
Aku menghela napas, tidak punya tenaga untuk menyuruhnya enyah dari hadapanku.
"Alle, aku bertanya padamu," ucapnya, bersandar pada daun pintu, menyilang kedua tangan. "Aku tahu kau mendengarku dengan jelas, tapi emang terkadang aku lupa kalau kau seperti wanita tua, kau tahu, beberapa orang di panti jompo yang kehilangan pendengaran mereka."
Aku punya api yang menyala-nyala di kepalaku, dan wajahku yang terasa panas bisa jadi buktinya.
"Well, aku merasa sedikit lega karena bukan hanya aku saja yang tak mau kau ajak bicara." Len tertawa kecil. Sarkatis. "Atau mungkin kau merasa hebat dengan mendiamkan semua orang?"
Jika seseorang bertanya padaku siapa orang yang paling kubenci di dunia ini, maka saat ini juga aku akan mengatakan Leonard. Dia tidak punya hak untuk menghakimiku seolah aku yang meninggalkannya di belakang, sedang nyatanya dia yang membuatku selama ini merasa kalau aku bukanlah teman yang baik untuknya.
"Berapa lama lagi aku harus memberimu waktu supaya kau bersikap dewasa? Kau tidak lelah terus-terusan bersikap kekanak-kanakan?"
Well, aku belajar bahwa cara terbaik untuk hidup adalah tidak membiarkan banyak orang untuk masuk ke dalam kehidupanku. Mendorong mereka yang menaruh perhatian padaku keluar radarku, bukan karena aku tidak mengingakan perhatian tersebut, tapi karena aku tidak mau membuat diriku menjadi sangat membutuhkan mereka.
Tapi aku tahu dengan baik. Satu-satunya hal yang konstant di dunia ini adalah perubahan: orang berubah, perasaan berubah, keadaan berubah. Aku berubah, ya. Tapi tidak seutuhnya. Aku masih dan selalu menjadi raging bitch untuk semua orang.
Jadi tidak heran kalau aku mendorong pundaknya dan membanting pintu tepat di depan wajahnya.
Ketika aku keluar dari kamar mandi, Len lenyap, hanya wangi parfumnya yang tertinggal di dalam kamar. Blue olibanum favoritnya.
Aku duduk di tepi ranjang. Menatap sekeliling, pandanganku jatuh pada ponsel yang tergeletak di atas meja nakas. Mengedipkan mata, aku merasa tidak bersalah tidak memberitahu Kyuhyun kalau aku ada di rumah sakit. Aku hanya memikirkan kalimat tajam apa yang akan keluar dari mulut sexy Cho Kyuhyun ketika bertemu denganku nanti. Dia tidak akan senang, aku tahu itu.
"Selamat pagi, Nona Song."
Perawat Kim dan temannya masuk ke kamarku, mengerutkan kening ketika melihatku duduk dengan telapak kaki menyentuh lantai.
"Kau butuh sesuatu?" Lagi. Aku merasa sudah seperti wanita tua di panti jompo.
Aku membiarkan dua perawat itu mengecek tekanan darahku, lalu merapikan tempat tidurku, menggeram pelan ketika teman perawat Kim menjatuhkan gelas ke lantai, dan menepis keras tangan perawat Kim yang memegang sisir.
"Biarkan aku melakukannya," katanya. Aku menatapnya beberapa saat, mengangguk terpaksa karena tahu perawat Kim tidak akan menyerah.
"Aku suka rambut panjangmu yang dulu, kau seperti tokoh Disney yang semua anak kecil menyukainya."
Aku menarik dua kakiku ke atas kasur, menyilangnya, lalu merubah posisi dudukku memunggungi perawat Kim.
"Tapi rambut pendekmu tidak buruk, kau terlihat lebih segar."
Well, aku tak pernah menyukai rambut pendekku. Seperti bukan aku. Dan kupikir, dengan memotong rambutku, sial yang menempel padaku akan ikut terpotong, nyatanya tidak. Aku masih merasa tidak beruntung.
"Selesai! Kau bisa panggil aku kapan saja kalau kau butuh sesuatu. Bahkan untuk duduk di sini seharian menemanimu nonton film horor."
Tapi perawat Kim tidak suka film horor. Aku sendirian sepanjang hari; Dad tidak datang, Len tidak kembali lagi sejak aku membanting pintu di depan wajahnya. Dan rasanya sudah lama ketika Dokter kesal padaku karena aku tidak menyentuh makan siangku lalu memakasaku memakan makan malamku, yang membuatku kepingin muntah ketika melihatnya. Mereka menyikasaku dengan memberiku bubur hambar setiap hari.
Aku tidak bisa tidur, mataku berair, dan tanganku gemetaran. Patung Saint Marry yang menggantung di dinding mendadak menarik untuk diperhatikan ketimbang seseorang yang baru saja masuk ke kamarku dan duduk di atas ranjangku, lalu mengusap-usap rambutku.
Ada apa dengan rambutku hari ini? Oh ya, berantakan, kasar, dan menjijikkan.
"Hari ini aku ke rumahmu, ayahmu pergi bekerja meninggalkanku sendirian di sana. Sebenarnya ada pembantumu, dia mengajakku bicara, tapi aku tidak tahu apa yang dibicarakannya, wanita tua yang malang."
Aku tidak mau Len mengusap rambutku, membuatku merasa jijik dengan diriku sendiri.
"Aku masuk ke kamarmu," lanjutnya. "Okay, aku tahu kau tidak suka aku mengusik privasimu, tapi aku mengabiskan setangah hariku di sana; tidur siang di ranjangmu, nonton film, mandi, bahkan makan. Dan rasanya itu bukan seperti kamarmu, Al. Semua yang ada di dalamnya membuatku merasa bosan. Aku tidak menemukan satu pun yang menunjukkan kepribadianmu. Lalu aku berpikir, apa yang terjadi denganmu?"
Aku pikir Len sudah selesai bicara, tapi belum rupanya.
"Aku tahu kau sangat complicated, tipe gadis yang sulit untuk dimengerti. Tapi kau sangat predictable untuk orang yang menyediakan waktunya memahamimu. Percaya atau tidak, aku memahamimu, lebih baik dari yang kau pikirkan."
"Kau hanya punya aku sebagai temanmu, kakak perempuanmu pergi meninggalkanmu, kau harus pindah ribuan kilometer dari tempat yang membuatmu bangga menjadi dirimu sendiri. Kau dipaksa hidup di sini, menjadi gadis yang kuat untuk ibumu yang lemah, menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Kau menikmati setiap kesedihanmu sendirian. Kau kesepian."
Aku memejamkan mata. Well done, dokter Phill.
"Kau hancur, Allana. Kau kehilangan ibumu, dan kau tidak punya seseorang yang membuatmu tersenyum di sini selain dirinya. Kau sendirian, kau tak percaya pada orang lain, kau tak lagi punya sandaran, kau tidak peduli dengan hidupmu, tak peduli dengan sekelilingmu, dengan orang-orang yang menyayangimu. Dan kau merasa tak ada gunanya kau hidup. Kau tenggelam dalam kesedihanmu sendiri."
"Damn, Alle! Kenapa aku begitu kejam padamu? Alih-alih berada di sisimu aku malah mendiamkanmu! Membiarkanmu melewati itu sendirian! For God's sake, aku teman baikmu, sahabatmu!"
Enam bulan, dan sekarang dia menangis karena mengasihani nasipku. Yah, kenapa kau lakukan itu padaku, Leonard? Dari semua orang yang aku kenal, kenapa selama enam bulan itu dia juga membuatku merasa seolah aku tak punya arti apa-apa?
"I'm sorry, Allana, I'm really sorry. You don't deserve that."
Aku tidak percaya aku masih punya persediaan air mata setelah kupikir aku menghabiskannya beberapa minggu setelah kepergian Mom. Aku juga tidak merasa jijik ketika lendir ingus keluar dari hidungku, atau ludahku yang menyembur kemana-mana. Dan aku tidak peduli kalau suara yang keluar dari mulutku membangunkan pasien di kamar sebelah.
Len adalah sahabatku, yang melihat kebaikan dalam diriku dan membuatku menginginkan semua hal yang kutakutkan, hal yang membuatku menyerah karena memiliki atau memeluk mereka hanya akan menyebabkan kesedihan dan kesakitan. Seberapa sering dia membuatku kesal, membuatku marah, mengecewakanku, dia selalu punya kesempatan ke dua.
"Poor, Allana."
Hell, poor me!
"My sister."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top