August 17th



Perawat-perawat itu sudah pergi bersama psikiater yang mengira kalau aku ini mengidap depresi, dan aku masih di sini.

Kenapa mereka masih saja menahanku di sini?

Sambil diterangi cahaya kamar yang menyiilaukan mata dan dari lampu-lampu billboard sepanjang jalan di luar sana yang masuk lewat jendela kamar, serta suara dari TV LED yang menanyakangkan Salute menempel di tembok, aku menyalahkan Dad; Dad yang bilang kalau di rumah sakit konsidiku terpantau, kalau dokter selalu siaga apabila terjadi hal buruk denganku, dia juga bilang kalau aku butuh suasana lain –seperti aku suka saja berada di tempat penuh bau kematian ini.

Aku masih tidak bicara pada Dad, tapi bukan berarti dia tidak bicara padaku. Dad bicara setiap ada kesempatan, sepanjang waktu, menanyakan kabarku, memancingku untuk mengobrol. Dan ketika Dad tidak ada, seperti saat ini, dan aku sendirian, tidak ada yang kuinginkan selain mendengar celotehnya, tentang apa saja.

Aku sedang menatap langit-langit kamar dan menghela napas berharap mata lekas mengantuk setelah tanyangan di TV sudah tidak menarik lagi, dan ponselku kehabisan baterai sejak lima hari yang lalu dan aku tidak berniat menyambungkannya dengan pengisi daya ketika pintu ruang inapku dibuka dari luar.

"Lihat siapa yang datang," kata Dad, senyum di wajahnya membuatku sesak karena terlalu lebar. "Leonard!"

Aku yakin aku tidak berkedip selama beberapa detik begitu pandanganku berserobok dengan sepasang iris sebiru samudera. Jantungku berdetak cepat memompa darah, mengalirkannya ke seluruh tubuh sehingga rasanya semuanya menjadi merah. Kedua telapak tanganku mengepal sampai perih akibat kuku jari-jemariku menancap di sana. Rasanya aku tidak bisa bernapas. Aku kepingin menangis.

Kenapa dia harus ada di sini?

"Hi, Al," sapa Len.

Aku tak melepaskan pandanganku dari matanya. Tak membalas sapaannya.

"Hey." Len berdiri di sana, menatap ke arahku dengan senyum kecil di bibirnya, mengenakan kaos yang menunjukkan kekar tubuhnya, cukup untuk menunjukkan bahwa dia memang menarik.

Dad berdehem. "Aku tahu apa yang kau pikirkan; kau kesal, bukan, kau marah," kata Dad. "Kau tidak setuju aku memberitahu Len, apalagi sampai membuatnya dia datang kemari."

Aku ingin bertanya, "lalu kenapa kau memberitahunya?" tapi Dad sudah menjawabnya lebih dulu.

"Kau tidak mau bicara pada siapa-siapa, Al. Kau membuatku khawatir. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan."

Aku benar-benar kepingin menangis.

Dad berjalan mendekat ke ranjangku, disusul Len di belakangnya. Aku membuang muka. Kenapa aku kepingin sekali menangis?

"Berhenti bersikap kekanak-kanakan."

Aku tidak melihat apa yang sedang dilakukan Dad, tapi aku mendengar suara vas di atas meja nakas bergeser. Aku menoleh ke arahnya, Dad menghubungkan ponselku dengan dengan pengisi daya sebelum meraih ponselnya dan keluar meninggalkan aku berdua dengan Len.

Len duduk di kursi samping rajang, tersenyum simpul. "Hei, bagaimana kabarmu?" tanyanya.

Aku menatapnya matanya, tak menjawab pertanyaannya.

"Kau terlihat berantakan."

Fuck, yeah. Aku tidak mandi secara normal lebih dari seminggu, rambutku kusut dan tidak wangi, kulitku seperti tanah kering gurun sahara. Lalu apa? Dia tidak suka melihatku berantakan seperti ini? Kenapa tidak pergi saja, bukankan selama beberapa bulan terakhir dia sudah pergi dari hidupku? Kenapa harus muncul lagi?

Ujung jari-jemari tangan Len menyentuh lenganku, aku berusaha menepisnya meski tubuhku tidak bertenaga. Aku tidak ingin dia menyentuku. Aku juga tidak ingin dia berada di sini. Terlebih aku tidak ingin dia melihatku dengan kondisi yang berantakan seperti ini.

"Kau sudah makan? Sudah minum obatmu?" tanya Len, dengan nada selembut seperti sebelumnya, seolah sikapku barusan tidak menyakiti perasaannya. "Apa ada yang sakit? Atau mau aku pangilkan dokter?"

Aku membuang nafas. Keras. Memejamkan mata, aku berharap Len peka kalau saat ini aku tidak ingin bicara padanya.

"I miss you, Allana," ucapnya, sambil memelukku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top