August 13th
PEMBICARAAN TERAKHIR, yang berhasil kuingat :
Aku : Slow down!
Cho Kyuhyun : Kau mabuk.
Aku : No shit Sherlock! Slow down.
Cho Kyuhyun : Aku seharusnya tidak membiarkanmu masuk ke dalam.
Aku : Cho Kyuhyun!
Cho Kyuhyun : Lihat dirimu, kau baru saja merusak masa depanmu dengan mabuk-mabukan.
Aku : Oh my God!
Cho Kyuhyun : Kau mau aku bilang apa pada ayahmu? Aku meninggalkanmu selama dua jam dan kau bertingkah liar? Kau pikir ayahmu tidak akan kecewa melihatmu seperti ini?
Aku : Stop!
Cho Kyuhyun : Kau pikir aku tidak kecewa melihatmu seperti tadi? Mereka menatapmu! Mereka melihat kau seperti gadis tidak baik.
Aku : No! No! No!
Cho Kyuhyun : Kau bahkan tidak melihat penampilan Lee Hong seperti katamu karena kau sibuk memamerkan tubuhmu!
Aku : OKAY! You try to kill us? let's die together. Hit your car with a roadblock!
Cho Kyuhyun : Kau ingin aku seperti apa, Allana? Aku berusaha untuk memahamimu, tapi kau tak membiarkanku untuk mengerti dirimu. Apa yang sebenarnya kau inginkan?
Aku : Cho Kyuhyun!
Cho Kyuhyun : Aku ragu kalau kau mencintaiku, Allana. Tidak mungkin kalau−
Aku : Slow down!
Cho Kyuhyun : Kau tidak mencintaiku.
Aku : I don't wanna die yet.
Aku belum ingin mati. Seberapa sering aku mengulang ucapanku di malam itu, aku tahu kalau aku memang belum ingin mati. Aku takut setengah mati kalau Cho Kyuhyun benar-benar menabrakkan mobilnya pada pembatas jalan, yang ada dipikiranku saat itu adalah Dad: Dad yang menatap tubuhku tanpa nyawa, Dad yang tak bisa berkata-kata (mungkin karena setengah jiwanya merasa senang karena aku akhirnya aku pergi dari hidupnya), Dad yang kehilangan nafsu makan, Dad yang duduk di beranda belakang sendirian, Dad yang kesepian.
Ucapan itu pula yang membuat Cho Kyuhyun menepikan mobilnya. Aku marah padanya, tentu saja, dia nyaris membunuh kami berdua. Tapi dengan caranya mencengkeram setir mobil, deru nafas yang pendek dan menggebu, dada naik-turun seiring detak jantungnya yang berdenyut cepat tergambar dari otot lehernya yang mengeras, Cho Kyuhyun lebih marah padaku.
Dan pembicaraan terakhir yang kuingat itu, adalah pembicaraan kami seminggu yang lalu. Sebelum aku pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
Mereka bilang dinding lambungku terkikis, yang menyebabkan perih pada perut yang diikuti rasa nyeri pada ulu hati serta mual seperti yang kualami sejak dua minggu lalu, setiap malam. Selang sehari setelah mereka melakukan CT Scan dan endoskopi untuk memastikan keberadaan bakteri H.pylori, mereka memberitahu Dad kalau aku terjangkit ulkus. Dan entah karena apa tiba-tiba saja kulitku begitu lembek sampai parasit, protozoa dan teman-temannya bisa masuk, membuat immune systemku lemah. Lebih parah dari itu, mereka menyimpulkan kalau selama ini, selama berbulan-bulan belakangan, aku mengidap insomnia.
Well, peptic ulcer, ulkus, autoimun, dan insomnia. Aku tidak pernah berharap berakhir di rumah sakit, tapi di sinilah aku sekarang, berbaring di atas ranjang lemah tak punya tenaga –bahkan untuk mendengarkan celoteh Dad sekalipun.
Beginikah rasanya berbaring di ranjang rumah sakit; lemah, sunyi, hampa, bosan, hanya melihat langit-angit kamar yang polos? Kenapa Aby dan Mom betah sekali keluar masuk rumah sakit, padahal aku yang baru seminggu di sini sudah ingin segera keluar dan tidak ingin menginjakkan kaki lagi ke dalam.
Beginikah rasanya sebelum mati: mendengar deru nafas sendiri yang keluar dengan helaan pelan, isi kepala mulai memutar film yang berisi hal-hal buruk yang pernah dilakukan, bibir gemetar seolah-olah ingin berteriak pada dunia yang selama ini kejam padanya, dan perasaan sedih sampai rasanya mau menangis, atau merasa dunia yang begitu besar ini begitu sunyi, begitu merasa sendiri, kesepian.
Itu yang kurasakan, tapi aku tahu aku belum akan mati. "Kau akan baik-baik saja," kata Dad beberapa malam yang lalu, dan aku tak bisa tak menganggukan kepala padanya begitu melihat kantung panda di bawah matanya.
"Kau butuh sesuatu, Al?"
Aku diam, memejamkan mata, menjadi begitu egois karena ingin tidur sedang Dad sudah tidak tidur selama berhari-hari.
"Kau mau minum?"
Aku masih diam. Merasa tidak pantas mendapat perhatian dari Dad padahal aku tak melakukan hal besar yang membuatnya harus menaruh perhatian padaku. Ayolah, aku bahkan tidak sedang sekarat.
"Kau tahu, kau tidak bisa mendiamkanku terus-menerus. Bagaimana aku bisa tahu dimana letak kesalahanku kalau kau tak mau bicara? Apa yang sudah kulakukan sampai putriku sendiri tidak mau menatap mataku?"
Saat aku berusia sepuluh tahun, Dad pernah tidak bicara padaku selama lebih dari seminggu karena aku berkelahi di sekolah sehingga membuatku di skors selama tiga hari. Pada suatu malam aku berpikir, ayahku sendiri tidak mau bicara padaku, lalu siapa yang mau bicara padaku? Jadi aku menangis malam itu karena terlalu takut dan sedih, merasa begitu kecewa pada diriku sendiri, sampai aku merasa lelah menangis terus dan berjanji pada diriku sendiri untuk bersikap lebih baik. Tapi aku mengulainya lagi, aku membuat Dad tidak bicara padaku lagi. Kemudian aku mulai terbiasa dengan sikap Dad yang membuatku merasa tak berarti.
Jika apa yang kulakukan saat ini membuatku mendapat lebel gadis pendendam, silahkan saja menyebutku demikian. Aku tidak ingin bohong kalau aku sedikit senang melihat Dad yang begitu putus asa menginginkanku buka mulut. Tapi bukan itu alasannya. Aku hanya ingin dia membiarkanku sendirian untuk beberapa saat seperti ketika dia meninggalkanku sendirian selama ini, mengijinkanku memasang topeng bajak lautku dan mengibarkan layar kapalku sebelum badai-badai itu kembali menghantamku. Menghancurkan hidupku.
"Bicara padaku, Al. Beritahu aku apa yang ada di dalam kepalamu. Kau tak akan mampu menyimpannya sendiri. Aku di sini."
Aku tahu aku bisa mendiamkan Dad selama, dan semauku, tapi aku juga tahu kalau aku tidak bisa membuat Dad diam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top