April 3th
Ini mengenai kunjunganku ke Dublin awal tahun lalu, terhitung hanya lima hari jika aku mengkalkulasikannya dengan lama perjalanan yang kutempuh dari Seoul ke Belfast dan sebaliknya. Mike –lelaki paruh baya yang dulu bekerja pada Dad, sudah berdiri di depan pintu kedatangan dengan kertas karton konyol warna pink bertuliskan namaku dengan huruf kapital dan dihiasi bunga-bunga, tentu saja Milli, anaknya yang berusia sembilan tahun yang punya kekurangan pada syaraf motoriknya yang melakukan itu. "Pulang ke rumah?" tanyanya, yang kujawab dengan kedikan bahu dan senyum tipis yang tak akan disadarinya.
Aku duduk di kamar tidur yang tadinya adalah kamar tidurku selama sembilan belas tahun enam bulan dua minggu pertama hidupku. Kamar itu masih kusebut kamarku, tapi bukan benar-benar kamarku lagi karena aku sudah punya kamar sendiri di tempat yang jaraknya ribuan kilo dari tempat itu. Kamarku berdinding putih, ada cermin setinggi dua meter yang tergantung di sisi kanan ranjang tidur dan lampu hias berbadan cokelat berbentuk jamur, di depannya sebuah sofa warna putih yang bersebelahan dengan meja kaca berbentuk bulat, di samping sofa terdapat hiasan kuda poni warna putih yang kata Mom adalah kuda putih milik Pangeran Harry. Meja dengan desain kotak harta karun tepat berada di depan TV –aku meninggalkan beberapa Vogue di dalamnya, dan sebuah catatan kecil pada selembar kertas yang ditulis Len beberapa tahun yang lalu. Meja nakas berbentuk bulat itu masih berada di samping ranjang, hanya saat aku benar-benar memperhatikan keberadaaanya, tidak ada lagi kotak musik di atasnya. Dan satu yang tak pernah berubah, teleskop. Ya, teleskop pemberian Len. Teleskop itu tetap berada di depan pintu kamar yang menyambungkan ke beranda luar, lehernya sedikit medongak ke atas, mengarah pada Lynx di Langit Utara. Ketika berkemas untuk pindah ke Seoul, dengan sengaja kutinggalkan teleskop itu tanpa kain yang menutupi, supaya ketika aku kembali lagi aku punya pekerjaan untuk membersihkan debu yang menempel. Yang benar-benar mebuatku kelelahan setengah mati setelahnya.
Menggedor pintu kamar Len setelah berhasil melompati dua pembatas balkon, tidak pernah ada dalam bayanganku pertemuan kami akan sedikit barbar. Len memelukku cukup kuat sampai aku terdorong ke belakang dan jatuh sampai kepalaku menghantam lantai yang dingin. Kami bergulat di atas lantai. Kemudian seperti biasa, Len hanya meringis dan berkata, "seharusnya kau berdarah supaya aku yakin aku tidak memeluk hantu barusan." Itu sama sekali bukan sapaan yang menyenangkan. Jadi reaksi balasanku adalah: "LEONARD!" diikuti dengan: "Tengkorakku retak!" Lalu: "Beri aku makan aku kelaparan!"
Berikutnya, aku bertemu dengan Rebbeca waktu sedang jalan-jalan di Grafton Street bersama Len dan Shandy –adik Len. Aku tidak pernah mengira kalau food court akan menjadi tujuan istri Zach, karena wanita itu sangat gila dalam tindakan diet sadomasokis-nya. Dan berulang kali kukatakan, aku bukan orang beruntung di dunia ini, wanita itu ada disana bersama Zach yang menggendong bayi perempuan di lengannya mengantri tepat di belakangku di McCafe, tempat aku membeli Burger dan mereka membeli Hotdog. Pertemuan itu tidak terlalu berkesan da tidak ingin kuingat sebenarnya, tapi ketika teringat wajah Rebecca saat Zach menyerahkan bayi perempuannya yang kentut dengan suara seperti terompet, dibarengi bau tidak sedap yang membaur dengan aroma daging panggang, aku tidak bisa tidak tersenyum. Betapa malunya mereka karena disalahkan dalam kasus penghilangan nafsu makan massal. Tentu saja Zach mengajakku mengobrol, dia bertanya tentang kabarku, kehidupanku di Seoul, lalu sekolahku, tapi menjawab pertanyaan dari seorang laki-laki yang pernah menyakiti perasaanmu rasanya seperti aku bicara pada Claire, tak bermakna.
Dari semua hari-hariku yang kuhabiskan bersama Len, sehari bersama Shandy, Cuma satu yang menarik perhatian Ayahku. Kunjunganku ke makam Aby. Sebenarnya, dia tidak bertanya padaku pada teleponnya di hari kelima, tapi kata-katanya yang berbunyi, "Jika kau merasa dingin di sana, kenakan sweeter. Atau pergilah ke rumah Leonard, pasti di sana rasanya hangat." Jelas itu menjurus pada Aby. Yah, Aby tak suka dingin, dia suka mengenakan sweater, dan selalu menyuruh Dad menyalakan api di tungku. Jadi apa yang kulakukan pada sore hari yang bersalju itu kubagi dengannya. Aku bilang kalau tempat itu terawat, meski sedikit tertutup salju tapi dipadukan dengan buket mawar merah yang kutaruh di atasnya membuat pemandangannya indah. Tentu aku melewatkan bagian dimana aku tiba-tiba tiba menangis, tidak ada pengaruhnya sama sekali pada Dad kalau aku mengatakannya. Namun disitulah bencananya. Suara perawat kim terdengar dari nomor telepon rumahku pada tengah malam waktu Dublin, mengatakan kalau Dad sakit.
Tepat sekali, aku kehilangan satu minggu ku di Dublin karena harus pulang pagi-pagi sekali dengan penerbangan pertama menuju Incheon.
Hari ini, mendapati Dad berjalan ke arah refigerator dengan langkah sedikit sempoyongan dan wajah kusut setelah beberapa hari selalu pulang terlambat, aku berpikir kalau kesehatanya menurun.
"Al, apa yang sedang kau lakukan? Kau baik-baik saja?"
Mungkin penampilanku benar-benar menakutkan sampai-sampai membuat Dad mengkhawtirkanku alih-alih mengkhawatirkan dirinya sendiri.
"Kenapa kau di dapur tengah malam begini?" tanyanya lagi.
"Aku haus. Aku turun untuk mengambil air," jawabku.
Dad bergabung denganku di meja counter dapur bersama segelas air putih yang ditaruh di sebelah gelasku. Kami diam beberapa saat, hanya ada beberapa suara yang berasal dari jam dinding, akuarium, serta dahan pohon yang tertiup angin. Sampai akhirnya Dad berkata, "aku mencintai Ibumu." Yang membuatku darahku berdesir tak kala mendengarnya.
"Dia juga mencintaimu," kataku.
"Aku merindukannya."
Aku mengangguk. Aku tahu. "Aku juga merindukannya," ungkapku.
"Apa yang akan Ibumu katakan andai dia melihat kita duduk dan bicara tanpa nada tinggi seperti sekarang?"
Aku tersenyum kecil. "Dia akan membuatkan kita sup ayam dengan brokoli setengah matang," jawabku.
"Ditambah segelas susu kedelai yang jadi andalannya."
Aku menggeleng, "Aku tidak suka susu kedelai. Baunya tidak enak."
"Aku setuju."
Itu sudah bukan lagi rahasia di antara kami, Dad tidak suka susu kedelai dan aku juga. Untuk beberapa alasan kami saling sepakat untuk tidak memberitahu Mom mengenai ini. Dan rupanya, kami berdua cukup mahir untuk mengelabui Mom mengenai gelas yang kosong di atas meja bekas susu tersebut.
"Dad, apa kau baru saja mengunjungi Mom?"
Dia mengangguk.
Sekarang aku tahu kemana Dad menghilang dari subuh di akhir pekan lalu dan kembali setelah lewat matahari terbenam, alasan kenapa Dad sering pulang telat akhir-akhir ini, juga alasan kenapa wajahnya begitu menginginkan sebuah tamparan untuk mengembalikan warna merah yang hilang akibat suntikan botok yang nyatanya tak pernah dilakukan.
"Ajak aku kalau kau berencana ke sana lagi."
"Tentu." kata Dad, lalu bangkit dari duduknya dengan mendorong kursi ke belakang kemudian mengambil satu langkah ke samping. "Kita akan mengunjunginya bersama."
"Yah."
Aku meminum air putihku, tinggal setengah gelas sekarang, dan ini gelasku yang kedua. Dad sudah lima langkah di belakangku, suara sepatunya yang memberitahu, lalu aku menghentikannya dengan memanggilnya.
"Apa?" tanyanya.
Aku memutar kursi untuk melihat wajahnya. Aku menggigit bibir bawahku, lalu menarik napas panjang dari hidung dan menghembuskan lewat mulut.
"Aku bertemu dengan Cho Kyuhyun," kataku. "Dia terlihat baik-baik saja. Dia sempat tersenyum pada temannya, bahkan mengobrol dengan Len. Hanya dia tidak bicara padaku, yang kupikir wajar setelah apa yang kulakukan padanya. Tapi sejujurnya, aku menginginkan dia tidak baik-baik saja."
Dad diam sambil melipat lengan kemejanya. Aku merasa kalau dia sedang berpikir tentang kenaifanku.
"Bagus kalau akhirnya kau bertemu dengannya, karena kau tidak akan bisa terus-terusan menghindarinya. Dan kalau Kyuhyun bisa baik-baik saja, kau juga bisa."
Aku tercengang. Meski aku bisa mengatasinya dengan memasang ekspresi wajah dimana ucapannya barusan sama sekali tidak menampar harga diriku, tapi aku tahu dia bermaksud baik. Hanya bukan dengan cara yang baik. Tipikal Dad.
"Satu lagi, Al, sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu."
Aku mengerutkan kening.
"Aku bilang pada temanku kalau kau bisa menyanyi, dan aku mengusulkanmu untuk mengisi di acara wedding ceremony pernikahan anaknya. Temanku setuju." Aku sudah membuka mulut untuk menolak tapi Dad keburu menambahkan, "acarnya minggu depan. Dilarang menolak. Aku hanya medengar kata 'iya'."
Aku baru saja ingin mengatakan kalau aku menyukai ayahku. Ayahku yang tadi maksudku, yang bicara manis dan terlihat sangat sangat penuh kasih sayang. Tapi rupanya itu hanya sementara yang muncul karena bayang-bayang dari kesedihannya. Kenyataannya, Dad tetap seperti Dad yang biasanya. Diktator.
"Waktunya tidur, Al. Sudah malam," katanya.
Aku hanya mengangguk lantaran sedikit kesal dengan keputusannya. Siapa yang bilang aku mau bernyanyi?
"Cho Kyuhyun itu, dia punya bakat ber-acting."
Dad masuk ke dalam kamar setelah mengatakan itu sementara aku tetap tinggal di dapur untuk waktu yang cukup lama. Memikirkan kata-katanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top