April 13th
"Selamat pagi, Dad. Asik ngobrol dengan calon menantu?"
Itu dulu yang selalu kukatakan ketika melihat Dad dan Mac duduk di ruang santai di minggu pagi yang cerah dengan awan-awan tipis di langit biru bersama seorang pembawa berita sedang mereka sibuk bicara sambil main catur. Dan selalu, berulang-ulang terjadi, hanya menyisakan aku dengan rasa sakit hatiku meneguk air es di dapur sendirian. Selalu. Karena aku menyukai Mac.
Sekarang, setelah takdir memberitahu kami bahwa Mac tidak akan pernah menjadi bagian dari keluarga ini, aku ingin sekali menyapa Dad yang menunjukkan senapan berburunya pada Mac di ruang kerjanya dengan kalimat, "Pagi Dad, asik diskusi dengan mantan calon menantumu?" sekedar untuk membuat diriku senang. Namun perjalanan hidupku satu tahun yang lalu mengajarkanku untuk tidak bermain-main dengan kematian seseorang, dan pada perasaan kehilangan yang ditinggalkan.
Aku kehilangan Aby, tapi aku tidak pernah mengakuinya. Aku merindukannya, tapi aku menolak untuk melihat gambarnya yang bebingkai dalam sebuah frame foto dan tergantung di dinding. Aku tidak ingin terus membencinya, tapi aku selalu mengingat kenangan-kenangan buruk yang berkaitan dengannya. Dia saudari perempuanku, bahkan ketika aku berharap kalau Karlie Kloss saja yang jadi kakakku, kenyataan tidak bisa diubah, Aby tetap anak dari Ibuku yang lahir tiga tahun sebelum diriku. Aku berterima kasih pada Cho Kyuhyun yang berulang kali menamparku dengan kata-katanya sehingga aku berani mengakuinya sekarang. Terima kasih juga untuknya yang dengan jelas mengatakan bahwa aku gadis yang tak diinginkan oleh semua laki-laki, karena dengan semua yang dia lakukan padaku, aku tak punya keberanian untuk menyukai Mac lagi.
Aku melewati dapur, melupakan tenggorokanku yang minta air. Di ruang tengah yang sudah berubah seperti kapal pecah Aku mencari Len, tapi dia sudah tidak ada di sana –hanya ada Barry dan Antonoff yang masih menggulung tubuh di bawah selimut dan mendengkur, serta Elliote yang sibuk mengumpulkan bungkus snack yang tercecer.
"Pagi, Al," sapanya.
Aku tak membalasnya. "Dimana Len?" tanyaku.
"Di taman belakang," jawab Elliote, "dengan Cam."
Jadi aku berlalu dari ruang tengah menuju taman belakang. Jarak tiga meter sayup-sayup aku mendengar suaraku sendiri. Bukan sebuah gema seperti yang kau dengar ketika kau berteriak di lembah, ini benar benar suaraku dengan versi yang lebih baik ketimbang aslinya.
We dance the night away.... We drank too much.....
I held your hair back when.... You were throwing up...
Lee Hong akan tertawa kalau dia tahu pada akhirnya aku menyanyikan lagu melankonis itu.
"Dia bernyanyi sangat indah."
Aku menyukai pujian Len, namun aku tahu masih ada kelanjutannya. Jadi aku hanya berdiri bersandar pada daun pintu, menyilang kedua tangan di dada, pasang telinga, dan pasang kuda-kuda siap menendang pantat laki-laki itu kalau-kalau pujiannya hanya kalimat pembuka dari olok-oloknya.
"Pertama kali aku mendengar Allana bernyanyi adalah ketika dia baru saja dihukum oleh Ayahnya. Dia meloncat ke beranda kamarku lalu menangis. Karena Allana tidak suka ada orang yang melihatnya menangis, dan aku tidak mau seseorang mendengar tangisannya, jadi aku memutar musik underground dengan keras. Satu jam berlalu Allana akhirnya duduk di sebelaku, dia menyandarkan kepala di bahuku dan bilang, "Dad melarangku menyukai musik underground." Lalu sepanjang sore itu, untuk menghiburnya, kudorong dia untuk menyanyikan tiap lagu yang muncul di kepalanya, selantang yang dia mau. Dan aku tak pernah mendengar musik underground dinyanyikan dengan begitu indah sebelum hari itu."
Aku tersenyum. Dan menyesal.
"Kau pernah mendengarnya bernyanyi, Cam?"
Aku memirinkan kepala untuk melihat wajah Cam. Laki-laki itu mengangguk. "Tiga hari yang lalu," jawabnya.
"Oh ayolah, maksudku saat kalian pacaran dulu."
Cam menyunggingkan senyum, senyum satu sudut yang bermakna sinis. "Seringnya saat bersamaku, dia lebih senang menunjukkan sisi tidak manisnya."
"Kadang-kadang dia memang tidak manis."
"Aku pernah berpikir dia tidak waras."
"Jangan sampai dia mendengar ucapanmu barusan."
"Kita sudah tidak saling bicara."
I knew I loved you then..... But you'd never know......
'Cause I played it cool when I was scared of letting go....
"Apa yang membuat kalian putus, Cam?"
"Dia tidak cerita padamu?"
"Tidak."
"Kupikir dia melakukannya, bilang kalau aku cemburu pada kedekatan kalian."
Itu kisah yang kubuat untuk menutupi versi jelek dari cerita mengenai kisah seorang gadis jalang yang dicampakkan kekasihnya sang kapten basket karena lebih memilik bersama ketua pemandu sorak berambut merah.
"Sejujurnya, pada awalnya aku tidak mengerti kenapa aku mau repot-repot berteman dengan Allana. Dia adalah alasan buku-buku perbaikan diri ditulis. Bagaimana bisa mengamati orang lain padahal tampaknya dia sama sekali tidak peduli, tapi tidak mengenal dirinya dan benar-benar buta terhadap kesalahannya sendiri yang tidak kumengerti sama sekali. Dia selalu mengejar sesuatu yang dia kira akan membuatnya bahagia, yang membuatnya senang sesaat ketika mendapatkannya, padahal sebenarnya, apa yang selalu dikejarnya tidak memberikan hasil emosional membahagiakan seperti yang dia kira."
"Seperti aku misalnya?"
You still make me nervous when you walk in the room...
The butterflies the come alive when I'm next to you...
Over and over the only truth... Everything comes back to you...
"Apa menurutmu dia pernah benar-benar menyukaiku? Dia bahagia saat jadi pacarku?"
Aku pernah menyukainya. Aku pernah merasa bahagia saat jadi pacarnya. Dia memperlakukanku dengan baik: dia mau berjalan tiga kilo karena aku bilang aku mau Frappucino, dia meneriakkan namaku ketika Tim basketnya jadi juara di musim pertama, dia menulis esay untuk hukumanku karena tidak mengerjakan PR, dia mengajakku bertemu David Gandy di kencan ketiga kami.
Tapi bukankan aku hanya seorang gadis yang buta mengenai siapa dirinya yang sesungguhnya? Sama seperti yang dikatakan Len? Yang malah menyakiti laki-laki yang sudah bersikap baik padanya hanya karena asumsi kalau aku dibodohi oleh perasaan senang sesaat yang semu. Sehingga ketika dia berganti menyakitiku aku merasa punya hak untuk membencinya.
I wanna live with you.... Even when we're ghost...
'Cause you were always there for me.... When I needed you most....
"Sebab apa yang dilakukannya padaku membuktikan kalau dia gadis jahat."
Tercengang. Aku benar-benar tercengang mendengar ucapan Cam, sampai ketika aku sadar dari shock semenit itu aku sudah mengatakan kalimat ini: "Jadi menurutmu kau laki-laki yang baik, Kapten-Tim-Basket-Yang-Selingkuh-Dengan-Ketua-Pemandu-Sorak?"
Dua orang di kursi taman menegakkan tubuh mereka. Pembuluh darah yang tadi tak terlihat di dahi Cam sekarang menonjol keluar.
"Kau pasti sangat baik sampai tak bisa menyadari kejahatanmu sendiri," sinisku.
Len berjalan menghampiriku, tapi aku masih marah padanya dan mengurungkan niat untuk minta maaf seperti yang kurencanakan tadi.
"Hey, jangan marah pada Cam. Kau salah paham dengan pembicaraan kami."
Aku menaikkan satu alis ke atas. "Oh ya?"
"Ya, aku hanya menceritakan betapa manisnya kau saat sedang menyanyi karena dia bilang dia belum pernah melihatmu menyanyi."
Aku mengglengkan kepala. "Bagaimana aku bisa menganggapmu teman terbaikku sementara yang kau lakukan hanya membodohiku?"
"Allana."
"Aku dengar dia menyebutku jahat, dan kau hanya diam saja padahal kau tahu apa yang sudah dia lakukan padaku!"
"Apa yang sudah kulakukan padamu?" Cam muncul di belakan Len. Matanya yang menyerupai laut berubah kelam dan berbadai. "Selingkuh dengan ketua Pemandu Sorak seperti katamu tadi?"
"Ya," jawabku, tidak peduli kalau ini adalah percakapan pertama kami setelah sekian lama.
"Mengenalmu membuatku tahu siapa dirimu. Kau hanya percaya dengan apa yang ingin kau percayai saja. Kau tak mau repot-repot mencari tahu kebenarnya, membuang waktu katamu. Tapi apa kau pernah merasa, sekali saja, bahwa apa yang kau percayai itu keliru?"
"Tidak."
"Kau memang brengsek, Allana. Aku tidak percaya kau masih bertahan hidup dengan sikapmu yang seperti itu. kutanya, berapa banyak laki-laki yang kau sakiti setelah aku?"
And I know that it's wrong.... That I can't move on...
But there's something 'bout you...
"Kau yang menyakitiku, Cammeron."
"Kau mempermainkan perasaanku, sialan!"
Sekarang tidak ada alasan bagi semua orang untuk tidak berkumpul menyaksikan pertengkaran sengit kami yang seharusnya sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu.
"Kau memperlakukanku seperti budak bukan seperti pacar yang bisa kau suruh-suruh semaumu! Kau ingin hotdog, aku akan mendapatkannya untukmu! Kau bilang Vogue aku akan membawakannya di hari kemudian! Kau asik tertawa besama Len sementara kau menyuruhku mengerjakan tugas-tugasmu! Kau mau diantar pulang Cavel karena aku tak kunjung muncul dari parkiran, hanya tiga menit, dan kau tak bertanya alasanku kenapa telat. Kau menamai kedekatanku dengan Mika sebagai perselingkuhan, untuk mengakhiri hubungan, padahal sebenarnya kau takut ketahuan kalau mengencaniku hanya untuk membuat dirimu lebih menonjol dibanding orang lain lainnya!"
Aku tidak bangga mengatakan bahwa apa yang dikatakan Cam separuhnya benar. Hubungan yang kujalin dengannya memang tidak semuanya tulus dari hati. Tapi dia tidak pernah tahu yang sebenarnya. Aku tidak pernah memberitahunya.
"Sekarang kau masih mau bilang kalau kau gadis yang manis?"
"Tidak."
Aku menyesal. Sungguh. Bukan pada pelakuanku padanya, melainkan pada 'kenapa aku harus mengencani orang bodoh ini?" setelah semua perlakuanku yang buruk padanya, tidak seharusnya, kan, dia jatuh cinta padaku? Tapi dia melakukannya.
Nathan mendekati Cam, menyentuhnya pundaknya dan menggeleng.
Cam menepis tangan Nathan dan mengatakan, "kau bilang di sini akan lebih baik, tapi liat, aku bahkan berusaha sekuat tenaga untuk tidak menghajar wajahnya!"
Aku yang mendengar ucapannya mendelik.
"Kau tak akan berani menghajarku," kataku, yang rupanya membuat Cam meledak.
Laki-laki itu melesat cepat ke arahku, mencengkeram kerah kemejaku, mengangkatku ke atas. Aku berusaha tidak menunjukkan keterkejutanku dan terus bernapas.
"Kau harusnya melakukan ini sejak dulu," gumamku, sehingga hanya Cam yang bisa mendengarnya.
"Jangan pikir aku takut menyakitimu."
"Lakukan saja."
"Kau pasti menyesal."
"Kau yang akan lebih menyesal."
Cam tidak akan menyakiti perempuan. Aku tahu. Karena itu aku tidak takut untuk terus bicara padanya. Tapi rupanya aku salah. Cam yang sedang berusaha mencekikku ini bukan Cam yang kukenal dulu, dia sudah berubah. Dia menyakiti perempuan. Dia menyakitiku.
Nathan berusaha menarik tubuh Cam dari belakang ketika kuku ibu jari laki-laki itu menancam di leherku, menciptakan sesuatu yang basah di sana dan perih. Len berusaha melepaskan tangan Cam di sekeliling leherku yang malah membuat cengkraman Cam makin kuat. Keira, dan Athina tidak membantu karena yang bisa mereka lakukan hanya menjerit-jerit saja. Elliote yang datang bersama Nolan sama sekali tidak melakukan apa-apa. Delany yang muncul bersama Nichole terlihat khawatir sebelum gadis itu berlari ke ruang tengah, melesat cepat, sepertinya memanggil Dad dan Mac.
Aku ingin sekali mati, tapi aku tidak ingin mati dengan cara seperti ini. Setidaknya aku ingin mati dengan keadaan yang lebih megesankan, misalnya aku mati di pelukan Aaron Taylor-Jhonson, atau sedang berciuman dengan Harry Styles.
"Lepaskan aku," kataku, dengan wajah kami yang tidak lebih dari tujuh senti. Ada kemarahan yang meluap-luap di mata Cam, kesedihan, perasaan kecewa, dan... ketakutan. Bukan hanya tentang aku, ada yang lain yang tidak kutahu. "Kau tidak mau membunuhku."
Kemarahan yang meluap-luap di sana perlahan mereda bersamaan dengan cengkraman nya yang meregang. Aku terhuyung ke belakang saat dia benar-benar membebaskanku. Aku terbatuk dan mengusap leherku yang rupanya sesuatu yang basah tadi adalah darah. Nathan sudah menarik Cam menjauh dariku ketika kubilang, "dia itu pasti sudah gila." tapi tak ada yang menyahut. Semuanya diam.
Len maju ke arahku, mengeluarkan sapu tangan dari kantung celana jensnya, kemudian membantuku menghentikan rembesan darah yang keluar di leherku.
"Kau harus tahu posisinya sebelum membuatnya begitu marah," katanya.
Keningku berkerut.
"Kau harus minta maaf padanya."
Aku menepis tangan Len. Tidak terima. "Kenapa aku harus minta maaf padanya?"
Lihat, bahkan ketika aku nyaris mati, tak ada satupun yang benar-benar peduli padaku.
"Kau harusnya tidak usah menolongku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top