April 10th
Dad menatap ngeri gaya busanaku. Dia melotot menatapku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kau yakin dengan pakaianmu?" tanyanya, yang kujawab dengan sebuah anggukan. "Kau tidak bisa mengenakan pakaian itu." ucapnya kemudian.
Aku menunduk mengamati pakaianku. Pilihanku jatuh pada dress brokat yang panjangnya di atas lutut warna caramel milik Dolce&Gabbana dengan lengan pendek, flat shoes warna warna gading tanpa heels berhias diamond imitan di atasnya.
"Kenapa?" tanyaku, tidak merasa ada yang salah dengan penampilanku.
"Karena ini pesta resmi, Al, dan kita akan berada di Katedral." jawabnya. "Kau harus mengenakan dress. Long dress." tekannya pada dua kata terakhir.
Oh sial! Aku sekarang berada di Jeju dan tidak bawa baju lain selain yang kukenakan sekarang –kecuali jika Dad mengijinkanku mengenakan jeans dan T-shirt yang tadi pagi kukenakan waktu berangkat kemari.
"Kau tak bilang kalau pernikahannya dilaksanakan di Katedral," protesku, tidak ingin sepenuhnya disalahkan dan sejujurnya sedikit menyalahkan Dad atas situasi ini.
"Aku baru saja memberitahumu."
Sudah terlambat. Pernikahan akan dilakukan satu setengah jam lagi dan aku tak mungkin kembali ke Seoul untuk mengambil salah satu dress ku. Aku dalam masalah besar.
"Lalu aku harus bagaimana, Dad?" tanyaku, menggigit ujung kuku ibu jari pura-pura gugup karena tak bisa menyelamatkan wajah Dad. "Bagaimana kalau aku tidak usah mengisi acaranya saja? Aku bisa menunggumu di hotel atau aku bisa jalan-jalan di sekitar sini."
Itu usul brilliant yang bisa kupikirkan setelah mencuri lihat pemandangan Pulau Jeju dari jendela kamar hotel tadi. Namun tanpa menunggu Dad membuka mulut, jawaban yang kutunggu sudah tercetak jelas dari wajahnya yang kaku.
"Aku yakin ada tempat penyawaan baju di sekitar sini. Kau tunggu saja biar aku yang cari. "
Kemudian Dad meninggalkanku sendirian di dalam kamar. Aku mencari kesibukan lain sementara Dad mencari gaun. Kesibukanku itu membalas pesan Lee Hong di Whatsapp yang bertanya mengenai lagu pilihanku. Aku menulis di kotak chat seperti ini: 'The Bare Necessities' yang dua menit kemudian mendapat balasan bertulis: 'aku ingin kau bernyanyi Poor Unfortunate Souls –The Little Mermaid' disusul ikon lidah melelet. Aku mulai mengetik balasannya : 'bagaimana liburanmu? Kau tidak lupa memberi makan buaya, kan?' sakrasku mengenai tempat liburan Lee Hong bersama Lani hari ini, mereka mengunjungi –kebun binatang yang berada di Busan.
Sembari menunggu Lee Hong membalas chat-ku, aku membuka twitter. Satu yang menarik dari sekian banyak twitt yang muncul di timeline-ku adalah ............
Damn, selalu harus berhubungan dengan dia.
Getaran ponsel menandakan Lee Hong membalas chat-ku. 'Bagaimana bisa raja Buaya memberi makan Buaya?' tulisnya. Lalu tiga detik kemudian di susul sebuah foto Lee Hong bersama Lani yang sedang memeluk anak singa. Apa-apaan mereka?
Aku melempar ponsel ke tumpukan bantal sebelum merebahkan tubuhku ke atas kasur dan menutup mata. Udara yang membawa wangi musim semi masuk ke dalam kamar dari jendela yang dibuka membuatku mengantuk. Kemudian semuanya terasa damai, aku mendengar suara burung, sapuan angin yang menerbangkan rambutku, ujung-ujung ilalang di telapak tanganku, tanah kering yang kuinjak, juga alunan biola favoritku. Aku pasti bermimpi.
Benar saja, karena tak lama suara Dad membangunkanku. Dia sudah kembali. Dan sekarang sedang bicara pada seseorang di telepon. Aku meraih ponselku yang ada di lipatan bantal. 09.28, tidak ada dua puluh menit sejak kepergiannya tadi, tapi di atas sofa tergeletak sebuah long dress berwarna cokelat muda bergradasi dengan warna peach lembut yang terlihat ...lumayan.
"Darimana Dad mendapatkan ini?" tanyaku, memegang ujung dress lalu mengantungnya di udara.
Dad mengantongi ponselnya dan berkata, "kenakan saja, kau tak perlu tahu dimana aku mendapatkannya."
"Masih ada lima-puluh-menit, kenapa harus buru-buru?" tanyaku.
Dad membuang napas tidak sabar. "Acaranya dimajukan. Dua puluh menit lagi kita sudah harus ada di sana."
Gila.
Teorinya, aku hanya punya waktu LIMA-BELAS-MENIT! Dan ini yang terjadi padaku dalam lima-belas-menit tersebut:
- Resleting gaunku tersangkut di tengah, aku butuh bantuan Dad untuk menariknya ke atas. Dad menggerutu mengatakan aku seperti anak kecil –lagi.
- Aku mencari alat make-up ku yang tiba-tiba lenyap seperti ditelan bumi. Aku menghancurkan tumpukan bantal yang sudah rapi menjadi tercecer di atas lantai, mengaduk isi koper dan teringat aku sudah mengeluarkan tas make-up ku begitu beberapa kaus dan floral dressku kusut semua, kemudian berlari ke toilet takut jika aku meninggalkannya di sana setelah aku mandi tadi, yang tolotnya, tas make-up ku ditemukan Dad di atas meja rias. Jadi ada teguran kecil selama dua-puluh-detik.
- Aku lolos saat memasang bulu mata, menyapukan eyes shadow dan bedak, memoles bibir dengan lipstik warna merah, tapi gagal berurusan dengan sisir. Ketukan tangan Dad di pintu kamar mandi mengangetkanku dan membuatku menjatuhkan sisir ke dalam closet.
- Sepatu. Namun bagaimana kebingungannya aku mencari sepatu yang cocok dengan dress yang kukenakan, sudah ada sepasang di bawah sofa, dengan ukuran yang pas dikakiku.
Kalau aku sedang tidak dalam keadaan tergesa-gesa, tentu aku akan memikirkan semua kebetulan ini, dari gaun yang pas kukenakan di tubuhku yang termasuk warna kesukaanku sampai sepatu yang sempat kulihat ukurannya sesuai dengan ukuran kakiku, seolah semua sudah disiapkan sebelumnya.
Lalu aku melihatnya.
Pertama, aku melihat Len berdiri di depan pintu Katedral mengenakan jas hitam sedang memainkan ponselnya ketika aku melihatnya dari balik kaca mobil. Kedua, aku melihat Barry membawa guci keramik berisi mawar putih menaiki anak tangga menuju pintu Katedral. Lalu tak jauh dari Barry, mataku menangkap siluet tubuh Cam. Serius, itu Cam –cowok yang pernah kukencani waktu SMA!
Dad membukakan pintu mobil untukku. Aku menatap tangannya yang terulur ke arahku. Tanpa menyambut uluran tangannya, aku keluar dari mobil dan berjalan tergesa menaiki undakan tangga menghampiri Len.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.
Len yang tadi tak menyadari kedatanganku buru-buru mengantongi ponselnya. "Hai, Alle!" sapanya, terlalu ceria tidak seperti biasa. Dia maju selangkah berniat memelukku tapi aku mundur dua langkah menghindarinya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ulangku.
Len sudah pasti menangkap aura kekesalanku karena dia menjatuhkan pundaknya.
"Aku sudah tahu kau tidak suka kejutan, tapi maaf, seseorang benar-benar ingin memberi kejutan untukmu."
Aku sudah pasti akan menendang tulang kering Len andai Dad tidak muncul di belakangku.
"Apa kabar Leonard?" sapa Dad pada Len. "Kau sudah bekerja keras, terima kasih."
Aku mendenggus. Barry sudah ada di samping Dad ketika aku menoleh ke belakang. Dan Cam... dia sepuluh langkah dari kami sedang menatap ke arahku, ekspresi wajahnya tak terbaca.
"Hai, Al!" seru Barry.
Aku mengabaikannya.
"Temanmu yang mana yang hari ini menikahkan anaknya?" tanyaku pada Dad. Kemudian aku melihat seseorang mengenakan Tuksedo mirip Nathan sedang berjalan menaiki undakan tangga, yang sumpah itu memang Nathan setelah jaraknya hanya delapan langkah dari tempatku berdiri. "Sejak kapan kau berteman dengan Ayah Nathan, Dad?"
Dad tidak menjawab, aku menoleh pada Len. Lelaki itu membuka mulut berkata, "Keira," dengan suara rendah.
Aku ingin tertawa karena berhasil dibodohi, tapi aku tidak bisa tertawa, atau meringis, atau sekedar tersenyum palsu. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku dan mengepalkan kedua telapak tangan.
"Kau pasti tahu kalau aku tidak akan pernah datang ke acara pernikahan ini kalau aku tahu Keira mempelai wanitanya, iya, kan?" kataku pada akhirnya.
Aku tak membiarkan Dad membalas kata-kataku atau Len mencoba menenangkanku, atau Barry yang mengemukakan pikirannya mengenai sikapku. Aku hanya berjalan dengan langkah lebar menuruni anak tangan, berhenti sebentar untuk membalas tatapan Cam dan memutar mata ke arah Nathan, lalu menghilang di belokan jalan. Aku tahu Len mengikutiku di belakang. Suara langkah kakinya yang mantap dan helaan napasnya setiap setengah menit sekali memberitahukan keberadaannya. Tidak diragukan, dia bisa menyamai langkahku dengan kakinya yang panjang, tapi dia membuat jarak. Dia tahu aku, dia tahu apa yang aku butuhkan sekarang.
Aku berhenti di tepi danau, membuang napas keras-keras, menutup mata dengan dua telapak tangan. Aku menendang kerikil yang ada di ujung sepatuku saat Len akhirnya berdiri di sebelahku.
"Alle−"
"Aku tidak mau mendengar suaramu."
Seharusnya aku senang Len ada di sini, tapi yang kurasakan hanya kemarahan saja. Aku sudah hidup dengan ketidakadilan setiap waktu, dan ada kalanya aku merasa muak hanya untuk mengasihani diriku sendiri. Aku tidak butuh semua orang memperhitungkan keberadaanku, atau mengakuiku, tapi aku hanya butuh satu orang untuk melakukan itu. Len. Aku kecewa padanya melebihi rasa kecewaku yang kurasakan untuk Dad. Dad memang begitu, dia akan melakukan apa saja semau-dia tanpa bertanya padaku, namun Len, dia akan selalu bertanya padaku, dia akan memberitahuku apapun yang harus kuketahui, dia tak akan menyimpan rahasia dariku, dan dia akan selalu ada untuk membuatku merasa lebih baik.
Kemarahan ini bukan hanya untuk Len sendiri, melainkan untuk semua orang. Semua orang yang selalu melihat mudah ke arahku. Kenapa mereka bisa melakukannya sementara aku tidak bisa?
"Aku menemukan kalian!"
Suara Barry.
"Kemari Keira, aku akan menuntunmu."
"Thanks, Bare."
Dan Keira.
"Hai, Allana."
Aku tak menjawab. Aku ingin menyelam ke dasar danau supaya tidak perlu melihat wajah Keira.
"Len, aku butuh bicara berdua dengan Allana, tidak apa-apa, kan?"
Sudah pasti Len mengangguk. Aku ingin menahan lengannya saat dia melangkah mundur supaya dia tetap tinggal, tapi itu akan membuatku terlihat seperti pecundang.
"Sudah lama, ya, kita tidak bertemu, bagaimana kabarmu, Al?"
Aku diam.
"Kau terlihat semakin cantik sekarang, aku suka potongan rambutmu ngomong-ngomong, sama seperti waktu kau berumur delapan."
Aku tetap diam.
"Kau pasti tidak menduga aku akan menikah di tempat yang jaraknya ribuan kilo dari rumahku, tapi di sinilah aku sekarang. Dan hari ini akan jadi hari pernikahanku kalau kau mau ikut bersamaku kembali ke Katedral, karena pernikahan tidak akan pernah terjadi kalau kau tidak ada."
Aku menoleh pada Keira dan melotot. "Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyaku, sangat marah.
"Jadi Pendamping Pengantin untukku."
"Gila."
Kalian tahu tugas Pendamping Pengantin? Ya, tugasnya adalah memegangi ekor gaun mempelai wanita dan memegangi cadar sepanjang katerdal supaya tidak terseret-seret di lantai, serta memperitahu mempelai wanita betapa cantiknya dia. Dan aku... tidak.akan.pernah.melakukannya!
"Tidak, aku becanda." Kata Keira, tersenyum. "Aku mau kau duduk manis terlibat dalam semua rangkaian acara pernikahanku, hanya itu."
Jadi, aku hanya duduk dengan tangan terlipat di dada sementara cahaya matahari menerobos masuk katedral lewat jendela stained glass membuat seisi ruangan terasa hangat. Aku menatap Barry yang sejak aku masuk tadi berusaha mengajakku bicara, dia duduk dua meja di seberangku bersama Eliotte, Nicole, Nolan, dan Antonoff. Dia melambai padaku serta memasang senyum lebar saat menyadari aku sedang menatapnya. Aku membuang muka, yang tanpa sadar justru menangkap mata Cammeron yang sedang memandangiku. Aku melengos, tidak menduga kalau aku bakal ketemu Cammeron hari ini. Cerita lainnya adalah, kakiku gemetar saat memasuki katedral karena sosok Mac yang menjulang tinggi di antara teman-teman wanitanya. Aku pasti sudah jatuh kalau Len tidak meraih lenganku. Itu bohong. Aku masih akan berdiri tegak meski Mac berlari ke arahku lalu memelukku. Tapi dimana tempat duduk Mac sekarang? Aku tak bisa menghentikan mataku yang sibuk mencari keberadaannya. Seharusnya dia mengisi bangku kosong di antara Athina dan Delaney, tapi dia tidak ada. Seseorang bicara di kepalaku kalau Mac pasti ada di belakang Katedral sedang memikirkan Aby.
Len menyenggol lenganku. Dia mengedikkan dagu ke altar memberiku kode untuk tenang dan menyaksikan janji setia Keira dan Nathan. Aku selalu berpikir kalau orang-orang berlebihan saat membicarakan tentang pernikahan, tapi rupanya tidak, saat Nathan mengatakan janji sucinya, lalu dibalas dengan janji suci dari Keira, perasaan sentimentil merayapiku dan membuatku jadi melankolis. Aku bahkan menyempatkan melirik ke arah Dad yang terkenal dengan hati bajanya hanya untuk melihat apa ada orang yang jadi melankolis setelah mendengar janji suci itu selakin aku. Dan Ta-da, mata Dad berkaca-kaca.
Sumpah, aku tidak bohong!
"Aku bicara padamu bukan berarti kita sudah baikan, tapi lihat Ayahku, apa kau berpikir dia akan menangis sebentar lagi?"
Len mengerutkan kening sesaat ke arahku, lalu menoleh ke arah Dad, lalu menoleh lagi ke arahku. Dia menggeleng. "Seorang Ayah hanya akan menangis di pernikahan anaknya," katanya, berbisik.
Aku tidak percaya. "Dia pasti menangis," kataku, yakin.
"Dia tidak akan menangis, dia hanya sedikit terharu dan..."
Ucapan Len terpotong oleh suara intro pembuka lagu Steeve Wonder, "isn't she Lovely." Lalu "beautiful white." yang dinyanyikan oleh pemilik suara baritone.
Aku bersumpah aku sering mendengar suara ini. Suara ini yang menyanyikan lagu ini. Aku butuh mengangkat kepala untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri sosok tegap yang duduk di belakang piano untuk bisa mengucapkan namanya. Cho Kyuhyun.
"Kenapa dia ada di sini?" tanyaku pada Len.
"Aku yang mengusulkan pada Keira," jawab Dad, yang sepertinya sejak tadi sudah mencuri dengan obrolanku bersama Len.
"Kenapa dia?"
"Karena dia bisa menyanyi."
"Ada banyak penyanyi di luar sana, kenapa mesti dia?"
Dad menarik napas. "Allana, kau tadi bersikap sangat kekanak-kanakkan, sekarang kau bersikap seolah tidak menyukai keberadaan Kyuhyun, nanti apa lagi? Kau sulit dipahami, kau tahu?"
Apa?
"Dad−"
Len menghentikanku. Dia meraih tangaku dan berkata, "jangan."
Yah, jangan. Kalau aku ingin menjaga wajahku, aku jangan menunjukkan kejalanganku. Karena itu aku hanya memandang Cho Kyuhyun sampai laki-laki itu mengetuk tuls terakhir; lalu pergi dua detik begitu suasana di dalam katedral ramai oleh hiruk pikuk suara tepuk tangan. Kenapa, sih, Dad tidak mau memahami perasaanku?
Di luar katedral aku melihat Mac –seperti dugaanku! dia sedang merokok di salah satu bangku. Aku menghampirinya.
"Boleh gabung?" tanyaku.
Mac mendongakkan kepala ke atas, tersenyum, lalu mengangguk. "Kursi ini cukup untuk kita berdua," katanya. Dia membuang putung rokok ke tanah, menginjak dengan ujung sepatunya untuk mematikan bara apinya. "Di dalam sedikit membosankan."
Aku mengangguk setuju. Di dalam sangat membosankan, dan memalukan.
"Sejak kapan kau mulai merokok, Mac?" tanyaku, menunduk menatap putung rokok yang tergeletak mengenaskan di atas lantai.
"Sudah lama sekali, hanya kalau sedang butuh saja. Tapi tidak tahu kenapa akhir-akhir ini lebih sering kulakukan."
"Aku juga ingin merokok, sayangnya aku tidak bias," kataku, paham mengenai ucapannya. "Asapnya menyedak tenggorokanku dan yang terjadi padaku malah batuk-batuk sialan yang menyakitkan."
Mac tertawa. Aku menatapnya. Mac yang ada di depanku sekarang tetap Macauley Quinlan yang dulu kutemukan sedang tidur di ruang kesehatan. Mac yang akan selalu menganggap ceritaku lucu, yang membuka mulut lebar-lebar saat tertawa, yang matanya akan menyipit seperti bulan sabit, yang tak ragu mengusap kepalaku setelah tawanya reda, lalu berkata, "kau lucu sekali, Al." yang membuatku melotot marah, tapi sebenarnya sangat senang.
"Allana, aku suka potongan rambutmu yang ini."
"Thanks."
"Kau terlihat semakin cantik dari terakhir aku melihatmu."
Aku tersanjung. Sialan. Aku merasa panas di area pipiku.
Terakhir bertemu Mac adalah waktu aku mengembalikan barang-barang Mac yang kutemukan di kamar Aby. Dad yang menyuruhku. Tapi ketika Dad bilang semuanya, aku menyimpan salah satunya: kalung salib yang pernah kulihat menggantung di leher Mac dipertemuan kami yang pertama.
"Itu dua tahun yang lalu, kan?"
"Tiga tahun dua bulan sepuluh hari lebih tepatnya."
Mac mengangga. "Yang benar? Rasanya baru kemarin aku mengantarmu pulang setelah malam itu."
Malam itu bagi Mac adalah malam ketika dia memintaku menemaninya membakar semua barang-barangnya yang kukembalikan.
"Waktu cepat berlalu, ya?"
Aku mengangguk. Setelahnya, hanya ada kebisuan yang menyusup di antara kami. Sejujurnya, aku tahu dia mau bicara apa, tapi aku juga tahu dia sekuat hati untuk tidak mengatakannya. Mungkin aku harus mengacungkan dua jempol untuk Aby di surga sana yang berhasil membuat Mac menjadi seperti ini. Sialan. Kesalahan Aby adalah bersikap terlalu baik sampai membuat orang-orang yang mencintainya terpuruk dalam kesedihan.
Mac meraih tanganku, "aku turut berduka atas Ibumu."
Aku menatap tangganku yang ada di genggaman Mac.
"Kau pasti menjalani hari-hari yang berat selama ini."
Kau juga! Teriakku dalam hati. Bahkan hanya dengan melihat wajahnya saja aku tahu dia menderita selama ini.
"Ajari aku merokok," kataku akhirnya, mengalihkan pembicaraan.
"Apa?" sentak Mac, mengerutkan kening.
"Aku butuh pelarian sepertimu." Aku mulai merengek seperti bayi. "Pleaseeee."
Mac tertawa, kepalanya menggeleng empat kali. "Kau bercanda, Allana. Tentu saja aku tidak mau mengajarimu. Merokok itu merusak kesehatan, kau bisa kena kangker nanti."
"Itu bagus, kan? jadi kau tidak akan kena kangker sendirian."
Mac mengalungkan sebelah lengannya ke sekeliling pundakku. Aku nyaris berpikir kalau dia lupa aku pernah menyatakan cinta padanya andai dia tidak buru-buru berkata, "kau akan membuatku semakin merasa bersalah."
Mac tidak pernah lupa, untuk selamanya. Dan aku akan tetap dianggapnya sebagai adik, untuk selamanya.
"Ngomong-ngomong, kapan kau mau mengenalkan pacarmu padaku?"
"Aku tidak punya pacar."
"Laki-laki yang menyanyi di dalam?"
Cho Kyuhyun. "Bukan," jawabku.
"Ayolah, Allana, semua orang di sini tahu kalau dia pacarmu."
Semua orang yang ada di sini kuartikan aku dan dia, sebelum aku melihat rombongan itu keluar dari dalam katedral, diantaranya: Nathan Torrence dan istrinya –Keira Torrance, Mr. dan Miss Hayley –orang tua Keira, Eliotte, Nichole, Delany, Athina, Nolan, Antonoff (teman-teman Nath dan Keira yang juga sahabat Aby), Barry, Len, Cammeron, Dad, dan Cho Kyuhyun.
"Dia bukan pacarku," tekanku, mengertakkan gigi.
Dad melihatku. Dia menghampiriku. Tercetak jelas kemarahannya dari raut wajahnya yang kaku. Dia akan mengomel panjang lebar kalau tidak ada Mac di sini. Mendelik ke arahku sesaat, Dad kemudian memeluk Mac. Tepat saat itu, sialnya, aksi yang sebenarnya dari pesta pernikahan dimulai. Resepsi.
Keira memintaku menjadi Pendamping Pengantin, dia bilang dia bercanda, tapi dia serius, aku sudah menolak, tapi Dad setuju, dan apupun itu membuatku tidak bisa menolak. Akhirnya aku jadi Pendamping Pengantin yang Diragukan, yang secara otomatis dipasangkan dengan sang Best Man –Cammeron, mengingat dia sepupu Nathan yang seusia denganku. Aku mau saja saat Keira memintaku berjalan bersama Cam ke altar, dan tidak masalah jika dia menginginkanku berpose untuk difoto, tapi Cam menolak. Dia tidak mau difoto bersamaku. Penolakkan Cam membuat wanita berambut pirang yang sejak tadi berdiri di pinggir meja hidangan berjalan menghampiri kami, menghampiri Cam lebih tepatnya. Dia meraih lengan Cam dan mengusap-usap lembut. Aku sudah mau pergi mencari Len andai dia tidak menyuruhku tinggal.
"Siapa namamu, nak?" tanyanya.
"Allana."
Dia menoleh ke Cam, tersenyum, lalu menoleh ke arahku lagi.
"Kau tahu siapa aku?"
Aku tahu. Dia Ibu Cam. Dua kali aku melihatnya di sekolah, dan puluhan kali di sampul majalah Irlandia. Dia pernah berpose bersama Claire.
"Berpose yang bagus kalian berdua."
Begitu saja, bahkan sebelum aku menjawab siapa dirinya, dia mendorong Cam ke arahku lalu menyuruh fotografer membidik wajah kami. Demi Zeus, itu bukan pose yang bagus. Aku sedang melotot ke arah Ibu Cam sementara sebelah tangan Cam berpegangan pada pundakku karena takut jatuh.
"Kukira kita perlu berpose bersama,"
Aku menoleh ke belakang lalu berbalik. "Kau dan aku?" kataku pada Barry. "Kenapa aku harus melakukannya?"
"Karena aku akan bilang pada P.A.C.A.R.M.U kalau kau pernah menyuruhku untuk membunuhnya."
"Tutup mulutmu!" sentakku.
Barry tertawa. Aku menggeram kesal. "Jadi mari kita lakukan," katanya, lalu memutar tubuhku, mengambil posisi di sebelahku, menyipitkan mata ke arah Cam. "Kuharap kau tak kepingin gabung," katanya. Aku tak bisa bereaksi apa-apa, bahkan sejujurnya, aku sedikit senang akan kemunculan Barry, dia memisahkanku dengan Cam.
Barry mengalungkan sebelah lengannya di pundakku. "Laki-laki itu menyebalkan."
Aku meraih tangan Barry lalu menghempaskan ke udara. "Cam?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Pacarmu."
Fotografer membidik.
Aku mundur dua langkah ke belakang. "Apa kau si penyebar gosip itu?" tanyaku, bersabar. Namun suaraku terlanjur naik satu oktaf.
Barry menyilang dua tangan di dada, "Kau mau berterima kasih?"
Aku mengepalkan tangan. "Kau benar-benar murahan!" umpatku.
Barry meraih lenganku saat aku berbalik dan berjalan. "Kau mau kemana?" tanyanya.
Aku menghempaskan tangannya sekali sentak dan melotot. "Bukan urusanmu."
Sendiri membuatku berpikir. Ini adalah hari pernikahan sahabat Aby; Dad berbohong padaku karena jika dia mengatakan yang sebenarnya aku tidak akan datang, Dad ingin aku bernyanyi karena Dad tahu aku hanya akan bernyanyi di pernikahan Aby –itu tidak akan pernah terjadi, Dad menunjuk Cho Kyuhyun karena aku pernah bilang padanya kalau Cho Kyuhyun lebih pintar dibanding diriku soal musik. Len tidak memberiku kabar apapun karena Len sangat mengerti aku, dan aku kecewa karena dia selalu benar tentang segalanya mengenai diriku. Aku bertemu Mac setelah sekian lama; dia masih setampan yang dulu, dan menyenangkan, meski kutahu sebagian dirinya telah berubah.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku tidak bisa memahami perasaanku sendiri. Aku senang melihat Len dan Mac di sini, melihat senyum Dad saat berbincang dengan Ayah-Ibu Keira, sebal dengan gosip yang Barry sebarkan, tidak peduli dan tidak tertarik membalas sapaan beberapa teman Aby –kecuali Elliote yang asik, gugup dan marah saat bertemu pandang dengan Cho Kyuhyun, tapi aku juga merasa sedih, sedih karena aku membayangkan pesta pernikahanku kelak tak ada Mom, berharap Aby ada di sini dan melihat hari bahagia sahabatnya, tertegun melihat wajah Dad yang berekspresi sedih –tentu dia ingin melihat Aby menikah juga.
"Hi, Alle, aku mencarimu. Semua orang sedang menunggumu."
Aku menoleh, menemuka Len. "Oke, sepuluh menit lagi," balasku.
Aku tidak melihat Cho Kyuhyun, tapi aku bisa mendengar napasnya –dalam dan berat berasal tepat di belakangku. Aku bisa bilang Cho Kyuhyun lebih unggul di antara teman-temannya –seperti yang kulihat terakhir kali, tapi disini dia hanya orang biasa yang terihat tak nyaman dengan setelan jas hitamnya, tidak ada yang memperlakukannya seperti anak bungsu yang perlu dimanja, kecuali Len. Kalau disitu ada Len, disitu pula ada Cho Kyuhyun. Mereka benar-benar mirip sahabat lama.
"Apa yang kau pikirkan?"
Butuh beberapa detik untuk berbalik ke belakang dan menatap wajahnya. Tinggal aku dan Cho Kyuhyun di sini, Len menghilang.
"Kau bicara padaku," kataku.
Dia terdiam, kugunakan kesempatan itu untuk membalasnya. Setidaknya, dia perlu merasakan sedikit kekesalanku waktu dia mengacuhkanku di pesawat.
"Sebenarnya aku sedang memikirkan banyak hal: memikirkan nasib hidupku, memikirkan masa depanku, juga memikirkanmu."
Cho Kyuhyun memiringkan kepalanya. Aku tersenyum tipis. Kuraih tangannya dan memutar tubuhnya hingga kami berdua leluasa menatap satu persatu wajah yang ada di pesta.
"Kau mau tahu, pasangan yang menikah hari ini, mereka adalah sahabat Aby. Gadis berambut merah bersama pengantin wanita namanya Eliotte, dia yang pernah kuusir dari rumah setelah memecahkan jam pasirku. Yang itu Nichole –berambut hitam dan Delany," telunjukku mengarah pada dua gadis di depan meja hidangan. "Mereka teman Aby juga, dan aku tak pernah ingin punya urusan dengan mereka. Sedang yang itu," aku beralih pada gadis cantik yang mengenakan dress warna hijau, "dia Athina, pacar Nolan, laki-laki yang sadang bersamanya. Kau harus pilih gadis dengan wajah biasa-biasa saja supaya kau tak semenyebalkan seperti Nolan, dia takut pacarnya dilirik laki-laki lain."
Aku melirik Cho Kyuhyun, dia sedang menatap Athina.
"Kau pasti cocok berteman dengan Antonoff, dia tak bisa berkedip tiap melihat gadis cantik lewat di depannya."
Aku melepas tangan Cho Kyuhyun.
"Lihat laki-laki berambut tembaga itu? Namanya Barry. Bulan lalu aku menghabiskan waktu berlibur bersamanya di Bali. Memang dia sialan menyebalkan, dan aku sangat-sangat membencinya," aku masih kesal pada apa yang dia katakan pada semua orang mengenai aku dan Cho Kyuhyun, "dia laki-laki yang baik. Aku menyesal tidak bisa menerima cintanya."
"Kau pasti tidak percaya tapi aku akan mengatakannya. Laki-laki yang bersetelah jas warna abu-abu di sana, yang paling tinggi di antara orang di sekelilingnya, yang paling tampan, dia mantan pacarku saat SMA. Laird Cammeron. Jadi perlu kau tahu, kau bukan satu-satunya laki-laki tampan yang pernah ada di hidupku."
Cho Kyuhyun mendenggus. Aku mendengarnya.
Di utara di dekat guci bunga mawar putih aku menangkap wajah Mac. Aku harusnya tidak melewatkan Mac, bercerita pada Cho Kyuhyun kalau aku pernah sangat menyukai laki-laki itu, tapi aku masih ingin punya satu cerita yang bisa kusimpan sendiri, karena itu aku tidak menceritakannya. Dan dia, Cho Kyuhyun, entah sadar atau tidak, aku baru saja melakukan apa yang dia inginkan. Membagi selembar masa lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top