Kim Min Seok
Tubuh [Name] seperti membeku. Matanya terpaku pada pemandangan di hadapannya hingga ia tidak bisa mengalihkan pandangan walau ia ingin. Di hadapannya sepasang kekasih tengah bermesraan. Sialnya, ia sangat mengenali sosok laki-laki yang sedang disibukkan dengan bibir gadis itu.
Laki-laki itu adalah kekasihnya.
Bagaimana bisa ajakan kencan romantis berubah menjadi siksaan batin untuk dirinya? Tidak. [Name] tidak akan percaya pada penglihatannya saat ini. Namun, ia tidak akan bisa menyangkal saat fakta sudah berada di depannya. Ia harus menerima fakta jika kekasihnya memiliki gadis lain. Singkat kata, laki-laki yang selama ini menjadi pasangannya berselingkuh di hadapannya.
Menyadari hal ini, sudut hati [Name] terasa nyeri.
Ketika kenyataan sudah kembali merasuki dirinya. [Name] berlari. Gadis itu berlari menjauhi kafe yang menjadi tempat bertemu. Hanya satu orang yang berada di pikirannya saat ini. Satu orang yang mampu membuatnya merasa seribu kali jauh lebih baik dengan pelukannya. Satu orang yang sudah menjadi sahabatnya bahkan saat mereka masih belum tumbuh gigi.
Kim Minseok.
Tidak dipedulikan hujan yang mulai mengguyur tubuhnya, membasahi bajunya bagai kulit kedua yang melekat. Pikirannya masih belum bisa menerima fakta, juga masih tidak ingin menerima. Karena itu saat berada tepat di depan pintu rumah Minseok, ia mematung.
Haruskah ia mengetuk pintu atau pergi dan mengurung diri di kamar? Kalau ia mengetuk pintu apakah Minseok akan menerima dirinya? Apakah Minseok akan berkata ‘kan sudah kubilang’? Ataukah ia akan memeluknya dan berkata jika semua akan baik-baik saja? Sebelum [Name] mampu memutuskan, pintu rumah sudah terbuka, memperlihat ekspresi khawatir dari wajah yang sangat familiar.
“Astaga, [Name]. Apa yang kaulakukan di tengah hujan seperti ini?” [Name] tidak mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan. “Lupakan. Cepat masuk sebelum kau membeku kedinginan.”
Hal selanjutnya yang [Name] sadari, ia sudah terduduk di sofa ruang tengah Minseok. Gadis itu tidak memberontak saat Minseok mengeringkan rambutnya dengan handuk bersih, juga tidak menolak suruhannya untuk berganti pakaian.
“Sekarang katakan padaku, apa yang ia lakukan padamu?” suara Minseok terdengar seperti menginterogasi dirinya. “Dan jangan mencoba untuk berbohong padaku karena aku sudah mengenalmu seperti aku mengenali diriku sendiri.”
Alih-alih menjawab, [Name] malah terisak. Ia tidak kuasa menahan air matanya saat bayangan beberapa waktu yang lalu kembali menghantui pikirannya. Isakan berubah histeris, saat itu juga ia merasa ada kukungan hangat yang menyelimuti tubuhnya.
“Maaf. Maafkan aku karena bertanya seperti itu,” bisik Minseok. “Kau bisa cerita padaku kalau sudah merasa lebih baik.”
“M-Minseok.. Minseok...”
“Keluarkan saja. Tidak perlu menahannya,” Minseok memainkan rambut [Name], berusaha untuk menenangkan gadis yang berada dalam pelukannya. “Kau akan merasa jauh lebih baik nanti. Aku ada di sini. Aku akan selalu bersamamu.”
Entah sudah berapa lama [Name] menyamankan diri dalam pelukan sahabatnya. Saat merasa dirinya sudah jauh lebih tenang, [Name] menjauhkan dirinya dari Minseok. Ia tidak menolak saat ibu jari Minseok menghapus jejak air matanya.
“Aku tahu kalau kau sudah pernah mengatakan hal ini padaku,” kata [Name] memulai penjelasannya. “Kemarin ia memintaku untuk bertemu dengannya siang ini, tapi kau tahu apa yang kau dapatkan? Ia sedang mencium gadis lain tanpa menyadari keberadaanku. Sepertinya ia mengirim pesan, tapi aku tidak membacanya.
“Kau boleh berkata ‘aku sudah memperingatkanmu’ atau ‘kan sudah kubilang’ padaku. Aku tahu kau selalu benar terhadap apapun yang menimpaku dan ini salahku karena aku tidak mendengarkanmu. Kurasa aku pantas mendapatkan rasa sakit ini.”
“Tidak ada seorang pun yang pantas mendapatkan rasa sakit, [Name],” ucap Minseok tegas. “Dengar, apa yang menimpamu hari ini kau bisa anggap pelajaran. Tidak perlu menyiksa dirimu sendiri karena kesalahan laki-laki brengsek yang berani menyakiti hati seorang gadis. Kukatakan sekali lagi. ini bukan salahmu.”
“Kalau bukan salahku, lalu salah siapa? Mungkin aku tidak memberikan sesuatu yang diinginkannya, mungkin aku tidak pantas untuknya. Jelas aku yang bersalah sampai ia mencari gadis lain untuk disayangi,” [Name] menundukkan kepala sedih. Rasa kecewa pada diri sendiri menjalar hingga ia tidak sanggup beradu tatap dengan Minseok.
“[Name]. Lihat aku,” Minseok menangkup wajah [Name], memaksa gadis itu untuk beradu tatap dengannya. “Jika ada yang tidak pantas untuk yang lainnya, maka ia yang tidak pantas untukmu. Kalau ia tidak bisa menerima dirimu yang seperti ini, maka ia tidak menyayangimu. Kalau kau menyayangi seseorang, semua hal tentang dirinya terlihat sempurna untukmu.”
[Name] tidak bisa menahan diri untuk mengulas senyum. “Aku ingin tahu bagaimana kau bisa mengetahui begitu banyak perasaan seseorang ketika jatuh cinta.”
“Anggap saja kalau aku sedang merasakan perasaan itu,” Minseok tersenyum kecil melihat senyuman [Name].
“Benarkah? Kenapa aku tidak pernah mendengar cerita tentang gadis itu?” [Name] berpindah dari posisi duduknya, sedikit lebih dekat. Rasa penasaran merasuki dirinya, sahabatnya ini tidak pernah bercerita apapun tentang gadis manapun.
Minseok mengangkat bahunya. “Karena kau tidak pernah bertanya.”
“Nah, sekarang aku bertanya padamu. Siapa gadis itu?”
Tatapan [Name] berubah bingung saat Minseok meraih tangannya, memberikan remasan ringan kemudian menautkan jemari mereka. Minseok tidak menatapnya, ia menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Ibu jarinya mengusap punggung tangan [Name] lembut.
“Aku sedang menatap gadis itu sekarang,” Minseok mengangkat kepalanya, melemparkan senyuman terbaiknya.
“Hah?”
“Kau bertanya siapa gadis yang membuatku jatuh cinta dan aku sudah menjawabnya. Gadis yang sedang kutatap sekarang adalah gadis yang memaksaku terjerat dalam pesonanya, gadis yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandangan darinya,” aku Minseok. Senyumnya semakin melebar saat [Name] terlihat terpukau dengan pengakuannya.
[Name] menggigit bibirnya gugup. Tanpa sadar gadis itu meremas tangan Minseok, terlalu malu untuk sekedar beradu tatap dengan sahabat yang baru saja menyatakan perasaannya.
[Name] tertegun saat Minseok mengusap bibir bawahnya dengan Ibu jari. “Jangan menggigit bibirmu. Kau bisa melukainya.”
“Ano.. Minseok...”
“Sejujurnya aku tidak membutuhkan jawaban darimu,” kata Minseok sambil menatap [Name] dengan tatapan penuh kasih sayang. “Aku hanya ingin menyatakan perasaanku. Kau tahu, aku sudah muak dengan laki-laki yang terus menyakitimu.”
“Aku tidak tahu harus berkata apa,” ucap [Name] pelan sampai hampir mendekati bisikan.
“Kau tidak perlu berkata apapun, [Name]. Aku hanya ingin kau tahu kalau aku selalu di sini. Aku selalu menunggumu. Aku selalu mencintaimu.”
Balik setelah sekian lama hiatus di book ini..
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top