Kim Jun Myeon

Drama yang tengah berlangsung di televisi menyita semua perhatian [Name]. Gadis itu bahkan tidak menyadari kedatangan kekasihnya yang mampir untuk sekedar melepas rindu. Tidak. [Name] terlalu hanyut dalam alur drama di hadapannya. Entah bagaimana, kisah percintaan yang dramatis itu mampu menulikan telinganya. Bahkan Junmyeon pun tidak mengerti.

“Selamat sore, Jagiya,” sapa Junmyeon seraya mencuri satu ciuman cepat di pipi [Name].

Saat mendengar suara Junmyeon, [Name] baru tersadar akan dunia di sekitarnya. Gadis itu mengulas senyum lalu menepuk ruang kosong di sampingnya, menyuruh Junmyeon untuk duduk tanpa suara.

“Sore juga. Latihanmu sudah selesai?” Junmyeon mengangguk kecil. “Kenapa cepat sekali?"

Junmyeon mengangkat bahunya. “Entahlah, mungkin karena aku berusaha menyelesaikan semuanya secepat mungkin agar bisa melihat kekasihku yang sangat kurindukan.”

“Dasar tidak masuk akal,” ejek [Name]. Namun, Junmyeon melihat dengan sangat jelas rona kemerahan yang mewarnai pipi kekasihnya.

Keduanya bungkam. Membiarkan televisi yang mencairkan kesunyian di antara mereka. Lagi-lagi drama kembali menyita seluruh perhatian [Name] hingga tidak menyadari kerutan di dahi Junmyeon yang terlihat kesal karena diabaikan, walau Junmyeon sendiri tidak akan bisa marah pada kekasihnya yang terlihat menggemaskan saat serius seperti ini.

“Apa aku kurang tampan sampai kau tidak ingin memperhatikanku?” Junmyeon bertopang dagu, menatap lekat kekasihnya yang masih memusatkan seluruh perhatiannya pada televisi.

[Name] tersenyum kecil. Menyadari tatapan yang dilemparkan Junmyeon padanya. Gadis itu menoleh, beradu tatap dengan kekasihnya lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Junmyeon tanpa mengatakan apapun.

“Kenapa menatapku seperti itu?”

“Karena kekasihku yang paling tampan cemburu pada aktor drama yang beberapa waktu lalu kuperhatikan,” ucap [Name] sambil mengangkat bahu acuh tak acuh. “Aku hanya ingin menyadarkannya, kalau ia jauh lebih tampan daripada laki-laki manapun di dunia ini. Ketampanan kekasihku itu tidak ada duanya.”

Junmyeon memalingkan wajah malu. Ayolah, jarang sekali ada yang berkata kalau dirinya tampan. Bahkan salah satu dongsaengnya, Kyungsoo, saja berkata ia hanya akan terlihat tampan kalau sedang diam dan jika ia mulai berbicara ketampanannya akan berkurang drastis.

“Tidak perlu malu begitu,” goda [Name]. Gadis itu terkekeh pelan menyadari situasi ini sangat berbanding terbalik dengan situasi yang biasa ia baca di novel romatis. Sejak kapan pihak laki-laki yang tersipu malu sedangkan pihak gadis yang menggodanya?

Puas menatapi Junmyeon yang tersipu, [Name] kembali menancapkan penglihatannya pada televisi. Drama yang sedang ia tonton sekarang tengah menampilkan adegan dimana laki-lakinya menahan lengan si gadis, mencegah agar gadis itu tidak pergi. Perlahan tapi pasti laki-laki itu mendekatkan tubuh dan wajahnya, kemudian menempelkan dahinya dengan dahi dang Gadis. Hanya tinggal sedikit lagi. Hanya tinggal satu pergerakan lagi, sebelum penglihatannya menggelap.

“Apa yang kau tonton ini?” suara Junmyeon yang memenuhi indra pendengarannya. “Kau belum pantas menonton adegan seperti ini. Aku tidak ingin pikiranmu terkontaminasi dengan hal-hal kotor.”

[Name] mencoba melepaskan telapak tangan Junmyeon yang menutupi pandangannya. “Aish. Aku sudah berumur dua puluh dua tahun oppa. Kurasa aku sudah bisa dikategorikan dewasa dan pantas menonton drama romantis rating 18+ sekalipun. Lepaskan tanganmu.”

“Tidak,” [Name] mendengar ketegasan dalam suara Junmyeon yang menolak keinginannya. “Aku tidak akan mengizinkanmu menonton hal seperti itu, Jagiya.”

“Junmyeon-oppa, bahkan gadis berumur tiga belas tahun sudah diperbolehkan menonton drama seperti itu, kenapa aku tidak?” tanya [Name] setengah merengek.

“Karena aku adalah kekasihmu.”

[Name] mendengus kecil. “Kalau begitu aku akan mencari kekasih baru yang mengizinkanku untuk menonton drama tanpa menutup mataku. Biar saja kau akan menyesal seumur hidupmu karena kutinggalkan.”

“Tidak akan ada laki-laki yang akan mendekatimu. Semua orang sudah tahu kalau kau adalah milikku,” balas Jumnyeon. Ia mengalihkan pandangannya ke televisi, memastikan adegan yang ditampilkan tidak lagi memperlihatkan kemesraan yang berlebihan untuk mata polos [Name].

Setelah yakin tidak akan ada adegan aneh yang terselip lagi, Junmyeon melepaskan tangannya dari mata [Name]. Ia menahan diri untuk tidak mencubit gemas saat [Name] menggembungkan pipinya kala menyadari ia sudah tidak bisa melihat adegan yang selama ini membuatnya penasaran.

“Lihat. Mereka sudah terpisah. Aku melewatkan klimaksnya,” geram [Name] kesal.

Junmyeon tidak membalas. Ia hanya menerima dengan pasrah pukulan ringan [Name] pada lengannya. Beberapa menit kemudian [Name] berhenti, gadis itu menyandarkan kepalanya pada bahu Junmyeon.

“Ne, oppa?”

“Hm?”

“Apa sih rasanya ciuman?” [Name] mendongak, menatap Junmyeon yang terpaku mendengar pertanyaannya.

“Kenapa bertanya seperti itu?” Junmyeon menatap [Name] dengan rasa penasaran.

“Hanya penasaran saja,” [Name] mengangkat bahunya. “Kenapa tidak tunjukkan padaku? Aku ingin tahu rasanya ciuman.”

Junmyeon menggelengkan kepalanya, menolak memenuhi permintaan [Name]. Pasalnya, Junmyeon memang tidak pernah menyentuh [Name] selain menggandeng tangan gadisnya atau mencium dahinya. Bahkan, ia tidak berani mencium pipi [Name] di depan member lainnya. Singkat kata, Junmyeon tidak pernah menyentuh [Name] lebih dari batas normal.

“Tidak perlu. Aku akan melakukannya nanti kalau sudah mendapat restu dari orangtuamu dan jika kita sudah mengadakan perayaan besar,” tolak Junmyeon.

“Ish, aku kan penasarannya sekarang,” [Name] mencoba mendesak Junmyeon agar memenuhi keinginannya.

Junmyeon menghela nafas seraya mengusak kepala [Name]. “Pejamkan matamu, Jagiya.”

[Name] mengikuti perintah Junmyeon dengan memejamkan matanya. Junmyeon menempelkan jari telunjuk dan jari tengahnya pada bibirnya, mencium jarinya sendiri lalu menempelkan kedua jarinya itu pada bibir [Name], membiarkan gadisnya mencium jemarinya.

“Nah, bagaimana rasanya ciuman itu?” tanya Junmyeon saat menjauhkan jemarinya dari bibir [Name].

“Itu jarimu, oppa,” ucap [Name] tidak terkesan. “Aku mencium jarimu, bukan bibirmu.”

Junmyeon tersenyum kecil. “Tapi jari itu sudah menempel pada bibirku, secara tidak langsung kau sudah menciumku.”

[Name] merengut, tidak terlalu puas dengan penjelasan Junmyeon. Namun, sama sekali tidak diindahkan oleh Junmyeon.

“Dengar Jagiya. Kita tidak perlu berciuman untuk tahu seberapa dalam perasaan kita pada satu sama lain. aku akan melakukannya jika sudah waktunya, tidak perlu terburu-buru. Aku tahu kau tidak akan siap jika kulakukan sekarang.”

“Junmyeon...”

“Aku mencintaimu bukan untuk kesenangan sesaat. Aku mencintaimu untuk hidup bersamamu seumur hidupku, bahkan jika kematian memisahkan kita.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top