Kim Jong In

“Monggu! Pelan-pelan. Aku bisa tersandung kalau kamu terburu-buru seperti itu,” [Name] berusaha menarik tali pengikat anjing gembul berwarna cokelat kesukaan kekasihnya itu.

Selama beberapa saat Monggu memang berjalan pelan sembari menggonggong, tapi setelah beberapa menit, ia mulai berlarian dengan Jjanggu dan Jjangah sampai [Name] kembali kewalahan mengurus tiga ‘bayi’ kesayangan milik kekasihnya.

“Monggu!”

Tali pengikatnya tiba-tiba mengendur dari tangan [Name] sampai Monggu bisa berlari lebih cepat dengan tenaga lebih kuat. Gadis itu tersungkur dan sempat menjerit saat kakinya terantuk batu. [Name] merasa kedua kakinya terasa sakit.

Seperti anjing yang sudah dilatih dengan baik, Jjangah, Monggu dan Jjanggu berlomba berlari mendekati [Name] yang masih berusaha bangkit dari posisi telungkupnya. Jjangah menjilati pipi [Name] meminta agar [Name] bangun tanpa suara.

“Aku baik-baik saja,” ucap [Name] mencoba mendudukkan diri, mengabaikan tatapan aneh yang diberikan oleh pengunjung taman. “Jangan ada yang bertingkah liar lagi atau aku akan melaporkan kalian pada Jongin."

Mendengar nama pemiliknya, ketiga anjing itu merebahkan diri sejajar dengan tanah dan memanjangkan kaki depan mereka. Suara mengerang imut terdengar dari ketiganya membuat [Name] tidak bisa menahan senyum.

“Ayo kita kembali sebelum Jongin pulang,” ajak [Name] sambil mencoba untuk berdiri. Namun, tiba-tiba pergelangan kakinya terasa sakit dan ngilu. Mau tidak mau [Name] kembali terduduk untuk mengurut kakinya, berharap rasa nyerinya akan sedikit mereda.

Monggu kembali berjalan, mengajak [Name] pergi tanpa suara. “Sebentar Monggu. Kakiku terasa sakit sekali.”

Tidak tega mendengar ketiganya menggonggong lapar, [Name] memaksakan dirinya berjalan sambil sesekali meringis. Terkadang Jjanggu mendorong kaki [Name] yang terasa sakit, berusaha menyeimbangkan tubuh [Name] yang hampir ambruk atau Jjangah yang menjilati lutut [Name] yang membiru ketika gadis itu berhenti sejenak.

Beruntung ia tidak membawa ketiga bayi Jongin terlalu jauh dari rumah.

Saat sampai [Name] langsung mengunci pintu, melepas tali pengikat ketiga anjing kesayangan kekasihnya lalu memberi mereka makan. Kemudian [Name] merebahkan diri di sofa panjang nan empuk yang Jongin pilih mengingat hobi tidurnya yang sulit dikontrol.

Matanya melirik ke arah jam dinding yang tergantung di atas televisi. Jongin berkata kalau jadwal hari ini akan selesai jauh lebih awal dari biasanya. [Name] menghela nafas panjang menyadari ia harus menyiapkan ayam goreng sesuai kesukaan Jongin sebelum ia pulang.

“Jagiya? [Name] Jagi?” suara berat khas Jongin membuat [Name] melihat ke arah pintu masuk utama lalu kembali melirik jam. Ia tahu kalau Jongin pulang lebih awal, tapi ia tidak tahu kalau Jongin pulang secepat ini.

“Hai. Bagaimana latihannya Jongin?” balas [Name] sambil melambaikan tangannya tanpa bangkit dari posisi nyamannya di sofa.

“Mana pelukan untukku? Tumben sekali aku tidak harus menahan berat badanmu karena kamu terlalu merindukanku,” Jongin meletakkan tas latihannya di samping meja. Ia mengangkat kaki [Name] lalu kembali memangku kaki kekasihnya saat ia sudah duduk dan menyamankan diri. “Ada apa denganmu?”

“Kakiku terasa sakit. Malas untuk berdiri,” gumam [Name] perlahan. Tidak ingin membuat Jongin khawatir.

Jongin mengernyit lalu memeriksa kaki [Name]. Betapa terkejutnya ia saat mengetahui pergelangan kaki [Name] sudah membiru bahkan hampir terlihat ungu dan lutut yang memiliki nasib yang sama.

“Astaga! Kenapa kaki kamu bisa kayak gini, Jagi?” tanya Jongin setengah panik.

Ia berdiri dan meletakkan kaki [Name] dengan hati-hati kemudian menghilang di balik dinding dapur. Tidak lama kemudian, Jongin kembali dengan membawa sebotol cairan berwarna keemasan dan sebaskom air hangat plus handuk bersih.

“Kamu mau ngapain dengan semua itu, Jongin?” [Name] mengisyaratkan benda-benda yang berada di tangan Jongin dengan matanya.

“Mau mijitin kamu,” ucap Jongin tanpa menatap [Name]. Ia sibuk membalurkan minyak pada kedua betis [Name], berhati-hati agar tidak menekan bagian pergelangan kaki terlalu keras.

“Kamu gak perlu melakukan ini, Jongin,” [Name] mencoba menggerakkan kakinya menjauh dari jangkauan tangan kekasihnya. “Kamu baru pulang latihan. Kasih baskomnya ke aku, aku yang kompres sendiri.”

Jongin menatap [Name] seakan gadisnya memiliki tiga kepala. “Gak. Kamu udah sering ngelakuin banyak hal buat aku. Sekarang aku mau memijat kaki gadis kesayanganku, boleh kan?”

Dihantam dengan tatapan memelas yang mirip dengan peliharaannya, [Name] akhirnya menganggukkan kepala setengah tidak rela. Ia harus mengalah agar bisa terlepas dari tatapan memelas itu juga agar Jongin tidak ngambek padanya. Walaupun begitu [Name] masih tidak menyukai gagasan Jongin memanjakannya saat ia masih lelah akibat latihan.

Jongin memperlihatkan senyum lebarnya. “Sekarang cerita sama aku kenapa kaki kamu bisa sampai bengkak gini? Kamu bukan orang yang ceroboh.”

[Name] menceritakan apa yang ia alami sore ini. Jongin terdiam, mendengar tapi tangannya tidak berhenti bergerak untuk memijat kaki [Name]. Dahinya mengernyit saat menyadari anjing kesayangannyalah yang membuat gadisnya terluka.

“Monggu!” panggil Jongin.
Seperti sadar sang Majikan memanggilnya, Monggu datang dengan gonggongan senang. Alih-alih menyambutnya dengan tangan terbuka siap memeluknya seperti biasa, Jongin hanya menatap Monggu tanpa menghentikan pergerakan tangannya.

“Apa kamu tidak bisa diam saat [Name]-ah mengajakmu berjalan-jalan tadi?” tanya Jongin. Monggu menggonggong pertanda ‘ya’. “Apa kamu yang membuat [Name]-ah terjatuh?” telinga Monggu langsung terjatuh hingga terkesan menampakkan ekspresi menyesal.

“Apa yang harus kamu lakukan saat melakukan kesalahan, Monggu?” tanya Jongin dengan nada tegas.

[Name] harus menahan diri untuk tidak memekik gemas melihat Monggu yang memanjangkan kaki depannya. Telinganya jatuh dan matanya menatap [Name] seakan memohon maaf. Anjing itu mengerang lembut seperti bercerita betapa menyesalnya bersikap seperti tadi sore dan membuat [Name] terjatuh.

“Aku memaafkanmu, Monggu,” [Name] menggaruk belakang telinga Monggu yang sudah kembali menegakkan tubuhnya, senang karena [Name] menerima permintaan maafnya.

“Tidak ada yang boleh menyakiti gadis cantikku, bahkan kalau itu Monggu atau teman-temanku. Aku pasti akan melakukan apapun agar mereka mau meminta maaf di hadapan kamu,” ucap Jongin sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Gak usah berlebihan Jongin,” balas [Name] sambil memukul kekasihnya dengan bantal sofa.

“Aku gak berlebihan, Jagi,” Jongin mengusap lengannya yang dipukul dengan bantal sofa. “Gak ada yang boleh nyakitin gadisku dan gak ada yang boleh ngerebut perhatiannya dariku.”

[Name] menutupi wajahnya dengan tangan, tidak ingin Jongin melihat wajahnya yang merona malu. Jongin terkekeh pelan melihat tingkah [Name] yang menggemaskan di matanya.

“Jangan sembunyikan wajahmu, Jagi,” Jongin memaksa [Name] melepaskan tangannya. “Aku pengen ngeliat wajah putriku.”

Jongin mencium dahi [Name] lalu menggendong gadisnya dengan menyelipkan satu lengan di bawah lutut [Name] dan yang lainnya memeluk bahu [Name]. Ia tidak terlihat keberatan saat menggendong [Name]. Berterima kasihlah pada latihan intensif yang selalu ia lakukan setiap hari.

“Ayo, gadis kesayanganku harus cepat sembuh supaya aku bisa mengajaknya jalan-jalan.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top