Do Kyung Soo
“Biarin aku jagain kamu, biarin aku tetap berada di sisi kamu. Aku gak akan pernah ninggalin kamu walaupun kamu benci sama aku,” itulah yang dikatakannya. Saat itu segalanya bagaikan mimipi menjadi nyata. [Name] tidak memiliki jawaban lain selain ‘ya’.
Namun mimpi itu tidak bertahan lama, karena hanya beberapa bulan [Name] sudah disadarkan pada kenyataan. Ia sadar jika menjadi menjadi seorang kekasih selebritis adalah tantang yang sangat besar, jadwal padat, jarang bertemu, gadis cantik di sekitar dan masih banyak lagi. namun yang [Name] tidak sadari adalah begitu mudah bagi kekasihnya mengabaikannya.
[Name] tidak menyadari perhatian Kyungsoo begitu mudah teralih darinya.
Suara ponsel dengan nada dering khusus menggema di ruang tengah. [Name] hanya menatap ponselnya letih tanpa ada niat untuk mengangkat telepon, sudah mengetahui apa yang akan menjadi topik pembicaraan. Tanpa melihat ID penelpon pun [Name] sudah tahu bahwa Kyungsoo-lah yang menelponnya. Dengan langkah malas, [Name] meraih ponselnya.
“Annyeong, ada apa Kyungsoo-oppa?”
“Halo Jagi,” suara Kyungsoo terdengar begitu terburu-buru. “Maafkan aku. Sepertinya hari ini syuting akan selesai sangat larut, jadi aku tidak bisa makan malam bareng kamu. Maafkan aku, Jagiya.”
[Name] menghela nafas. Ia sudah terbiasa mendapatkan balasan seperti ini. namun, entah karena ia sudah muak dengan sikap Kyungsoo atau memang ia tengah emosional. Alih-alih diam dan setuju seperti biasa, [Name] menjawab dengan nada membentak.
“Kamu terus ngelakuin ini Kyungsoo,” bentak [Name]. “Kamu berharap apa pas kamu nyatain perasaan kamu ke aku? Kamu cuma mau punya gadis penurut yang bisa kamu datengin pas kamu butuh?”
“Jagiya ...”
“Jangan manggil aku Jagiya, Do Kyungsoo. Kamu janji gak akan pernah ninggalin aku walaupun aku benci sama kamu, tapi kenyataannya kamu udah ninggalin aku bahkan saat aku masih sayang sama kamu. Kamu cuma mau dapetin aku sebagai mainan kamu aja? Cuma buat mendongkrak popularitas kamu aja?” [Name] hampir sama menjerit dengan nafas memburu.
“[Name] dengarkan aku,” suara Kyungsoo terdengar melembut. Ia sempat berbicara dengan seseorang di seberang telepon, kemudian kembali terfokus pada [Name]. “Kumohon jangan tutup teleponnya dan dengarkan aku.”
“Gak Kyungsoo. Aku udah dengerin kamu tanpa ngomong apapun selama ini. Jadi sekarang kamu yang dengerin aku,” potong [Name] cepat. Nafasnya masih belum stabil, dadanya masih terasa sesak. “Kalau kerjaan kamu emang jauh lebih penting dariku, kalau memang syuting kamu elbih pantas dapetin semua waktu kamu, biar aku yang ngejauh. Biar aku yang pergi.”
“[Name], tunggu!” sebelum Kyungsoo mampu menyelesaikan ucapnnya, [Name] sudah memutus sambungan telepon.
[Name] melempar ponselnya ke sembarang arah dengan kesal. Air matanya sudah mengalir tanpa bisa ditahan. Bayangan hidupnya tanpa keberadaan Kyungsoo membuat dadanya semakin sesak. Memang sebagian besar waktu Kyungsoo dihabiskan dengan kesibukan pekerjaannya, namun saat mereka menghabiskan waktu bersama, [Name] merasa momen itulah yang paling membuatnya bahagia.
Sudut matanya menangkap foto dirinya dan Kyungsoo saat satu bulan hubungan mereka berjalan. Ketika foto itu diambil, Kyungsoo tengah memeluk bahunya seraya memamerkan senyuman khas Do Kyungsoo, [Name] mengangkat lengannya yang memegang kamera. Senyumnya juga memperlihatkan betapa bahagianya mereka saat itu.
Betapa ia menyesali sikap kekanakkannya beberapa saat yang lalu. Seharusnya ia bisa bersikap lebih dewasa. Kyungsoo bersikap seperti ini juga karena tuntutan pekerjaan. Mengapa ia bisa bersikap begitu egois?
[Name] merebahkan dirinya di atas sofa dengan mata sembap. Ia tidak menyadari matanya perlahan terpejam. Kedua lengannya memeluk figura dengan foto mereka begitu erat. Pikiran terakhirnya adalah betapa ia menyayangi Kyungsoo.
Saat [Name] membuka mata, langit-langit berwarna biru yang pertama kali ia lihat. Kemudian hal selanjutnya yang [Name] sadar adalah ia tengah berada di kasurnya. Entah bagaimana ia bisa berpindah secara ajaib dari ruang tengah ke kamar tidur.
Untuk beberapa saat ia disibukkan dengan kemungkinan bagaimana ia bisa berpindah. Pikirannya dibuyarkan saat mencium bau sedap panekuk yang sangat familiar. Tanpa berpikir lagi, [Name] turun dari kasur dan melangkahkan kakinya ke dapur.
Betapa terkejutnya [Name] saat mendapati Kyungsoo berada di dapur dengan celemek kesukaannya. Gadis itu juga menyadari bahwa ada tumpukan panekuk dan sirup cokelat di atas tumpukan panekuk sesuai dengan kesukaannya. Kyungsoo juga menyediakan secangkir kopi dengan bentuk hati sebagai busanya, uapnya masih mengepul memaksa [Name] menelan air liurnya.
[Name] tidak mengharapkan reaksi seperti ini dari Kyungsoo.
“Selamat pagi, Jagi,” Kyungsoo tersenyum ke arah [Name]. “Jangan terkejut seperti itu. Ini sarapan pagi sebagai permintaan maafku karena pulang terlambat kemarin.”
“Apa? M-maksudku bagaimana?”
“Bagaimana bisa aku tidak marah padamu setelah apa yang kamu katakan?” Kyungsoo menaruh panekuk di atas meja makan. “Atau kamu heran aku gak ngambil barang-barang aku terus ninggalin kamu?”
“Keduanya,” [Name] mengangguk.
Kyungsoo terkekeh pelan. “Gimana bisa aku ngelepas kamu gitu aja. Kayak yang kamu bilang kemarin, aku sudah terlalu sering ninggalin kamu.”
“Kyungsoo ...”
“Sekarang diam dan nikmatin sarapannya,” suruh Kyungsoo. Ia menekan bahu [Name], menyuruh gadisnya duduk tanpa suara. “Aku akan mengurusmu hari ini. Kalau perlu kamu gak perlu mengangkat seujung jari pun.”
“Aku masih perlu berjalan, Kyungie,” balas [Name] tanpa bisa menahan senyum.
Ia meraih garpu yang berada di samping piring, namun langsung direbut oleh Kyungsoo yang menatapnya dengan sebelah alis terangkat, tidak suka dengan apa yang baru saja dilakukan oleh gadisnya.
“Bukannya aku udah bilang kamu gak perlu mengangkat seujung jari?” ulang Kyungsoo. “Tentu saja kalau kamu mau pergi kemana pun, aku bakal gendong kamu.”
Sebelah alis [Name] terangkat. “Kamu gak perlu ngelakuin semua ini buat aku.”
“Tentu aku harus melakukan semua ini. Kurasa aku juga gak akan bisa menebus semua kesalahan aku walau aku berada di samping kamu seumur hidup aku,” Kyungsoo menangkup pipi [Name] dengan sebelah tangannya. “Maafin aku karena gak bisa nepatin janji yang kubuat sendiri. Maafin aku karena bikin kamu merasa kesepian saat aku tahu kamu gak punya siapapun selain aku. Maafin aku ya, Jagiya.”
Tanpa bisa menahan diri, [Name] melompat ke pelukan Kyungsoo. “Terima kasih karena menyerah sama aku, Kyungie. Terima kasih.”
“Mana mungkin aku nyerah soal gadis yang sangat kucintai,” bisik Kyungsoo. Ia menjauhkan wajahnya dari lekukan leher [Name]. Wajah mereka berdekatan, bahkan [Name] bisa merasakan nafas Kyungsoo mengenai wajahnya. Hampir saja. Hampir saja kalau mereka tidak mendengar suara langkah kaki.
“D.O-ah, aku dengar kau akan liburan dengan [Na-” suara Suho membuat [Name] menjauhkan diri dari kekasihnya. “A-ah maafkan aku. Kami tidak bermaksud mengganggu.”
“Chanyeol-hyung, kenapa mataku ditutup? Aku jadi tidak bisa melihat,” Sehun berusaha melepas tangan Chanyeol yang menutupi matanya.
“Ada adegan yang belum pantas kau lihat.”
“Kalian menghancurkan momennya,” desah Kyungsoo kecewa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top