[9] Diam Itu Emas

Hai hai ~ Kembali lagi dengan El dan sejuta keretjehannya

Sebelumnya aku minta maaf kepada para readers yang sudah lumutan karena menunggu update dari cerita ini. Bahkan aku sendiri merasa bahwa lapak ini sudah berdebu dan merongrong untuk dibersihkan. 

 P.s. jangan kaget kalau part ini punya 2000+ kata

Kabar burung seminggu yang lalu itu terbang melesat di setiap kuping warga SMA Wamsakarta. Belum genap tiga hari saat Joy mendapati Pandita dan Aldo di kafe Djendela Hitam, rumor itu sudah tersebar luas bagai percikan api yang melahap kertas.

Berbeda dengan ketika mereka masih membawakan acara final peragaan batik karnaval, kali ini Pandita sendiri yang mengkonfirmasi hubungan mereka berdua. Bahkan dengan mulutnya yang terpoles lipcream merah murberi itu bercerocos panjang kali lebar kepada kawanannya. Dengan bangga dia menyebutkan segala perlakuan manis Aldo kepadanya selama ini hingga akhirnya mereka memutuskan berpacaran.

Tidak perlu menunggu jam istirahat, Joy langsung memanggil Aldo di kelasnya. Tentu setelah ia tahu kabar harian terbaru itu. Cowok itu sudah dikerubungi oleh banyak murid yang sekadar bersiul menggoda, memberikan ucapan selamat kepada Aldo atau tiba-tiba berubah menjadi reporter berita dadakan. Joy mendengkus sebal. Ini terlalu berlebihan.

"Aldo."

Aldo yang semula mengobrol santai dengan teman sebangkunya akhirnya mengalihkan pandangan pada Joy. Cewek itu hanya memasang tampang datarnya, namun Aldo segera bangkit dari kursi seakan tahu apa yang diinginkan Joy. Salah satu siswa merangkul pundak Aldo. "Baru satu hari lo udah selingkuh, Do."

"Bacot, njir," seloroh Aldo sembari menyikut perut siswa itu.

Saat mereka berdua sudah berada di luar kelas, Joy langsung memberondong Aldo dengan pertanyaan. Bahkan Aldo belum sempat menghirup oksigen.

"Apa itu bagian dari rencanamu?"

Aldo mengedikkan bahu seraya tersenyum miring. Entah kenapa cowok itu merasa tidak perlu menjabarkan rencananya untuk berpacaran dengan Pandita.Tanpa dijelaskan pun Joy paham bahwa tebakannya memang benar, tak meleset satupun. Sebagai tanggapan, Joy ikut tersenyum miring.

"Wicked. Apa yang sudah kamu dapatkan dari dia?"

"Gak banyak. Bisa dibilang cuma data pribadi di rapotnya. Nama lengkap, TTL, alamat rumah, nama ortu."

"Kamu yakin kalau rencanamu ini akan berhasil?"

"Easy, Kinder Joy. Dia mungkin bakal mati kalau gue yang nembak. Jadi, apa lo masih meragukan rencana brilian gue?" tukasnya dengan dada membusung seraya mengetukkan jari telunjuknya pada pelipis.

Ada sedikit ekspresi keterkejutan pada wajah Joy. Bibirnya setengah membuka. "Dia sendiri yang mengambil umpannya?"

Cowok itu bergumam panjang. Alisnya berkerut, memahami maksud dari perkataan Joy. "Kalau yang lo maksud mawar yang nembak gue duluan? Yap. Satu piring cantik buat lo, Joy."

"Mengenai kasus Khalwa, aku sama sekali belum memiliki petunjuk." Ada jeda singkat pada kalimat berikutnya. "Kurasa mereka tidak senang dengan keberadaanku."

"Mereka siapa?"

"Anggota WDA."

"Tapi gue seneng lo," timpal Aldo sembari memasang senyuman lebar. Senyuman yang selama ini telah menjebak puluhan perempuan dalam kungkungan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Sayangnya senyuman itu tampak biasa saja di hadapan Joy.

"Aku anggota WDA tambahan. Mereka masih tidak mempercayaiku. Mungkin saja kalau kamu yang minta data kasus Khalwa, mereka akan memberikannya dengan sukarela."

"Oke. Akan gue usahain."

"Lalu mengenai kebakaran saat lomba batik tulis itu, aku sudah melihat rekaman kamera CCTV-nya, tapi jangkauan tali pengikat banner itu berada pada titik buta kamera. Jadi tidak ada yang bisa aku dapatkan dari itu. Kalau kamu menemukan sesuatu, hubungi aku."

Aldo berlagak bersikap hormat dan berseru layaknya pengisi suara bajak laut pada lagu pembuka kartun Spongebob. "Aye aye, Captain."

Seusai itu mereka hanya saling berpandangan dan mengunci mulut masing-masing. Hingga akhirnya terjadi perubahan ekspresi pada wajah Joy. Kepalanya menoleh ke belakang dengan pupil yang melebar sesaat salah satu guru berteriak begitu lantang. Pria baya dengan potongan rambut cepak itu meneriaki tiga siswi yang berlari sambil tertawa puas, melewati Joy dan beberapa murid di koridor kelas.

Guru dengan pin nama Adi W. yang tersemat di kemeja hijau pupusnya berdecak pelan, "Cah-cah sakniki pancen ora duweni tata krama karo guru."

Joy menelengkan kepala, tidak mengerti apa yang barusan diucapkan Adi. Lantas pria itu tiba-tiba menoleh ke arah Joy dan Aldo, lalu menunjuk mereka berdua. "Kalian anggota kedisiplinan, 'kan? Mengapa hanya diam saja?"

Mendengar pernyataan itu, Joy hanya bisa bergeming di tempatnya dengan mulut mengatup rapat. Bukan berarti bahwa Joy tidak peduli dengan tindak tanduk murid yang melanggar aturan sekolah dan seolah menutup mata terhadap para pelanggar itu. Joy semata-mata tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh ketiga siswi tadi terhadap Adi hingga pria itu membuang kekesalannya kepada dia.

Aldo menepuk pundak Joy pelan. Cowok itu kemudian maju menghampiri Adi dengan tersenyum. "Maaf, Pak Adi. Tapi kita tidak tahu apa yang telah dilakukan siswi itu terhadap Bapak." Aldo memicingkan matanya, menyapu suasana di sekeliling koridor. Banyak pasang mata yang menatap ke arah Aldo dengan berbagai pertanyaan di dalam kepala mereka. "Mungkin Bapak bisa menjelaskan situasi barusan kepada saya di kantor guru."

Adi mendengkus kesal sekilas. "Temui saya saat jam istirahat di meja saya," pintanya tanpa bisa menghilangkan nada penuh penekanan pada setiap kalimat yang diucapkan.

Sepeninggal Adi dari sana, bel masuk menggema di setiap sudut sekolah. Beberapa murid terlihat berlarian di koridor kelas untuk segera duduk di bangku mereka. Beberapa pasang mata yang tadi menatap penasaran telah berlalu dari sana. Tentunya masih dengan pertanyaan yang sama. Apa yang telah terjadi?

Aldo kembali menepuk pundak Joy ketika dia memperpendek jarak. "Masuk kelas sana."

Joy mendongak untuk sekadar melihat ekspresi kegugupan dari Aldo, namun yang ia temukan senyuman lebar belaka. "Aku ikut."

"Apa?"

"Aku akan menemanimu berbicara dengan Pak Adi di kantor," tukas Joy sembari mengurai tangan Aldo yang berada di pundaknya dan langsung melesat masuk ke dalam kelas. Joy tahu bahwa Aldo mungkin saja mengatakan ketidaksetujuannya perihal rencana Joy. Maka dari itu Joy memilih untuk segera pergi dari sana dan berpikir bahwa Aldo menyetujuinya.

Seperti yang sudah disepakati oleh Joy, cewek itu menunggu di depan kelas Aldo sesaat bel istirahat pertama berbunyi. Anin juga ikut menemaninya ke sana.

"Lo yakin mau ikut ke Pak Adi?"

Joy menganggukkan kepala dengan bersemangat.

"Denger ya, Joy. Kalau gue jadi lo, gue gak akan repot-repot memenuhi panggilan Pak Adi di kantor."

"Kalau gitu, aku aja yang ke Pak Adi."

Embusan napas keluar dari mulut Aldo. Dia mengacak rambutnya dengan serampangan. "Biar gue aja."

"Bentar. Bentar." Anin memotong pembicaraan.Dia lantas melipat tangan di dadanya dan tersenyum miring setelah mendengar percakapan mereka berdua. "Apa ini? Gue kira Joy ngebet menemui lo buat nagih PJ lo sama Pandita Munawwir, anak 11 MIPA 5."

"Lo udah tahu?" tanya Aldo seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Hellow, siapa sih yang gak tau berita panas pagi ini? Casanova Wamsakarta, Ronaldo Ferda Wiryamanta yang jadian dengan Primadona Wamsakarta, Pandita Munawwir. Semua termasuk gue juga udah tau, keles."

Aldo malah terkekeh geli. "Gue baru tahu kalau itu julukan gue di sini. Casanova Wamsakarta. Lumayan."

Jawaban Aldo sertamerta membuat Anin naik darah. Dia menggertakkan giginya. "Sumpah gue rasanya pengin robek tuh mulut manis."

"Mulut gue emang manis. Mau nyoba?" kelakar Aldo. Jari telunjuknya menyentuh bagian bibir bawahnya.

"Never."

"Why, Darling?"

"Just eat shit and die, Nutter."

Aldo sama sekali tidak mengindahkan omongan kasar Anin. Dia malah menyelipkan anak rambut ke belakang telinga kiri Anin seraya tersenyum simpul, seakan mengabaikan fakta pelototan mata dari Anin.

Anin mendesis tajam, "Apa sih yang lo mau dari gue?"

Joy yang sedari tadi hanya menjadi saksi mata akhirnya segera bertindak dengan menggandeng lengan Anin dan mengajaknya pergi dari sana. setidaknya dengan melakukan itu, aura permusuhan mereka menurun. Dan saat itu terjadi, maka runtuh sudah semua rencana Joy untuk menemani Aldo ke Pak Adi.

"Aku gak jadi ikut kamu, Al. Aku ke kantin aja sama Anin," ujar Joy, semakin mengeratkan rengkuhannya pada lengan Anin. Kali ini Joy terpaksa tersenyum untuk meyakinkan mereka berdua bahwa Joy baik-baik saja meskipun harus mengubur rasa penasarannya dalam-dalam.

"Nanti gue bakal cerita ke lo, Joy."

Joy menganggukkan kepala seusai mendengar seruan Aldo. "Terima kasih."

Akhirnya mereka berpisah di arah yang berlawanan. Joy memilih menemani Anin pergi ke kantin, sementara Aldo memilih disibukkan dengan cerocosan Adi di meja kantornya.

Layaknya menjadi suatu kebiasaan yang wajar, kantin tidak pernah sepi akan genjrengan gitar Faustin. Terkadang temannya juga ikut meramaikan dengan menabuh meja kayu kantin dan mengetukkan sendok pada piring. Walaupun  terdengar berisik, tetap saja tidak ada yang melayangkan protes kepada Faustin dan temannya. Entah mereka terlalu takut untuk menyampaikan pendapatnya atau karena tersihir dengan genjrengan gitar Faustin. Bahkan ada yang sampai terbawa suasana dengan bernyanyi menyesuaikan irama musik.

Saat Joy dan Anin telah di sana, bangku-bangku kayu kantin terisi penuh. Antrian memanjang memadati setiap stan penjual. Beruntung mereka berdua mendapatkan tempat duduk berkat tubuh yang kecil dan tidak memakan banyak tempat. Sementara Anin mengambil pesanan minuman mereka, Joy menjaga bangku untuk mereka berdua.

Joy baru saja akan menyendokkan nasi goreng pada mulutnya, namun terdistraksi oleh tatapan mata pada seberang mejanya. Ia tiba-tiba menjadi tidak berselera dan meletakkan kembali sendoknya pada piring. Hanya dengan melihat senyuman miring di wajahnya, Joy sudah dapat mengenali dengan siapa dia bersitatap.

"Lo bisa lanjut makan. Anggap aja gue gak ada," ujar cowok berpotongan rambut comb over yang sedari tadi menatap tajam Joy.

Joy pun lanjut menyendokkan nasi goreng ke mulutnya, mengunyah dengan perasaan yang tidak nyaman saat sepasang mata itu masih memandangnya intens. "Gue gak nyangka bakal bisa ketemu lo kecuali saat rapat WDA."

Joy bergumam sebagai jawabannya, tanpa memandang lawan bicara. Tangannya masih berkutat dengan nasi goreng.

Namun cowok itu malah tergelak. "Dan juga anjing lo kayaknya seneng banget bisa jilat kakinya senopati. Gue curiga kalau ada maksud lain dari hubungan mereka. Anjing yang setia dan Tuannya yang materialistis."

"Gue baru nyadar kalau dia gak ada di samping lo." Cowok itu melanjutkan monolognya, seakan tidak peduli dengan lawan bicaranya yang sedari tadi diam saja. "Biar kutebak. Dia pergi sendirian ke sana, berakting menjadi pahlawan kesiangan. Yah, gue harap dia kuat mendengar celotehan dari sesepuh yang terkenal bijaksana itu."

"Sudah selesai bicaranya?"

"Masih banyak."

Bangku kayu itu sedikit bergetar ketika Joy melewatinya. Kedua tangannya dengan cekatan membawa sepiring nasi goreng yang tinggal seperempat dan semangkuk soto ayam yang masih penuh. "Baiklah. Tapi maaf, aku tidak bisa menjadi teman curhatmu lebih lama lagi karena aku punya urusan yang lebih penting dari sekadar membicarakan keburukan orang."

Cowok itu malah tersenyum lebar sampai-sampai Joy harus menahan keinginannya untuk menginjak wajah penuh tipu daya itu. Beruntung Joy masih memiliki akal sehat untuk mengalah. Ketika Joy hendak pergi dari sana, Anin kembali sembari membawakan dua gelas es teh di tangan.

"Joy, lo mau ke mana? Tungguen gue."

Buru-buru Anin mengikuti jejak Joy. Akan tetapi langkahnya terhenti tidak jauh dari bangku yang ditempati Joy.

"Anindira Gayatri, gimana rasanya dicampakkan oleh orang terdekat lo?"

Anin menoleh cepat dengan wajah yang sudah memerah. "Maksud lo?"

"Gayatri, gue kira lo bakal seagung nama lo, tapi ternyata ... Buka mata lo lebar-lebar, Gayatri. Bahkan orang dungu sekalipun bisa ngeliat gimana cara dia mandang lo." Cowok itu menekuk bibirnya. "Gue jadi kasian sama lo. Dibandingkan dengan Pandita, lo mungkin cuma butiran partikel di hadapannya."

"Jaga mulut lo! Gue gak serendah itu sampai lo perlu mengasihani gue!"

Sebelum keadaan semakin memanas, Joy menyuruh Anin untuk pergi dari sana. Meskipun suara Anin teredam oleh celotehan murid lainnya, tetapi murid yang berada dalam radius terdekat pasti mendengar kemarahan Anin dengan jelas. Cepat atau lambat gosip pun akan menyebar.

"Lo kenal dia, Joy?" tanya Anin sesudah mereka mendapatkan bangku yang terletak agak jauh dari cowok tadi.

Joy mengiyakan dengan culas. "Dia Melvin, anggota WDA dari kelas 11 MIPA 5."

"Wow. Dia benar-benar parah. Lebih parah daripada mulut si casanova itu."

Joy terkekeh pelan. "Dia masih lumayan. Kamu akan menjumpai delapan spesies yang lebih menyebalkan dari Aldo dan Melvin di WDA."

Anin tidak bisa menghentikan mulutnya untuk membuka lebar. Kini dia tahu alasan Joy yang pendiam dan lebih banyak mengamati daripada berbicara adalah karena kebiasaannya saat menghadapi anggota WDA yang menyebalkan. Sesuai pepatah yang pernah dibacanya, diam adalah emas. Joy mempraktikkan itu dengan baik saat anggota WDA lain mencoba untuk mengonfrontasinya.

Kedua mata Anin berbinar takjub. Jika dia yang berada di posisi Joy, Anin pasti mati muda karena uring-uringan setiap hari selama beradu mulut dengan anggota WDA. Yang ada bukannya masalah terselesaikan dengan baik, tetapi masalah menjadi semakin rumit.

"Gue bingung, deh, Joy. Bisa-bisanya lo malah ngajuin diri jadi anggota WDA. Terlebih dengan anggotanya yang kayak gitu." Anin melirik Joy dari balik bulu matanya yang lentik. "Kenapa lo gak berhenti aja jadi anggota WDA?"

Joy bergeming di tempatnya. Melihat hal itu, Anin kembali melanjutkan kata-katanya, "lo tau, 'kan? Kejadian  setahun yang lalu. Semua anggota WDA dikeluarkan dari SMA Wamsakarta tanpa sebab."

Ulu ulu ... akhirnya, satu anggota WDA lagi muncul. Sisa 8 lagi anggota WDA yang masih misterius.

Gimana menurut kalian? Pilih Melvin atau Aldo? Atau dua-duanya?

Oh ya. El juga punya rekomendasi playlist buat kalian. Terutama bagi yang suka sama lagunya CL. Kalian bisa dengerin lagu CL terbaru di joox atau yutub. El paling suka yang judulnya DONE sama PARADOX.

Salah satunya aku taruh di mulmed yang judulnya DONE. Kalian bisa geser mulmednya setelah gambar GIF. Selamat mendengarkan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top