[8] Tak Ada Gading Yang Tak Retak
Akhir pekan bagi Joy adalah waktunya hang out bersama Genta. Entah itu hanya jogging keliling kompleks perumahan, bersepeda ke Alun-alun Kota atau pergi ke tempat wisata di kotanya.
Seharusnya memang begitu. Tapi berhubung di akhir pekan ini Anin mengajaknya pergi untuk membeli buku, Joy harus membatalkan semua rencana yang telah Genta susun jauh-jauh hari. Beruntung Genta tidak terlalu mempermasalahkannya, bahkan berniat mengantar Joy dan Anin pergi ke toko buku.
Setelah menempuh perjalanan selama setengah jam, Anin dan Joy sampai di Toko Buku Naga Mas. Mereka langsung disambut hawa dingin dari air conditioner sesaat mendorong pintu masuk toko. Seperti pada Gammamart yang buka 24 jam, pegawai pada Toko Buku Naga Mas mengucapkan kalimat pembuka yang sudah dihafal oleh sebagian orang.
Joy dan Anin tersenyum menanggapinya. Sementara Anin mengambil keranjang belanja, Joy sibuk merapikan rok satinnya yang kusut. Tidak seperti Anin yang memakai celana jeans dan kaus yang dilapisi jaket denim, Joy mau tidak mau harus selalu mengenakan rok atau terusan kemana pun ia pergi.
Memang pada awalnya itu adalah perintah mutlak dari Genta, namun lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan bagi Joy. Akan jadi aneh rasanya kalau Joy mencoba memakai celana jeans seperti Anin.
"Lo gak lupa bawa kartu member, 'kan?" tanya Anin sembari mengitari deretan rak buku yang berbanjar rapi.
Joy lantas mengeluarkan kartu member dari dalam dompetnya. "Nih."
Melihat hal tersebut, Anin mengacungkan kedua jempolnya.
Salah satu dari sekian alasan Anin mengajak Joy pergi ke toko buku ini yang pertama adalah karena Joy pelanggan tetap di sini hingga memiliki kartu member. Kartu itu nantinya akan memberikan diskon tiga puluh persen untuk setiap pembelian minimal seratus ribu rupiah.
Yang kedua, selain diskon kartu member, toko ini juga berbaik hati memberikan diskon dua puluh persen di setiap buku yang dijualnya. Sungguh amatlah menggiurkan. Dengan begitu, Anin setidaknya bisa mendapatkan diskon lima puluh persen.
Sembari bersenandung di dalam benaknya, Anin membolak-balik dua komik yang dipegangnya. Dahinya berkerut kala ia mulai merasa bahwa kedua komik di tangannya sama-sama menarik.
"Joy, menurut lo bagusan yang mana?"
Joy mengambil salah satu komik yang dipegang Anin. Ia membaca sinopsis di belakang sampul komik. Lalu Joy mengambil komik yang satunya lagi dan melakukan hal yang sama seperti tadi. Lama tepekur, Joy akhirnya mengangkat wajah dan menyodorkan salah satu komik kepada Anin.
Joy mengangkat komik yang dipegangnya. "Aku lebih suka yang ini. Yona, The Girl Standing in the Blush of Dawn. Selain karena aku suka penggambaran karakter heroine-nya, aku juga mikir kalau kamu pasti suka genre yang semacam ini. Genre fiksi sejarah dengan bumbu romantis. Apalagi pemeran sampingannya ganteng-ganteng."
"WTH?! Lo kok bisa tau sampe segitunya?"
"Aku selalu lihat kamu baca komik ini di HP."
Anin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Masuk akal."
"Kamu cuma mau beli yang ini?"
Bahu Anin terangkat. Setelah memasukkan komik yang tadi dipegang oleh Joy ke dalam keranjang belanja, Anin segera mengajak Joy ke tempat rak-rak novel. Pandangannya terfokuskan ke arah buku yang berhubungan dengan K-POP. Tanpa berpikir panjang, Anin langsung memasukkan novel itu ke dalam keranjang belanja. Ia tersenyum puas melihatnya.
"Tunggu sebentar, Anin."
Joy tiba-tiba menutup mulutnya yang terperangah. Kedua manik matanya berbinar gemerlap bagai dihujani euforia yang meledak-ledak. Kedua tangannya kontan mengangkat buku bersampul kelopak bunga dan memeluknya erat.
"Lo ngapain, Joy?"
"Ini buku Biologi Campbell Reece jilid 3. Ah, ada jilid 1 dan 2 nya juga ternyata."
Joy melakukan hal yang sama seperti Anin tadi. Tanpa melihat label harganya, Joy langsung memasukkan tiga buku tebal Biologi Campbell Reece jilid satu sampai tiga ke dalam keranjang belanja. Ia sudah tidak sabar untuk membuka buku-buku itu sesaat sampai di rumah.
Anin menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibirnya melengkung ke atas dengan sempurna. Sudah lima tahun lamanya Anin bersama Joy, tapi tidak ada yang berubah pada diri Joy jika menyangkut tentang science. Gadis itu akan tetap sama gembiranya saat melihat buku-buku tersebut. Meskipun bagi Anin, membaca komik atau novel lebih menyenangkan ketimbang membaca buku yang berisikan istilah-istilah aneh.
"Habis dari sini, kita ke Kafe Djendela Hitam yuk," ajak Anin setelah mereka keluar dari Toko Buku Naga Mas.
Joy mengangguk dengan ekspresi gembira sebagai tanggapan.
∆∆∆
Seperti halnya situasi tegang saat bom atom hendak diluncurkan ke Kota Hiroshima dan Kota Nagasaki, Joy tidak mampu merehatkan punggungnya yang kaku sejak tadi. Memang situasi di hadapannya ini tidak semengerikan Kota Hiroshima dan Kota Nagasaki setelah dijatuhi bom atom.
Tapi jantungnya tidak sedikitpun berusaha memompa seperti biasanya. Daya pompanya menjadi lebih cepat dan tidak beraturan sampai-sampai Joy yakin bahwa cepat atau lambat, jantungnya akan meledak.
Joy semakin terheran-heran dengan sikap santai Anin di sebelahnya. Gadis itu bahkan tanpa malu mengambil kentang goreng mozarella milik Joy sembari menyibukkan diri dengan HP-nya. Meskipun dua orang di depannya mempertontonkan adegan mesra bagai sepasang pengantin baru.
Beberapa orang tampak terlihat menatap risih kepada mereka berempat yang duduk tepat di pinggir jendela kafe. Pasalnya, cewek bertampang muka badak dengan polesan bedak setebal dua sentimeter itu, menggosokkan pipinya dengan manja ke bahu Aldo.
Joy meringis melihatnya. Kemeja yang malang.
Tanpa dijabarkan pun, Anin dan Joy sudah memafhumi Aldo di depannya itu adalah si playboy kelas kakap SMA Wamsakarta yang selalu tersenyum bodoh saat dikerumuni kaum singa betina yang haus akan cinta.
Jika boleh jujur, Joy bahkan tidak dapat menyalahkan para cewek itu. Siapapun pasti akan tertarik dengan penampilan maskulin yang dimiliki oleh Aldo.
Wajah yang lonjong dengan tulang pipi terangkat, hidung mancung elang, alis yang digambar dengan sangat proporsional—tidak terlalu tebal atau menukik tajam, bibir tipis yang serupa buah persik, dan lesung pipit di kedua pipinya. Poin-poin itulah yang menjadikan para wanita rela bertekuk lutut di hadapan Aldo hanya untuk melihat senyumannya.
Sepertinya Joy memang harus memeriksakan dirinya ke dokter saat itu juga. Pasalnya, sampai hari ini pun, penampilan maskulin Aldo tidak mampu membuat jantungnya bergemuruh hingga menimbulkan perasaan lebih dari sekadar kawan.
Kini cewek itu berganti merajuk manja kepada Aldo untuk segera hengkang dari kafe ini. Dengan melihatnya saja, Joy sampai dibuat muntah abstrak. Namun sebisa mungkin, Joy memasang tampang tenangnya dan tidak mengindahkan lagi pemandangan menggelikan di depannya.
"Bodo amat," celetuk Anin setelah meminum milkshake oreo-nya tanpa sedotan. Bekas busa kecoklatan tercipta di atas bibirnya.
Cewek itu alias Pandita Munawwir, fashionista sekaligus primadona SMA Wamsakarta, menatap sinis kepada Anin. Aldo yang mulanya tertawa, langsung terdiam dan menengok kepada Anin.
"Kalau lo emang gak suka sama kita, ngomong langsung aja, Nyet. Gausah kek lambe murah yang hobinya cuma nyinyirin orang."
Tangan Joy yang sempat berniat membungkam mulut Anin, berakhir menggantung di udara. Joy lalu mengarahkan tangannya untuk mengangkat dua piring yang masing-masing berisi kentang goreng mozarella dan pancake oreo.
Joy mengulas senyuman di bibirnya. "Maaf menganggu waktu kalian."
Kedua mata Joy lalu melotot tajam kepada Anin yang masih beradu pandang dengan Pandita. "Anin, kita cari tempat duduk yang lain aja."
"Ide bagus." Kedua tangan Anin segera menyabet minuman mereka berdua—milkshake oreo dan teh raspberry. "Bilang dari tadi dong, Joy."
Sesaat Anin hendak mengangkat bokongnya dari kursi, Aldo mendadak menarik tangan Anin yang tengah memegang teh raspberry milik Joy. Langsung saja semua isi gelas itu berpindah ke wajah Pandita.
Saat mengetahuinya, cewek itu sudah berteriak histeris dan kalap sampai mengucek kedua matanya. Alhasil, bulu mata pasangannya copot sebelah dan kedua kelopak matanya sukses menjelma menjadi mata panda karena maskaranya luntur.
Anin sendiri merintih kesakitan. Pinggulnya dipaksa bertubrukan dengan pinggir meja persegi dari kayu mahoni. Belum lagi, separuh tubuhnya berdebum mengenai kerasnya meja. Joy yang menyaksikan kejadian tak terduga itu, hanya mampu menganga begitupun dengan para pelanggan lainnya.
Pramusaji yang tadi mencatat pesanan mereka, lari tergopoh-gopoh untuk memberikan handuk kecil kepada Pandita.
"Ah, maaf." Aldo lalu menurunkan tangan Anin yang dicengkeramnya, pelan-pelan ke atas meja. Cowok itu segera mengusapkan handuk kecil tersebut ke wajah Pandita yang basah kuyup sembari menggumamkan kata maaf. Sebagai tanggapan, Pandita menganggukkan kepalanya.
Demi jenggot Merlin.
Jika saja hanya ada mereka berempat di sini, Joy pasti sudah menjambak rambut hitam Aldo. Betapa kurang ajarnya dia memperlakukan sahabatnya itu dengan semena-mena.
Sayangnya, Joy harus mampu meredam amarahnya itu karena saat ini banyak orang yang menatap mereka. Pegawai kafe pun terlihat menutup mulut. Entah karena terperangah atau menahan tawa ketika melihat wajah Pandita.
"Apa ada yang sakit, An?" tanya Joy seusai meletakkan dua piring di atas meja.
Sembari masih merintih kesakitan, Anin berupaya menegakkan punggungnya. Alih-alih baik-baik saja, rasa perih pada pinggulnya semakin parah. Seperti baru saja disetrum dengan tegangan tinggi. Kontan tangan Anin memegang pinggulnya.
"Ini doang. Tapi gak terlalu parah kok. Yuk kita pindah ke bangku lain aja."
Setelah mengatakan itu, Anin meletakkan gelas teh raspberry milik Joy yang sudah kosong di atas meja. Kemudian ia mengajak Joy untuk pergi dari sana.
Sesampainya di tempat duduk yang baru, tentunya terletak agak jauh dari bangku Aldo dan Pandita, Joy merasa semakin tidak enak hati.
"Mmm ... Anin, kita pulang aja deh."
Anin yang semula bertopang dagu, langsung menegakkan tubuhnya. "Beneran gue gak apa-apa kok. Lagian makanan lo belum habis tuh," ujar Anin sembari menunjuk ke sepiring kentang goreng mozarella.
Joy mengusap tengkuknya. "Oke."
"Oh ya, Joy. Boleh gak hari ini gue nginep di rumah lo? Itung-itung sekalian minta tolong ke Om Genta buat ngedit animasi distro gue. Sebagai gantinya, gue beliin lo teh raspberry deh. Gimana?"
Melihat Anin yang merajuk seperti itu, membuat Joy terkekeh geli. Memang sebetulnya ini bukan pertama kalinya dia memasang tampang memelasnya kepada Joy, kendatipun begitu Joy tetap tertawa.
Untuk kali ini, ingin rasanya Joy menggoda Anin. Oleh karena itu, kini Joy berpura-pura memasang wajah sedih dengan menekuk bibir ke bawah.
"Gimana, ya?"
"Boleh, ya? Pasti boleh."
"Kalau aku minta buku tentang ilmu gizi, gimana? Kamu mau?"
"Yah, tergantung harganya, Joy."
Untuk memperjelas apa yang dimaksutkannya, Joy menyodorkan HP-nya yang memampangkan buku tersebut. Sontak Anin langsung menganga tidak percaya kepada Joy. Ia menatap bergantian antara HP dan Joy.
"Kalau gini caranya, gue tekor mah. Istilah gampangnya, gulung tikar. Tapi kalau semisal harganya masih di bawah gocap, gue mungkin masih mau beliin lo buku itu."
"Jadi?"
"Teh raspberry aja, ya? Atau ... Lo bisa pilih menu minuman atau makanan lain di kafe ini," ujar Anin seraya menunjuk ke arah papan tulis berisi daftar menu yang dipasang tepat di belakang meja kasir.
Joy masih tidak mau mengalah. Dia malah membuat Anin kebingungan dengan bahasa aliennya dan kerumitan pola katanya. Hingga mereka berakhir melupakan tragedi yang menimpa mereka barusan dan Aldo yang sejak tadi mengawasi mereka berdua dengan tatapan mata elangnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top