[5] Bagai Duri Dalam Daging

"Siapa?"

"Khalwa Habibah."

Kedua mata Joy otomatis membelalak. Mulutnya sedikit terbuka. "Apa kamu bercanda?"

Aldo tidak menjawab, tapi dari tatapannya yang berubah serius, Joy tahu bahwa cowok itu mengatakan sebuah fakta. Tidak dapat dipungkiri, bahwa Joy terkejut bukan kepalang saat mendapati bahwa Khalwa Habibah yang notabenenya adalah mantan anggota kedisiplinan bisa terjerat pelanggaran seberat itu.

Selama ini Joy mengira bahwa anggota kedisiplinan berisikan orang-orang yang akan kebal terhadap hukum di SMA Wamsakarta karena mereka tahu betul berapa skor pelanggaran yang didapat dan apa akibatnya jika mereka melanggar peraturan. Jadi mereka akan berpikir matang-matang terlebih dahulu apabila ingin melanggar peraturan tersebut.

Joy menyadari bahwa masih banyak hal yang harus diketahuinya sebelum mengungkap identitas ketua WDA sendiri. 

"Lalu siapa yang satunya?"

"Bagus Sadikin."

"Aku tidak mengenalnya. Apa dia punya catatan pelanggaran lain selain ini?"

Aldo mengedikkan bahu. "Ada banyak pelanggaran yang dilakukan murid di sini. Jadi  bakalan gak efektif, kalau lo punya ide untuk tanya anggota kedisiplinan satu-satu. Gue aja udah gak ingat siapa aja yang udah gue laporin."

Kepala Joy mengangguk setuju. Joy tidak ingin mengulangi lagi ketidakefektifan waktunya dalam bertindak, seperti bertanya kepada murid kelas XII. Itu akan memangkas setidaknya seperempat waktu yang dimiliki Joy di SMA ini.

Lama mereka terdiam dengan Joy yang menggigiti kuku jari telunjuknya dan Aldo yang memainkan game tetris di HP-nya, Joy akhirnya menemukan suatu hipotesis.

"Bukankah WDA selalu mengumpulkan kertas pelanggaran-pelanggaran itu di tengah meja rapat? Jika dugaanku benar, WDA pasti punya buku jurnal yang berisi pelanggaran setiap murid di sini."

Sebelah kaki Aldo mengentak ke lantai keramik dengan tempo lambat. Pandangan matanya beralih menatap Joy. "Gue gak pernah tahu tentang hal itu. Yang gue tahu, anggota WDA cuma naruh kertas catatan pelanggaran dan ngirim softfile lewat surel."

"Softfile juga? Aku baru tahu."

"Gak ada yang beritahu lo?"

Joy menggelengkan kepala sebagai tanda ketidaktahuan. Melihat hal itu, Aldo mengembuskan napas dan kembali memainkan game tetris. "Sekarang lo udah tau."

Joy melirik ke arah pintu kamarnya. Ia lalu membasahi tenggorokannya dengan saliva.

"ANIN," teriak Joy yang sukses membuat Aldo berjengit kaget.

Namun tidak ada jawaban dari balik sana. Joy menoleh ke Aldo yang kini mengerutkan dahi ke arahnya.

"Tolong cek di depan pintu kamarku ada Anin atau enggak," pinta Joy dengan suara sepelan mungkin.

Tanpa banyak berkata, Aldo membuka kenop pintu kamar Joy. Setelah pintu terbuka, Aldo tidak mendapati siapa pun di sana. Dia hanya melihat ruang keluarga yang kosong. Padahal sebelumnya ada Genta yang duduk di sofa seraya membaca koran.

Suara tawa lantang dari arah dapur terdengar di kedua telinga Aldo. Tubuhnya bergerak mengikuti suara. Ia berakhir mendapati Anin yang duduk di kursi tinggi depan konter, masih dengan tertawa karena mendengar kelakar Genta. Sedangkan Genta, pria berusia 36 tahun dengan wajah serupa pahatan patung yunani itu sedang membalik telur mata sapi pada teflon.

"An, susu taro-nya Joy mana?"

Kontan Anin dan Genta menoleh ke pemilik suara bass itu. Aldo kembali mengulangi katanya kala melihat Anin yang tidak segera mengambil susu taro di atas meja konter.

Kala Anin menuruni kursi tinggi dan hendak pergi dari dapur, Genta mencegahnya. Pria itu menyodorkan tiga roti lapis—isi telur mata sapi, selada, dan keju—di atas piring berdiameter lebar kepada Anin. "An, sekalian bawa ini juga. Oh ya, itu sengaja aku buatkan untuk kalian bertiga."

Anin tersenyum simpul. "Terima kasih, Om Genta."

Tanpa diminta, Genta pun membalas senyuman Anin. Lantas pria itu ikut hengkang dari sana untuk menuju ke ruang kerjanya. "Kalau butuh sesuatu, aku ada di ruang kerja."

"Terima kasih, Om Genta," timpal Anin masih dengan senyuman lebar di wajahnya.

Aldo memasang ekspresi jijik saat melihat senyuman Anin. Cowok itu lantas meraup wajah Anin dengan telapak tangannya— yang hampir seukuran wajah Anin.

"Lo jadi jelek kalau senyum kayak orang sinting gitu, An," cerca Aldo sembari mengambil paksa sepiring roti lapis dari tangan Anin.

Belum sampai sepuluh detik terlewat, Anin menggerutu kesal seraya mengejar Aldo yang sudah lari seribu terlebih dahulu demi menghindar dari amukan Anin yang katanya bisa sebar-bar kucing oranye.

∆∆∆

Untuk kesekian kalinya, Joy dibuat terheran-heran kembali saat memandangi dua insan di sampingnya. Selain itu, Joy juga mulai menyesali akan keputusannya menyuruh Aldo untuk mengecek keberadaan Anin.

Maka dari itu, suasana di kamar Joy saat ini tidak lebih seperti medan pertempuran dengan dua kubu yang hanya saling melempar tatapan sinis. Kendatipun begitu, Joy yakin mereka berdua saling menghujat satu sama lain di dalam benak mereka.

Anin mendadak membuang muka ke arah Joy. Mulutnya separuh membuka, kemudian menutup lagi. Sejenak ada keraguan di dalam ekspresi wajahnya. Demi menghilangkan keraguan itu, Anin berdeham. "Gue mau nanya ke lo, Joy."

"Apa?"

"Kemarin ... Ah—lupakan. Gue pamit pulang dulu ya, Joy. Dan gue minta maaf sama lo. Gara-gara lo ikut hujan-hujanan sama gue kemarin, lo jadi sakit panas dan ketinggalan pelajaran hari ini." Anin bangkit dari kursi dan mencangklong tas ranselnya kembali.

Joy membalas permintaan maaf Anin dengan tersenyum simpul. "Salah kita berdua. Lagipula mungkin aku hanya kecapekan saja dan kurang menjaga pola makan. Bukan karena hujan-hujanan dengan kamu, Anin."

Anin meraih kenop pintu dengan memiringkan tubuhnya untuk sekadar tersenyum kepada Joy, kemudian beralih menatap tajam Aldo. "Kalau Aldo macam-macam sama lo, lo tinggal pukul dia atau lari ke ruang kerjanya Om Genta."

Joy menganggukkan kepala paham. Sementara Aldo malah menatap Anin tajam bahkan ketika cewek itu sudah keluar dari kamar Joy.

Selang beberapa menit, tawa Aldo pecah. Joy yang melihatnya hanya dibuat mengerutkan dahi. Joy ingin menanyakan maksud tawa itu, tapi ia urungkan karena Aldo menjawabnya terlebih dahulu. "Gue tahu. Dia pasti pengin tanya apakah kemarin kita berciuman di depan ruang karawitan."

Sebetulnya Joy ingin mencakar, menjambak atau bahkan memukul Aldo sesaat cowok itu dengan entengnya berkata begitu kepadanya. Demi apapun, mereka sama sekali tidak berciuman atau melakukan hal tabu. Tabiat jahil Aldo lah yang membuatnya menjadi bahan tragedi kesalahpahaman kemarin.

Pukul setengah satu siang, di ruang karawitan. Lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Aldo tiba-tiba memutar haluan dan menarik tangan Joy ke depan ruang karawitan tanpa mengatakan apapun.

Pada awalnya Joy mengira jika cowok itu mengajaknya untuk berbicara empat mata mengenai WDA. Tapi saat Aldo menggenggam kedua pipinya dan menunduk di wajahnya, Joy berpikir bahwa Aldo sedang menjahilinya. Saat itu, Aldo juga berbisik kepadanya, "lo diem aja. Gue cuma pengin ngerjain kucing oren."

Setelah dipikir-pikir kembali, Joy semakin merasa bersalah kepada Anin yang menjadi saksi bisu tragedi kemarin. Apalagi sekarang cewek itu sudah pasti salah paham terhadap hubungan mutualisme antara dia dan Aldo.

Joy semakin menekuk bibirnya ke bawah saat menatap Aldo. Meskipun cowok itu sudah berhenti tertawa serenyah biskuit.

"Tidak. Kurasa dia ingin bertanya tentang WDA. Kemarin kamu bilang kalau dia sedang membuntuti kita, jadi dua puluh persen kemungkinan dia mendengar percakapan kita dengan murid kelas XII," tukas Joy.

"Anin beneran tanya gitu?"

"Iya. Tapi saat aku menanyakannya kembali, dia tidak jadi melanjutkan obrolan kami. Persis seperti tadi."

Mulut Aldo membulat. "Lalu sekarang apa langkah lo selanjutnya?"

"Kamu bilang kalau Pandita Munawwir bisa jadi adalah ketua WDA."

Kepala Aldo memanggut. "Jadi?"

"Aku berpikir kalau lebih baik kita membagi tugas. Kamu menangani Pandita Munawwir dan aku akan mencari tahu rincian kasus Khalwa Habibah serta Bagus Sadikin."

Aldo menghelakan tubuhnya ke sandaran kursi kayu yang ia duduki sejak tadi. "Oke. Kalau lo perlu bantuan, bilang aja ke gue. Dan omong-omong kita sebut Pandita Munawwir 'mawar' aja."

∆∆∆

Terhitung sudah lima hari lamanya semenjak berita hengkangnya Khalwa Habibah dan Bagus Sadikin tersebar di sepenjuru sekolah. Namun anehnya berita itu tidak kunjung surut.

Joy juga tidak tahu siapa yang pertama kali menyebarkan nama dari tersangka kasus itu karena pada mulanya gosip itu tidak menyebutkan nama sang tersangka, Khalwa Habibah dan Bagus Sadikin.

Di samping itu, ternyata penyelidikan yang dilakukan oleh Joy berjalan sangat alot. Dia tidak kunjung menemukan titik terang dalam kasus Khalwa Habibah. Bahkan Aldo sama sekali tidak mengabarinya tentang perkembangan penyelidikannya terhadap Pandita Munawwir atau membahas tentang WDA lagi saat cowok itu bertemu dengannya.

Joy memaklumi hal tersebut. Bisa jadi cowok itu terlalu sibuk mengurus pemberkasan ektrakurikuler bola basket dan berlatih bersama anggota basket lainnya yang dalam waktu dekat akan mengikuti turnamen nasional. Jadi di dalam kepala Aldo kini hanya berisikan latihan dan latihan.

Lalu Anin, teman sebangkunya itu sekarang terlihat lebih sering berdiam diri di kelas sembari men-stalking oppa-oppa tercintanya yang barusan comeback. Terkadang Anin masih setia mengajaknya ke gudang penyimpanan bangku rusak untuk sekadar menonton serial drama korea.

Yah, Joy rasa untuk saat ini tidak ada perubahan yang terlalu signifikan pada orang-orang di sekitarnya.

Tapi apa benar begitu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top